Mubadalah.id – Waktu baca buku 60 Hadist hak-hak perempuan dalam Islam, yang ditulis oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Saya tertarik dengan pembahasan hadist keenam. Apakah perempuan menikah milik suaminya?
Saya ambil terjemahan dari hadist tersebut, bunyinya seperti ini” Dari Ibn Abbas ra, berkata: Umar bin Khattab ra berkata” Dulu kami, pada masa Jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami.” (Sahih Muslim).
Dalam penjelasan Kang Faqih, hadist itu menceritakan pengakuan Umar bin Khattab ra mengenai Islam yang memberikan hak-hak bagi perempuan sebagaimana laki-laki. Seperti yang kita ketahui bersama, pada masa Jahiliyah nasib perempuan itu sangat memprihatinkan.
Dari mulai dilahirkan saja sudah dibenci, dan dipandang hina. Bahkan tidak sedikit anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orangtuanya.
Kalaupun anak perempuan dibiarkan hidup, ia hanya dipandang sebagai barang yang bisa dimiliki. Bukan sebagai manusia yang layak hidup seperti yang lainnya. Misalnya, perempuan bisa dipaksa untuk dinikahkan walaupun masih di bawah umur, diceraikan semaunya, dipoligami sebanyak-banyaknya, dihadiahkan, diwariskan, peran sosialnya dibatasi dan sebagainya.
Ketika Islam hadir, tradisi diskriminatif tersebut diubah. Islam mengangkat martabat perempuan sebagaimana manusia seutuhnya. Jadi, setiap anak yang lahir baik perempuan ataupun laki-laki mesti disambut dan disyukuri. Sehingga dalam mengasuh dan mendidik anak tidak ada yang dibedakan.
Begitupun dalam soal menikahkan, perempuan tidak bisa dipaksa tetapi harus sesuai kerelaanya dan suami mesti memperlakukan istrinya dengan baik dan mermartabat. Mengenai pengelolaan rumah tangga, istri harus dilibatkan dan diajak musyawarah. Serta diberi kesempatan yang sama dalam mengambil peran dibidang ekonomi, pendidikan, sosial dan politik.
Indah sekali ajaran-ajaran Islam tersebut. Memperlakukan sesama manusia sebagaimana perintah Allah SWT.
Berangkat dari penjelasan tersebut, saya jadi heran ketika mendengar pernyataan salah satu dosen saya bahwa “ketika sudah berumah tangga laki-laki dan perempuan itu mempunyai peran dan hak yang berbeda. Jika laki-laki yang sudah menikah tetap harus berbakti kepada orangtua dengan mendengar dan mengikuti setiap nasihatnya, perempuan yang sudah bersuami hanya boleh manut pada setiap perintah suaminya, sekalipun orangtua perempuan tersebut tidak menghendakinya”.
Pernyataan tersebut tentunya berangkat dari beberapa hadits. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda. Di sana dikisahkan seorang laki-laki datang kepada Abu Darda, kemudian menceritakan tentang ibunya yang meminta untuk menceraikan Istrinya. Dan ia pernah mendengar sabda Rasulullah bahwa “orangtua itu sebaik-baiknya pintu surga, seandainya engkau mau maka jagalah pintu itu, jangan engkau sia-siakan“.
Nah kisah dalam hadits tadi seringkali dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa seandainya orangtua meminta untuk menceraikan istrinya maka wajib untuk ditaati.
Eh tapi tunggu dulu man teman. Dalam hal ini sebagian ulama mengatakan, jika terjadi hal seperti itu seorang suami tidak harus mentaati.
Seperti pendapatnya Imam Ahmad, ketika seseorang meminta pendapatnya mengenai laki-laki yang disuruh menceraikan istri oleh orangtuanya, beliau mengatakan, seorang suami tidak boleh mentalaq istrinya. Kemudian ada yang bertanya “tetapi bukankah Umar pernah menyuruh sang anak menceraikan istrinya?”
Imam Ahmad menjawab “boleh kamu taati orang tua, jika bapakmu sama dengan Umar, karena beliau ketika memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu”.
Soal mentaati perintah orangtua juga sudah dijelaskan sejak abad ke-2, bahwa memang tidak boleh taat kepada orang tua untuk menceraikan istri karena hawa nafsu.
Jika kita lihat dengan pikiran yang terbuka, para ulama di atas sebenarnya sedang sama-sama berikhtiar untuk memberikan hak kepada perempuan dalam mempertahankan martabatnya. Bahwa suami tidak bisa mengambil keputusan semena-mena dalam menceraikan istrinya dengan alasan taat kepada perintah orangtua.
Jadi jelas sudah menikah ataupun belum perempuan tetap mempunyai hak atas dirinya sendiri, begitupun laki-laki.
Menurut saya, sederhananya memang siapapun baik perempuan atau laki-laki yang sudah memutuskan untuk mengemban kehidupan berumahtangga. Mereka mesti saling membebaskan, menghargai, memberi ruang untuk berkarya dan saling menyayangi tanpa menghilangkan peran dan hak salah satunya.
Di samping ketaatan kepada orangtua. Setiap anak wajib untuk berbuat baik serta taat pada perintah dan nasihat orangtua. Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT. Karena ridha Allah ada pada ridhanya orangtua.[]