• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kenapa Kok Alergi Mendengar Istilah Feminisme?

Memangnya kenapa dengan istilah Feminisme? Kok kayaknya pada alergi kalau mendengar istilah itu? Dibilang kebarat-baratan, bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ah masa iya?

Irma Khairani Irma Khairani
13/08/2021
in Publik
0
Feminisme

Feminisme

142
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Memangnya kenapa dengan istilah Feminisme? Kok kayaknya pada alergi kalau mendengar istilah itu? Dibilang kebarat-baratan, bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ah masa iya?

Indonesia memang negara yang sepertinya suka meributkan istilah, yang terkadang membuat lupa inti dari permasalahan yang sedang dibahas. Entah itu pejabatnya maupun masyarakatnya. Seperti saat ini, untuk menangani pandemi Covid-19 pemerintah sibuk membuat kebijakan dengan berbagai istilah. Mulai dari mengeluarkan kebijakan dengan istilah PSBB, PSBB Total, PSBB Transisi, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, sampai hari ini tanggal 11 Agustus pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan dengan istilah PPKM Level 1-4. Lho kok sudah seperti varian sambal ayam geprek ya, ada levelnya.

Pemerintah seperti tidak fokus pada penyelesaian masalah yang ada dengan kebijakan yang efektif dan pro-rakyat. Padahal Indonesia telah memiliki sumber hukum yang jelas yang bisa diimplementasikan di tengah situasi wabah seperti ini. Sumber hukum tersebut adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tapi sampai sekarang aturan hukum tersebut belum digunakan.

Tak hanya istilah kebijakan penanganan Covid-19 yang kontroversial, ada satu istilah yang juga tak jarang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, bahkan pejabat pemerintahan yaitu feminisme. Istilah tersebut kerap dianggap barat dan asing, sebab itu tidak cocok untuk digunakan dalam konteks gerakan sosial untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan oleh Baleg DPR RI pada 12 Juli lalu, yang membahas mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Dr. Henri Shalahuddin dari Universitas Darussalam Gontor mengatakan pandangan feminist worldview dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat kuat.

Baca Juga:

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam

Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

Dia menambahkan, ide feminisme kontemporer yang paling radikal adalah bahwa ruang pribadi dalam rumah tangga dan keluarga harus takluk pada pengawasan publik. Dr. Henri Shalahuddin juga mengatakan bahwa rancangan tersebut alergi terhadap nilai-nilai Pancasila.

Saat mendengar statement yang disampaikan, sontak muncul gerutuan dalam pikiran saya. Memangnya mengapa jika RUU P-KS menggunakan feminist worldview? Toh, memang rancangan undang-undang ini dibuat untuk membela hak korban kekerasan seksual yang mengalami tindakan ketidakadilan yang disebabkan ketimpangan relasi kuasa berbasis gender dan budaya patriarki. Hal tersebut bersesuaian dengan kajian feminisme itu sendiri, bahwa keadilan bagi yang tertindas harus diperjuangkan.

Kemudian, memangnya kenapa jika negara masuk ke dalam permasalahan private atau rumah tangga yang memang mengharuskan intervensi dari negara akibat adanya tindakan ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan? Bukankah itu sebuah itikad baik yang harus dilakukan oleh negara, juga demi menjalankan kewajiban negara terhadap warga negaranya terkait pengelolaan hak-hak warga negara; obligation to protect.

Lalu, mengenai rancangan undang-undang yang tidak sesuai dengan Pancasila itu sangat keliru. Misi untuk melindungi korban kekerasan seksual dengan membuat payung hukum yang dibutuhkan dan sebagai upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual di Indonesia, itu sudah merupakan implementasi dari nilai-nilai Pancasila; kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rancangan tersebut juga tak bertentangan dengan nilai keislaman. Karena Islam ada untuk membebaskan setiap umat dari kesusahan, kemelaratan, dan ketidakadilan.

Mengenai pandangan negatif terhadap istilah feminsime, Nadya Karima Melati dalam bukunya yang berjudul “Membicarakan Feminisme” menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan istilah feminisme dianggap barat dan asing serta tak relevan digunakan dalam konteks gerakan sosial di Indonesia. Pertama, ideologi feminisme tak integral dalam sejarah Indonesia.

Berdasarkan sejarah,  istilah feminisme lahir pada abad ke-18. Gerakan feminisme diawali dengan adanya peristiwa Revolusi Prancis yang menggaungkan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Saat itu, muncul feminisme gelombang pertama yang ditandai dengan lahirnya feminisme beraliran liberal sebagai respon atas keadaan perempuan di tengah Revolusi Prancis yang sedang berlangsung. Kemudian, berkembang aliran-aliran lainnya untuk menyesuaikan pembacaan keadaan dan pengalaman perempuan di berbagai negara yang berbeda-beda.

Menurut Nadya, di Indonesia historiografi feminis belum ada, yang dapat ditemukan dalam sejarah Indonesia adalah tentang perempuan maskulin pemenang perang. Perjuangannya belum berfokus pada perjuangan hak-hak perempuan, perjuangan yang dilakukan berfokus pada upaya melawan penjajahan asing.

Apalagi, saat masa awal perjuangan kemerdekaan di mana ada tuntutan untuk menjadi nasionalis dan pribumi dengan menolak segala hal yang berbau barat, istilah feminisme menjadi tidak terdengar dan populer saat itu. Di Indonesia, upaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan pembebasan perempuan dari ketidakadilan berbasis gender lebih dikenal dengan istilah emansipasi wanita. Bahkan, istilah tersebut diromantisasi secara berlebihan sehingga menghilangkan makna yang sesungguhnya.

Kedua, para ahli jarang mengutip tokoh-tokoh feminis di Indonesia. Menurut Nadya, hal tersebut menimbulkan ilusi bahwa feminisme memang sesuatu yang berasal dari luar. Ketiga, politik yang berkembang membunuh gerakan perempuan progresif dan menjadikan gerakan perempuan terjatuh dalam kerangka sosial dari pada sosial politik.

Meskipun tak lahir di Indonesia, istilah feminisme saya pikir tak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa ini. Karena, feminisme tak berbeda halnya dengan emansipasi wanita. Kedua istilah tersebut sama-sama memiliki makna bahwa perjuangan untuk meraih kesetaraan dan keadilan gender masih terus harus dilakukan di tengah ketidakadilan dan penindasan yang masih dirasakan oleh perempuan dan kaum marginal lainnya.

Nadya Karima Melati mengatakan,  layaknya setiap pemikiran, feminisme memiliki pegangan dasar yang tidak dapat diganggu gugat yaitu perempuan tertindas. Emansipasi wanita pun dilakukan untuk membebaskan perempuan dari penindasan. Mulai sekarang tak usah meributkan istilah, tak perlu alergi dengan istilah feminisme. Alergi lah pada mereka yang masih melakukan tindakan kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan dan kaum marginal. []

 

 

Tags: feminismeGendergerakan perempuankeadilanKesetaraanRUU PKSSahkan RUU PKS
Irma Khairani

Irma Khairani

Irma telah rampung menamatkan studi sarjana Ilmu Politik di Universitas Nasional. Isu gender, pendidikan, dan politik adalah minatnya, saat ini aktif di komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Beda Keyakinan

    Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID