Mubadalah.id – Jika selama ini banyak yang memahami bahwa feminisme adalah kebarat-baratan, tidak islami, serta menganggap orang lain yang feminis sebagai yang sesat, agaknya pemahaman itu keliru dan perlu dikoreksi terlebih dahulu. Bagaimana hubungan feminisme, Islam, dan kemanusiaan?
Feminisme adalah gerakan memperjuangkan persamaan hak dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki yang disebabkan ketimpangan relasi. Menghilangkan kekuasaan destruktif dalam patriarki pada relasi perempuan dan laki-laki, baik dalam ruang publik maupun domestik. Sehingga diharapkan terciptanya relasi yang saling bekerjasama dalam kebaikan.
Cara kerja feminisme adalah perempuan dan laki-laki melihat diskriminasi, prasangka gender, lalu mereka berpikir, sampai memunculkan kesadaran kritis yang melihat basis penindasan. Kemudian mereka mencari jalan keluar untuk menghentikan penindasan tersebut.
Kesadaran feminis tidak hanya berawal dari satu ketertindasan tetapi ketertindasan yang berlapis. Namun, cara kerja ketertindasan itu seringkali berbeda-beda dan jalan keluarnya pun tak sama.
Seperti yang dicontohkan dalam buku Qira’ah Mubaadalah, dalam kasus penguasaan tubuh perempuan, di mana selama ini tubuh perempuan ditempatkan sebagai pihak yang disalahkan, yang selalu dianggap sebagai pihak yang menggoda dan memesona.
Sehingga karena anggapan tersebut kemudian melahirkan asumsi, pandangan, dan norma sosial yang menghalangi perempuan memainkan kiprah sosialnya yang lebih baik dan menjauhkan perempuan dari segala aktivitas yang—dianggap masyarakat—dapat menimbulkan fitnah.
Padahal tubuh laki-laki juga terdapat pesona yang sangat memungkinkan bisa menggoda dan menimbulkan fitnah. Tetapi selama ini masyarakat tidak pernah merasa perlu untuk mengatur dan mengontrol tubuh laki-laki. Sehingga laki-laki merasa dengan bebas mengekspresikan perasaan, akal budi, dan pengalaman tubuhnya.
Islam memandang perempuan dan laki-laki secara setara. Sebab di mata Tuhan semua manusia derajatnya sama, tidak ada yang unggul antara satu dan yang lainnya.
Perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, laki-laki juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan perempuan. Tidak ada yang berhak merendahkan dan direndahkan, tidak ada yang berhak berkuasa antara satu dan yang lainnya.
Sebab memiliki derajat kemuliaan yang sama, maka perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama untuk menentukan bekerja di wilayah publik atau domestik. Karena peran-peran tersebut bukanlah kodrat melainkan konstruksi sosial masyarakat.
Dalam Islam sendiri tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa perempuan hanya bekerja di wilayah domestik dan laki-laki hanya bekerja di wilayah publik. Pada zaman Nabi SAW banyak perempuan yang bekerja di wilayah publik dengan tidak meninggalkan tugasnya di rumah.
Jika laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, maka dia juga tidak meninggalkan tugasnya sebagai ayah, menjaga dan mendidik anaknya di rumah. Sebagaimana perempuan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, maka dia juga tidak meninggalkan tugasnya sebagai ibu, menjaga dan mendidik anaknya di rumah.
Yang perlu dibangun adalah norma dan nilai-nilai yang memungkinkan kemanusiaan perempuan dan laki-laki dalam berelasi, dengan kesadaran dan akal budi yang dimiliki sehingga keduanya dapat saling menghormati dan mengapresiasi. Dimana perempuan dianggap bagian dari kehidupan laki-laki, dan laki-laki bagian dari kehidupan perempuan.
Perempuan dan laki-laki tidak saling mendestruksi dan menyakiti. Relasi yang dibangun harus atas dasar nilai-nilai kebersamaan, kesetaraan, kesalingan dan bekerjasama untuk mewujudkan kebaikan dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat.[]