Mubadalah.id – Pernikahan merupakan salah satu momen paling sakral, paling ditunggu, sekaligus paling mendebarkan dalam siklus kehidupan seseorang. Tidak aneh jika kemudian hampir semua orang tidak ingin menyia-nyiakan momen istimewa ini. Pernikahan pun dirayakan, pesta pun digelar dengan meriah.
Saudara, sahabat dan rekan-rekan kerja pun diundang, bahkan tak jarang, undangan sengaja dibuat dalam jumlah yang banyak. Tak bisa dibayangkan suasana resepsi dan pestanya bukan? Apalagi kalau yang bersangkutan adalah orang “berada”, pesta pernikahan pun digelar di gedung mewah dengan aneka makanan yang lezat dan hiburan yang meriah.
Pernikahan sendiri diyakini sebagai ibadah. Mendapat pahala dan keberkahan Nabi Muhammad saw. Di mana orang-orang yang hendak menikah, persiapannya telah dilakukan sejak jauh hari. Selain agar pernikahannya berkah, tentu agar pernikahannya langgeng sampai akhir hayat. Maka indah sekali jika kita kembali merenungkan tentang makna hakikat pernikahan. Bahwa pernikahan merupakan akad perjanjian dan persaksian yang berat dari perempuan kepada laki-laki, begitu pun sebaliknya, kepada masing-masing orang tua dan mertua, sanak-saudara, masyarakat dan terutama kepada Allah Swt.
Melihat makna pernikahan sedemikian penting, maka menikahlah tepat pada waktunya. Itulah indahnya ajaran Islam. Islam tidak menghendaki pernikahan yang terburu-buru, hanya sekadar ikut-ikutan, karena gengsi, apalagi karena paksaan. Ini sekaligus menegaskan bahwa jangan pernah ada lagi ada praktik nikah anak, nikah dini maupun nikah muda. Fakta telah membuktikan bahwa menikah tidak tepat pada waktunya banyak menimbulkan malapetaka, bukan hanya kepada kedua mempelai, melainkan kepada banyak orang. Menikah setidaknya mesti dilangsungkan atas dasar pertimbangan yang matang dan kerelaan.
Sebab menikah itu akadnya sangatlah singkat dan mudah, yang panjang dan berat itu proses menjalaninya kelak dalam biduk rumah tangga. Akan ada banyak hal-hal yang mungkin sebelumnya tak terduga, namun kemudian terjadi. Sebab menikah itu bukan hanya soal uang, hubungan seksual, istri melayani suami, mempunyai momongan.
Pernikahan dan rumah tangga itu menjalani kehidupan. Akan ada banyak masalah dan kesulitan yang akan dihadapi. Dan memang terbukti, orang yang menikah meskipun uangnya banyak, tetapi tidak menjamin pernikahan dan rumah tangganya langgeng. Dan jangan sekali-kali “ngomporin” remaja untuk nikah dini atau nikah muda dengan dalil-dalil agama yang dangkal makna.
Biar para remaja putra maupun putri menikmati masa mudanya dengan baik dan asik. Untuk belajar dan menuai prestasi. Mereka butuh motivasi dan penguatan dari kita–orang tua, sahabat dan masyarakat–agar mereka betul-betul dapat tumbuh dan berkembangan dengan menyenangkan. Jangan rampas hak mereka dengan paksaan untuk menikah dalam usia anak, menikah dini atau muda.
Apalagi ini zaman terlampau modern. Biarkan anak berkreasi, belajar menentukan nasibnya sendiri. Pihak yang menjadi orang tuanya terus mendampingi dan memberi nasihat yang terbaik. Orang tua harus hidup di zaman modern ini, bukan anak kita yang dipaksa mengikuti kehidupan lama.
Menghindari zina dan menjauhi pergaulan bebas itu penting. Tapi bukan dengan cara pacaran yang akhirnya kelewat batas dan apalagi dengan memaksa anak untuk dinikahkan. Masih banyak cara lain untuk anak, agar ia bisa terhindar dari perilaku zina dan pergaulan bebas. Yakni dengan diarahkan pada kehidupan yang produktif. Para remaja yang disibukkan dengan beragam aktivitas untuk melampiaskan minat dan bakatnya yang amat potensial itu. Bahkan orang tua juga bisa memberi contoh anaknya untuk membiasakan diri melaksanakan puasa sunah.
Kapan menikah yang tepat? Ketika kita merasa cukup usia, siap atas segala risikonya, dan telah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Sebab menikah itu menggenapi separuh agama dan kehidupan. Baik perempuan yang kelak menjadi istri, maupun laki-laki yang kelak menjadi suami, harus benar-benar melangsungkan pernikahan dengan pikiran yang jernih dan rasional. Bukan atas dasar mitos dan alasan mengada-ada.
Seorang perempuan yang menikah, kelak akan mengalami fase kehamilan dan melahirkan. Pastikan bahwa wawasan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitasnya bisa dipahami sambil berjalan. Sebab kehamilan dan melahirkan itu butuh ketahanan fisik yang ekstra. Jangan sampai akan banyak lagi terjadi kematian ibu dan bayi yang angkanya masih tinggi.
Kalau alasan menikah hanya karena menjauhkan diri dari perbuatan zina, pernikahan tidak menjaminnya. Yang menjamin itu komitmen diri dan ketahanan iman. Sebab orang yang telah menikah pun tetap berpotensi melakukan perbuatan zina yang lazim kita sebut sebagai zina muhshan.
Di sinilah perlu kerja sama dan edukasi yang kompak dari semua pihak. Terutama orang tua agar tidak mengebiri masa remaja dan masa muda anak-anaknya ini, agar mereka dapt terus belajar dan mengisinya dengan kegiatan bermanfaat. Pihak KUA juga tidak boleh memalsukan usia pernikahan, minimal harus ikut aturan yakni minimal usia 19 tahun dan semua pihak lainnya, para guru, dosen, tokoh agama dan masyarakat pada umumnya. Wallaahu a’lam. []