Mubadalah.id – mari kita coba menelisik lebih jauh lagi, sampai sekarang cara pandang laki-laki terhadap perempuan masih ada yang menganggap sebagai alat pemuas seksual. Padahal faktanya korban pelecehan seksual tidak bergantung pada kondisi pakaian yang dikenakan oleh perempuan.
Bahkan ada juga perempuan yang sudah menutup auratnya dengan baik, tetapi masih terkena adanya pelecehan seksual. Misal saja catcalling maupun tatapan mata tajam laki-laki terhadap perempuan, yang mana pastinya menimbulkan rasa risih dan kesal terhadap tindakan tersebut.
Selain sebagian kecil contoh fenomena diatas, kekerasan seksual sampai sekarang juga masih menjadi perbincangan hangat. Dilansir dari tempo.co, Komnas Perempuan mencatat ada 299.911 kasus terhadap perempuan sepanjang tahun 2020. Diantaranya terdapat kasus perkosaan yang berjumlah 229 kasus.
Dalam kasus perkosaan tersebut, cara pandang budaya patriarki seringkali perempuan yang selalu disalahkan. Dianggap sebagai perempuan yang tidak baik, perempuan yang sengaja memancing syahwat laki-laki. Padahal pelimpahan kasus perkosaan seharusnya yang diringkus pelaku predator seksual tersebut, bukan korban kekerasan seksual yang diolok-olok bahkan dijatuhkan kehormatannya.
Dalam lensa keadilan hakiki perempuan pengalaman biologis yang dialami perempuan sendiri lebih sakit maupun sulit ketimbang pengalaman biologis laki-laki, seperti menstruasi yang datang setiap bulan, hamil berbulan-bulan, melahirkan dengan taruhan nyawa sampai menyusui.
Sedangkan pengalaman sosial perempuan cenderung juga lebih negatif dibanding laki-laki. Dengan demikian pembelaan terhadap perempuan menjadi spirit ruh kemanusiaan dari agama. Maka, adanya melindungi perempuan dan merubah stigma merendahkan perempuan adalah cita-cita yang diinginkan Islam.
Ikhtiar dalam menyuarakan adil gender harus tetap dikobarkan. Perempuan dan laki-laki harus sama-sama dipandang sebagai subjek. Sehingga cara pandang laki-laki terhadap perempuan sebagai kajian objek seksual akan terkikis, dan hilang perlahan dari muka bumi ini.
Al-Qur’an sendiri, dalam salah satu firman Allah telah mengingatkan bahwa ketersalingan antara perempuan dan laki-laki, yakni QS. At-Taubah [9] : 71 di dalamnya mengisyaratkan antara laki-laki dan perempuan harus kerja sama dalam mewujudkan kemaslahatan, keduanya harus sama-sama aktif menjadi pelindung dan penanggungjawab antara satu sama lain. Tidak terjadi timpang tindih antara keduanya, tidak berat sebelah, dan salah satunya tidak dominan aktif, sementara yang lain pasif.
Mengenal Jenis Sistem Sosial Laki-Laki dan Perempuan
Dalam ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) yang disampaikan oleh Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm, membagi tiga jenis sistem sosial, diantaranya yakni yang pertama patriarki garis keras, dilanjut dengan patriarki garis lunak, dan yang terakhir adil gender. Jenis patriarki garis keras mengibaratkan bahwa manusia di dunia hanya laki-laki saja, perempuan sama sekali tidak mempunyai arti.
Mengutip dari pinem sistem patriarki adalah sistem sosial yang selalu menempatkan posisi laki-laki menjadi prioritas utama baik dari segi kehidupan sosial, budaya maupun ekonomi. Hal ini tentunya laki-laki menjadi subjek tunggal, perempuan objek dan keadilan hanya berlaku untuk laki-laki.
Jenis sistem sosial yang kedua yakni patriarki garis lunak. Dalam jenis ini perempuan masih dianggap sebagai manusia. Tetapi perempuan menduduki nomor yang kedua atau diistillahkan sebagai subjek sekunder, sedangkan laki-laki sebagai subjek primer. Laki-laki dijadikan sebagai standar kemanusiaan dan pengalaman perempuan selalu dikecualikan. Adanya sistem sosial baik patriarki garis keras maupun patriarki garis lunak adalah sistem sosial yang tidak untuk diperjuangkan dan dilestarikan. Karena dampak adanya budaya patriarki memicu tejadi kekerasan seksual.
Keadilan gender yang di dalamnya mengusung antara laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi manusia seutuhnya, serta keadilan diberikan keduanya. Hakikatnya laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai status primer sebagai khalifah fil ard, di mana keduanya menjadi sekunder sebagai hanya hamba Allah.
Tentunya jenis sistem sosial yang terakhir ini menjadikan peran antar keduanya aktif menebar amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga status yang membedakan baik laki-laki dan perempuan bukan terletak pada jenis kelamin. Akan tetapi, siapa yang bertaqwa adalah lebih mulia, sebagaimana dalam QS. Al-Hujarat [49]: 13.
Maka, dengan jenis sistem yang ketiga di atas adalah upaya yang paling tepat dalam memperjuangkan hak perempuan supaya tidak direndahkan dan dipandang sebelah mata. Untuk itu, melawan kekerasan seksual dengan menyuarakan keadilan gender dapat membantu kesadaran masyarakat supaya lebih memperhatikan perempuan dan melindungi perempuan dari perbuatan biadab tersebut.
Semoga dengan sadarnya keadilan gender, laki-laki tidak seenaknya memandang perempuan, apalagi hanya dijadikan sebagai objek kajian seksual. Cara pandang yang menganggap perempuan hanya mempunyai ruang lingkup yang sempit harus segera diluruskan, lalu dihilangkan. Sebagaimana semboyan dalam Ngaji Keadilan Gender Islam bahwa, “kita semua lahir sebagai anak kandung sistem patriarki, tapi kita bisa memilih menjadi anaknya yang durhaka.” []