Mubadalah.id – Humor dalam keseharian kita memiliki peran yang menguntungkan untuk mencairkan suasana dan mengakrabkan relasi pertemanan. Hampir dalam lingkaran bincang santai sampai serius kerap kali kita jumpai di mana pun dan kapan pun, baik di tempat nongkrong, warung kopi, bahkan di lembaga formal seperti sekolah, ruang kerja, ataupun seminar yang dipandu oleh pembicara pilihan sekalipun.
Ironinya, guyonan yang tidak seharusnya ditertawakan bersama masih dianggap biasa karena pandangan sempit kita bahwa itu hanya sebatas guyonan. Di tengah lingkungan kita yang masih patriarkal inilah, masih marak ujaran humor seksis dan peran gender justru dijadikan bahan tertawaan.
Tidak ada kapan dan siapa penggagas persisnya guyonan seksis ini menjadi budaya humor yang tidak kita sadari langgeng begitu saja. Bahkan anak-anak yang masih dalam proses tumbuh dan belajar terbiasa mendengar sekaligus mempraktikkan kebiasaan buruk tersebut. Sungguh memprihatinkan. Tidak mengenal siapa orangnya, mengapa bisa melontarkan ujaran seksis tersebut, kita harus menegurnya.
Sebelum kita merogoh ke dalam fenomena seksisme dan patriarkal ini, kita sebagai manusia pembelajar perlu tahu apa itu humor seksis. Sekalipun humor, kita juga perlu menghindari kebiasaan menertawakan hal yang tidak seharusnya.
Humor seksis adalah sebuah ujaran atau candaan yang tujuannya merendahkan, menghina, memperdaya, bahkan memberikan stereotype baru kepada seseorang berdasarkan gendernya. Humor ini termasuk dalam humor penghinaan (disparagement humor) yang berarti humor untuk merendahkan kelompok sosial tertentu yang akhirnya menimbulkan pesan yang bertentangan.
Humor seksis ini sama-sama bisa terjadi antara laki-laki dan perempuan. Meskipun umumnya korban paling rentan adalah perempuan. Mengutip dari Suara.com, Defirentia One, Program Development Officer dan Staf Peneliti Pusat Pengembangan Sumberdaya untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, mengatakan dalam budaya patriarki, laki-laki seolah menempatkan struktur hierarki dalam kriteria tertentu. Jika ada laki-laki yang tidak mampu mencapai kriteria ideal yang dikonstruksikan, akhirnya dia rentan menjadi objek guyonan seksis, pelecehan, bahkan kekerasan.
Nah, yang paling tidak masuk akal adalah ketika perempuan atau laki-laki tersebut dijadikan objek bahan candaan kemudian mereka malah saling tertawa bersama layaknya hal biasa. Atau mereka yang merasa tersebut protes, justru dianggap baper dan tidak asik diajak bercanda karena terlalu mudah dibawa perasaan.
Jika kita menyadari humor ini tidak hanya terjadi saat berbincang dengan orang-orang, tetapi kita bisa menjumpai di aplikasi Smartphone misalnya grup WhatsApp sering kali banyak orang mengirim dan menyebar stiker, meme, foto, ataupun video seksis misalnya berupa perempuan sebagai objek sedang melakukan peran domestiknya dengan berpakaian minim. Beberapa kartun dan tontonan tv juga kerap menayangkan ujaran atau adegan yang bernilai buruk untuk ditayangkan.
Seperti dalam kartun Crayon Sinchan, bocah TK asal Jepang yang menggoda perempuan, film, dan juga sinetron komedi. Hampir setiap orang pasti pernah menjumpai dan menjadi korban dari humor kolot ini, misalnya pengalaman saya ketika melihat teman sedang memakai pakaian mini, dan diobjektikasi akhirnya dijadikan bahan candaan, tontonan penyanyi dangdut sedang berjoget yang diperlihatkan oleh senior kepada junior, catcalling di jalan, atau saat melakukan rapat atau kerja bersama yang ujung-ujungnya membuat guyonan menyudutkan perempuan.
Kalian pasti ingat dan tak asing dengan candaan seperti ini, “Lah, lo beli Relaxa. Rela diperkosa, nih.” Entah itu ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Please, jangan anggap wajar dan alih-alih ikut tersenyum dan tertawa. Atau humor yang mendiskriminasi ekspresi gender, “Laki-laki ga usah nangis, lemah, lo” atau, “Jalan cepetan, dong. Kayak perempuan, aja.”
Beberapa contoh ungkapan tersebut menandakan bahwa masyarakat kita di lingkungan sekitar masih belum dapat dikatakan paham akan peran dan kesetaraan gender. Bahwa ungkapan dan ekspresi yang melekat dari diri adalah hal wajar tumbuh dalam diri manusia, baik laki-laki ataupun perempuan. Mirisnya ekspresi tersebut bisa menjadi bahan tertawaan oleh kalangan umum atau paling menyedihkan, keluarga sekalipun.
Jauh kita berpikir, apa penyebab humor seksis ini begitu langgeng dan wajar di sekitar kita? Yang jelas adalah karena kuatnya hegemoni maskulinitas sehingga memunculkan stereotip perempuan dan gender minoritas. Mirisnya, masyarakat kita yang patriarkal masih jauh belum menyentuh paradigma kajian baru tentang keadilan dan kesetaraan gender agar dapat berusaha menghapus ketimpangan yang ada dan memberi kehidupan damai bagi kita sebagai manusia.
Kemudian, pertanyaan yang akhirnya mungkin menggelisahkan kita adalah mengapa kita tidak boleh mendiamkan humor seksis? Apa yang akan terjadi dari yang kita anggap wajar-wajar saja selama ini?
Humor adalah aktivitas yang menyenangkan bagi banyak orang. Tanpa humor kita seperti makhluk sosial yang hampa. Tapi, tidak dengan humor seksis. Menoleransi humor seksis maka sama dengan melanggengkan seksisme dan pelecehan seksual menjadi wajar. Maka dari itu, humor seksis dan ujaran yang merendahkan korban yang rentan seperti perempuan termasuk dalam kekerasan verbal. Masuk dalam kategori verbal mungkin tidak banyak orang menyadari sehingga cenderung menganggapnya biasa, padahal itu muncul dari pikiran dan perilaku seksis.
Dengan tahu bahwa humor seksis harus kita lenyapkan saat agenda kumpul-kumpul, alangkah baiknya kita menyiapkan tips jitu agar sama-sama paham apa yang baiknya dilakukan. Pertama, berhenti ikut tertawa saat mendengarnya. Yang jelas kita jangan ikut tertawa karena perilaku tersebut seolah ikut merespon baik akan candaan dan menafikan yang telah salah.
Sebab terkadang perempuan yang menjadi objek guyonan sebenarnya merasa tak nyaman karena merasa tersudutkan sehingga terkadang ia hanya diam seolah menormalisasi bahwa itu hanya candaan biasa. Baik laki-laki atau perempuan tidak ada yang salah untuk menegur atau memprotes orang yang telah keliru.
Kedua, jika kita mengalami, belajarlah bersikap tegas dengan melakukan protes dan utarakan perasaan tidak nyaman terhadap pelaku. Katakan bahwa tindakan pelaku adalah tindakan tidak pantas, mengganggu, dan merendahkan diri. Jika perlu minta ia untuk meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya. Walaupun itu bukanlah hal yang mudah dan seringkali relasi kuasa menjadi penghalang.
Ketiga, Tumbuhkan rasa saling empati. Jika mungkin temanmu menjadi korban candaan dan dia tidak memiliki kekuatan penuh untuk memprotes, kita sebagai teman bisa saling membantu untuk bersimpati kepada korban dan menegur pelaku. Supaya kita sama-sama belajar dalam berelasi untuk tidak menormalisasi kekerasan yang seringkali timbul dengan cara yang halus.
Sikap empati ini bertujuan menyadarkan kita bahwa untuk menciptakan humor di antara kita tidak perlu mengobjektikasi seseorang dengan humor seksis atau ujaran tidak menyenangkan. Kita bisa lakukan hal lain dalam menciptakan humor dengan nilai kemanusiaan yang baik dan menyenangkan. []