Mubadalah.id – Menjadi perempuan di tengah masyarakat patriarkis, tentu harus berhadapan dengan banyak tantangan serta tuntutan. Perempuan lajang memasuki usia 25 tahun ke atas rentan mendapat label negatif, dengan sebutan perawan tua atau perempuan “tidak laku”. Terlebih ketika harus berhadapan juga dengan pertanyaan, apakah semua perempuan terlahir menjadi ibu?
Sebaliknya laki-laki lajang berusia 30 tahun atau lebih, justru mendapat label positif sebagai laki-laki mapan. Dan tidak pernah ada pertanyaan tentang, apakah semua laki-laki terlahir menjadi ayah?
Kalaupun perempuan telah menikah di usia sebelum 25 tahun, tantangan dan tuntutan dari masyarakat patriarkis akan tetap berlanjut. Ketika perempuan telah melepas masa lajangnya, mereka seringkali terbebani dengan pertanyaan dari masyarakat perihal keturunan. “Kapan punya anak?” atau “bapak sama ibu engga sabar mau menimang cucu.”
Terlepas dari bermaksud atau tidak untuk mempertanyakan atau mengatakan hal tersebut, ungkapan seperti contoh di atas akan menambah beban rumah tangga. Tak jarang perempuan yang sudah terikat dalam pernikahan tetapi belum mendapat anugerah keturunan, merasa ia belum utuh sebagai perempuan lantaran belum menjadi seorang ibu. Lantas, timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah perempuan terlahir menjadi ibu?
Perempuan sebagai Makhluk Biologis tak Harus Menjadi Ibu
Secara biologis, perempuan memiliki indung telur atau dalam istilah sains ialah ovarium. Organ ini menghasilkan sel telur yang mana akan pecah atau keluar berupa darah saat menstruarsi, jika tidak berhasil dibuahi. Jika sel telur berhasil dibuahi, maka akan membentuk janin yang tumbuh dalam rahim perempuan.
Maka, jawaban dari pertanyaan apakah perempuan terlahir menjadi ibu ialah betul, secara biologis. Namun, jika keadaan biologis perempuan membuatnya sulit atau membutuhkan waktu yang lama untuk memiliki anak, atau bahkan memilih untuk tidak memiliki anak sekalipun, childfree, tidak berarti perempuan kehilangan jati dirinya. Perempuan tetaplah utuh, meski tidak menjadi ibu.
Sedangkan sebagai makhluk sosial, dapat bersanding dengan berbagai macam peran di masyarakat, tidak terpatok hanya dengan menjadi ibu yang mengandung anak. Perempuan dapat menjadi aktivis, pekerja, ulama, tokoh publik yang hebat, profesional dan sukses, dengan atau tanpa hadirnya seorang anak.
Sayangnya, masyarakat patriarkis justru menanamkan pandangan bahwa pencapaian terbesar seorang perempuan lajang ialah menikah, dan karir terbaik perempuan yang sudah menikah ialah menjadi ibu yang baik bagi keluarganya.
Pemaknaan “ibu yang baik” juga seringkali kita glorifikasi. Bahwa ibu yang baik adalah yang selalu 24 jam siap sedia menjaga dan merawat anak dan suami. Ibu yang baik adalah ibu yang selalu bahagia menemani anaknya bermain dan mengurus pekerjaan rumah tangga.
Pengalaman Menjadi Ibu tak Selalu Menyenangkan
Padahal, pengalaman menjadi ibu tidaklah selalu membahagiakan, dan pastinya melelahkan karena menguras energi dan emosi. Menurut paparan Mona Chollet, seorang jurnalis dan penulis berkebangsaan Swiss yang terkenal juga sebagai feminis di Perancis, tertulis dalam bukunya Ester Lianawati yang berjudul Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan, bahwa ada perempuan yang menyesal memiliki anak.
Mereka merasa akan lebih sejahtera jika saja tidak menikah dan mempunyai anak. Meskipun pengakuan ini sangat jarang kita dapatkan dari perempuan, tetapi jelas ada sebagian perempuan yang mengakui demikian. Hal ini masih bersifat tabu bagi masyarakat patriarkis, karena garis hidup perempuan yang mereka buat ialah setelah menikah, perempuan akan mengandung kemudian melahirkan anak.
Jika kaitannya dengan kesuburan, perempuan akan mudah tertuduh atau merasa bersalah. Karena tidak bisa memberikan keturunan pada keluarga. Perempuan terpaksa untuk rela menerima poligami, atau bahkan menjalani perceraian. Sedangkan, jika laki-laki yang mengalami ketidaksuburan, maka perempuan dibujuk untuk bisa menerima kenyataan tersebut agar tetap bersama.
Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak
Oleh karena itu, penting memahami bahwa peran perempuan dalam kehidupan dan masyarakat tidak sebatas menjadi ibu dari seorang anak atau sekedar ibu rumah tangga saja. Selain itu, penting juga bagi pasangan suami-istri untuk menyadari bahwa memiliki keturunan, atau menjadi orang tua bukanlah tanggung jawab perempuan semata.
Memang, faktanya perempuan yang mengandung, melahirkan dan menyusui. Namun, laki-laki juga berperan penting dalam tumbuh kembang anak dengan menjadi pasangan yang supportif. Misalnya, membantu melakukan pekerjaan domestik, menggantikan popok bayi, atau belanja kebutuhan rumah tangga di pasar.
Di samping itu, peran keluarga sebagai support system juga sangat penting. Artnya keluarga menjadi ruang aman bagi perempuan maupun laki-laki, dengan tidak mudah menjustifikasi, menghakimi dan menuntut keduanya dalam persoalan rumah tangga.
Dengan demikian, perempuan yang belum menjadi ibu tidak akan merasa kurang. Dan perempuan yang sudah menjadi ibu akan menjadi perempuan yang bahagia. Tentunya, tidak lepas dari dukungan pasangan yang setara dan keluarga yang saling mengasihi satu sama lain. []