Mubadalah.id – Dalam hidup sawang sinawang ini, semua orang ingin bahagia. Mencapai semua mimpi-mimpi yang kita inginkan. Menjalani kehidupan yang sempurna, komplit segala sesuatunya. Menapaki alur kehidupan dengan mulus, sesuai alur ideal yang didambakan semua orang. Tumbuh besar dengan baik, melewati masa kanak-kanak dengan baik, masa remaja tanpa gejolak, masa muda yang bersemangat dan produktif, lalu menjajaki masa dewasa dengan bekerja dan mapan.
Kemudian menikah. Punya anak yang sehat dan lucu-lucu. Menikmati masa-masa menjadi orang tua, lalu menghabiskan masa tua dengan tenang dan bahagia. Semua orang punya bayangan ideal semacam itu. Ingin dipermudah hidupnya. Dilancarkan segala upaya dalam mencapai kemapanan finansial, sosial, hingga spiritual.
Namun ternyata dalam hidup ini, Tuhan tidak serta-merta memberikan semua nikmat itu secara instan. Kita akan bertemu dengan jalan berliku, berkelok, menanjak, terjal, berlubang, dan bahkan kadang setelah melalui semua jalan penuh tantangan itu, kita akan berakhir bertemu jalan buntu, jurang, hingga tersesat di rimba raya. Inilah kehidupan.
Jika Tuhan langsung memberikan kenyamanan dan semua jenis kebaikan sekaligus tanpa usaha apapun, kita pasti tidak sedang berada di bumi, namun berada di alam duplikat surga. Hidup di dunia adalah perjuangan. Semua manusia harus berjuang menaklukkan tantangan hidup.
Karena Hidup adalah Perjuangan tiada Henti
Lalu ada pertanyaan muncul. Jika hidup adalah perjuangan, mengapa ada orang-orang yang hidupnya sempurna, bahagia terus? Tidak juga. Setiap manusia pasti punya masalah yang harus ia hadapi. Jika anggapan kita pada orang lain tentang “bahagia terus” berdasar pada segala kenyamanan yang orang tersebut miliki, materi yang berlimpah misal, maka anggapan tersebut tidak valid.
Kita sering mendengar adanya kasus bunuh diri yang seseorang alami, yang mana orang tersebut secara finansial kaya, memiliki banyak uang. Lalu cantik rupa dan wajahnya, segala sesuatu bisa ia dapatkan dengan mudah. Namun kenapa orang tersebut tetap mengalami depresi parah hingga nekat mengakhiri hidup?
Karena setiap kondisi kehidupan memiliki tantangan. Orang kaya yang uangnya berlimpah, tentu ia memiliki banyak masalah yang harus ia hadapi. Jika seseorang berhasil kaya melalui jalur bisnis, maka ada banyak sekali hal yang harus ia hadapi.
Tidak mudah menjalankan sebuah bisnis, kita harus berhubungan dengan banyak orang, mulai dari pelanggan, investor, karyawan, distributor, yang semuanya harus ia urus dan tentu membutuhkan energi besar. Harta dan uang tidak menjamin kebahagiaan. Terutama jika orientasi hidup kita hanya pada hal-hal yang bersifat materi.
Sebagai contoh, saat kita membeli barang. Setelah membeli satu barang, kita menginginkan barang lain, begitu seterusnya karena tren senantiasa berubah, mode terus berganti, media sosial dan iklan demikian gencar mensugesti pikiran kita. Mempengaruhi agar pikiran percaya bahwa barang-barang tertentu harus kita miliki dengan dalih agar tidak ketinggalan zaman atau memperturutkan gengsi.
Hindari Perasaaan tak Bermakna
Kecenderungan manusia yang materialistis dan sawang sinawang, akan memperturutkan kehendak hati membeli barang-barang yang ia inginkan (bukan yang ia butuhkan). Sementara sifat ‘keinginan’ manusia tak pernah ada habisnya, jika menuruti semakin bertambah permintaannya.
Suatu hari, orang akan sampai pada titik dan kondisi di mana ia menjadi bosan dan mempertanyakan, untuk apa semua barang-barang ini? Aku membeli, mampu, dan memakainya. Lalu apa? Barang-barang baru berganti tiap musim. Aku membeli lagi. Memakai lagi. Lalu bosan lagi.
Jika kita tidak memahami hakikat dari barang-barang, benda-benda dan kegunaannya. Kita akan terjebak menjadi manusia konsumtif, ingin terus memiliki dan membeli, tak terpuaskan, lalu berujung pada kondisi meaningless, merasa tidak bermakna. Uang dan harta tidak menjamin kebahagiaan.
Kondisi tidak memiliki uang juga sama deritanya. Menahan perihnya kekurangan makan, kekurangan harta, menahan diri untuk membeli sesuatu yang diinginkan, tidak bisa maksimal memenuhi kebutuhan. Itu tidak mudah.
Apalagi ditambah melihat orang lain di sekitar kita yang barangkali terlihat demikian bahagia, memiliki segala hal yang kita impikan selama ini. Di sini memang harus ada sinergi antara dua orang yang berelasi, sebagai teman, tetangga, atau saudara sekalipun. Jika kita bisa saling berempati, pasti hal-hal semacam ini bisa diminimalisir.
Setiap manusia memiliki ujian kehidupannya masing-masing, tak ada yang bahagia secara terus-terusan tanpa adanya satupun tantangan yang dihadapi. Kadar dan beratnya memang berbeda. Tuhan akan menguji seseorang dengan cobaan yang sesuai dengan kadar kekuatan yang ia miliki.
Para Nabi memikul beban dan cobaan yang sangat besar sebanding dengan posisi besar yang mereka emban. Apa yang para Nabi lalui menjadi teladan dan penawar, agar kita tidak berkecil hati saat ujian dan cobaan hidup terasa berat, sebab Tuhan percaya kita mampu memikulnya. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha.
Kebahagiaan dan Kesedihan Itu Silih Berganti
Hukum kebahagiaan dan kesedihan itu sifatnya silih berganti. Dalam satu hari. Kita tidak mungkin mengalami kesedihan full selama 24 jam. Dalam satu hari tersebut pasti ada kalanya kita tertawa, misalnya karena melihat sebuah konten lucu di instagram. Atau saat jeda waktu bercanda dengan saudara dan teman.
Meskipun pada saat itu kita sedang mengalami stress berat akibat kehilangan seseorang yang kita sayangi misalnya, namun dalam waktu seharian itu pasti ada bahagia yang kita temui. Betul, kebahagiaan kecil tersebut tidak bisa mengobati besarnya luka dan kesedihan utama yang kita rasakan. Namun kebahagiaan kecil juga harus kita syukuri. Karena kebahagiaan kecil, senyum kecil, membantu syaraf kembali rileks, sehingga otot di wajah dan tubuh kembali ‘bernafas’.
Bahagia itu sifatnya sementara, sedih juga sementara. Karena hidup ini sawang sinawang. Dalam satu tahun kehidupan, tidak mungkin kita sedih terus atau bahagia terus tanpa jeda. Pasti ada tawa dan tangis, jatuh dan bangun yang kita lewati. Dan inilah hidup. Kita menjalani, menikmati dan bersyukur atas segala kesempatan yang Tuhan brikan untuk mengalami semua pengalaman bervariasi tersebut.
Jadi jika orang lain bertanya, apakah hidupmu bahagia? Kamu akan menjawabnya dengan mantap, aku bahagia, meski kadang sedih. Dan itu wajar. Kita tidak akan terlalu cemas menghadapi masa depan, hidup ini sawang sinawang. Karena seperti kata pepatah, badai pasti berlalu, dan akan tiba saatnya kita berbahagia. Waktu akan menyembuhkan semua luka-luka. (bersambung)