Mubadalah.id – Jika kita memikirkan tentang feminisme, credo pertama yang kita pikirkan adalah feminisme Beauvoir yang mengadopsi eksistensialisme Sartre. Penggabungan dua gagasan ini kemudian melahirkan: feminisme-eksistensialisme. Tidak seperti feminisme-eksistensialis, ekofeminisme percaya kalau manusia memiliki fitrah yang mereka bawa sejak lahir, yaitu kualitas-kualitas feminin (yang mewakili cinta, kepedulian, pengasuhan, dan pemeliharaan) dan kualitas-kualitas maskulin yang mewakili ketegasan, kekuasaan, dominasi, dan kekuatan.
Sartre mengatakan bahwa esensi atau fitrah manusia pada dasarnya tidak ada. Esensi atau fitrah baru ada nanti ketika manusia mengukuhkan eksistensinya. Jadi eksistensi mendahului esensi. Nah, gagasan ini diambil oleh Beauvoir dan dimasukkan ke dalam ide feminismenya: Beauvoir mengatakan bahwa esensi atau fitrah, baik laki-laki maupun perempuan, itu tidak ada.
Artinya, perempuan tidak ditakdirkan menjadi ibu rumah tangga, mengasuh keluarga, dan/atau tunduk pada laki-laki (suaminya). Sama halnya, laki-laki juga tidak ditakdirkan menjadi seorang suami, kepala keluarga, dan/atau menguasai perempuan.
The Second Sex
Dalam ‘The Second Sex’ nya, Beauvoir menjelaskan lebih jauh: Bahwa yang namanya norma-norma feminisme atau maskulin itu tidak ada. Perempuan tidak harus menjadi feminin, pendiam, pemalu, pasif, dan manut sama laki-laki. Sama, laki-laki juga tidak harus menjadi maco dan hobi berkelahi biar disebut laki-laki. Semua sifat-sifat tersebut hanya lah konstruk masyarakat yang dibebankan kepada kita.
Sampai di sini kita bisa memahami bahwa feminisme eksistensialis cenderung berfokus untuk menghilangkan stereotip gender di tingkat individu terlebih dahulu.
Gagasan ini dalam aktivisme dan wacana-wacana seputar gender equality tentu sangat laris digunakan. Bagaimana tidak? Dengan mengakui bahwa perempuan tidak memiliki fitrah atau sifat alami, perempuan tidak perlu lagi merasa malu dengan diri sendiri. Tidak perlu tunduk pada otoritas laki-laki. Dan tidak perlu menjadi seperti apa yang masyarakat inginkan.
Meskipun demikian, bukan berarti feminisme ini bebas dari serangan kelompok lain. Banyak kelompok feminisme mengklaim bahwa menghilangkan stereotip gender di tingkat individu saja itu tidak cukup jika sistemnya sejak awal sudah patriarki. Percuma. Sebab tidak peduli apa yang perempuan pikirkan tentang diri dia, sistem patriarki akan tetap berjalan.
Feminisme-marxisme, sosialis, dan feminisme radikal, misalnya, berambisi untuk merubah segala bentuk sistem patriarki di lingkup terdalamnya dulu: keluarga. Tiga kelompok ini menganggap bahwa patriarki berasal dari keluarga yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Ada juga feminisme liberal yang lebih berfokus pada hukum dan regulasi, baik politik maupun agama.
Feminisme liberal percaya bahwa masalah patriarki harus kita letakkan dalam persoalan kebijakan. Penghapusan sistem patriarki dalam lingkup budaya dan sosial itu mustahil kita lakukan tanpa regulasi atau hukum yang memayungi. Olehnya demi menunjang kesetaraan dan keadilan gender, menurut feminisme liberal, kita harus mengubah hukum dan undang-undang yang bias gender terlebih dahulu.
Ekofeminisme
Terlepas dari perdebatan lima kelompok feminisme di atas, ada satu kelompok feminis yang mengambil jalur berbeda dari kelompok feminisme lain, yaitu ekofeminisme.
Ekofeminisme ini banyak mengambil nilai-nilai spiritual dan mengadopsi cara hidup masyarakat kuno yang selaras dengan alam. Dalam konteks ini, mereka tidak menggunakan term feminin dan maskulin hanya untuk manusia saja, namun juga alam – lingkungan. Mereka mengkritik peradaban manusia modern yang semakin ingin menguasai, mendominasi, dan mengeksploitasi.
Mereka menganggap bahwa kerusakan alam, polusi, kekerasan, dan perang terjadi di mana-mana karena kita cenderung melihat segala sesuatu dari segi untung-rugi, sumber daya, uang, status, dan kekuasaan, yang mana semuanya itu mewakili kualitas-kualitas maskulin. Singkatnya, dunia hari ini menjadi tidak seimbang atau berat sebelah di mana kualitas-kualitas maskulin menjadi lebih mendominasi alih-alih kualitas-kualitas feminin.
Ekofeminisme dalam hal ini ingin mengangkat derajat kualitas feminin. Mereka secara radikal mengagung-agungkan kualitas-kualitas feminin dan menganggap kualitas-kualitas maskulin sebagai hal yang buruk.
Teologi Ketuhanan
Mungkin kita sudah biasa melihat tuhan dari sudut pandang kualitas maskulin sebagai tuhan yang berkuasa, pembenci kafir, imanen, terpisah, perkasa, dan mendominasi. Bahkan kata ganti dalam bahasa Arab untuk menyebut tuhan pun menggunakan kata “huwa” yang berarti “Dia (laki-laki)”. Mengapa tuhan cenderung tergambarkan dari sudut pandang maskulin?
Berbeda dari filsafat eksistensialisme, ekofeminisme percaya bahwa manusia memiliki esensi atau fitrah, dan fitrah itu adalah “kesadaran”. Mirip seperti panteisme dan filsafat panpsikisme, ekofeminisme menganggap kesadaran sebagai unsur terpenting di alam, di mana esensi segala sesuatu adalah SATU.
Sayangnya, peradaban modern kita sudah memisakan dan mengotak-ngotakkan hubungan antara manusia dan alam. Alhasil manusia melihat manusia lain sebagai ego-ego yang terpisah dan saling berkompetisi. Kita juga melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah dari kita, maka wajar ekspoloitasi, penguasaan, dan pengrusakan alam hari ini banyak terjadi.
Menurut ekofeminisme, pemisahan dan fragmentasi baik antar sesama manusia, dan antara manusia dan alam terjadi karena kita terlalu memuja “tuhan maskulin” (The Father God), dan kurang memuja “tuhan feminin” (The Mother God).
Tawaran Ekofeminisme
Sikap kita yang cenderung memuja tuhan maskulin tersebut membuat kita mengidentifikasi diri kita sendiri sebagai sesuatu yang terpisah, independen, berkuasa, aktif, jauh, dan mendominasi. Kita menyebut diri kita lebih istimewa dari alam, dan kita punya hak untuk menguasai dan mengeksploitasi alam sesuka kita.
Jadi apa tawaran ekofeminisme tidak lain dan tidak bukan adalah dengan mengganti tuhan maskulin dengan tuhan feminin. Para ekofeminis menyebut tuhan mereka sebagai tuhan feminin: ibu pertiwi atau ibu bumi. Dengan memuja tuhan feminin, menurut mereka, kita bisa melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang jauh lebih luas. Kita bisa merealisasikan dan mengembalikan eksistensi segala sesuatu kepada ibu, bumi, kosmos, dan mother nature.
Penyembahan terhadap tuhan feminin ini akan membuat manusia mengidentifikasi diri sebagai yang dekat, pengasih, penyayang, penerima, pemelihara, pasif, berserah diri, dan semua kualitas feminin lainnya. Kualitas-kualitas feminin ini akan membuat manusia sadar bahwa elemen-elemen dalam diri manusia, antarmanusia, bumi, langit, dan alam semesta pada esensinya adalah satu: berasal dari The Mother God. Tuhan feminin. []