Mubadalah.id – Pro-kontra pendirian Negara Islam dengan sistem kekhalifahan tampaknya selalu memiliki ruang. Dan hadirnya para tokoh hampir di setiap sudut Negara yang memiliki penduduk Muslim. Kejayaan peradaban Islam di era klasik dianggap sebagai hasil dari bentuk pemerintahan dengan sistem kekhalifahan ini. Di Indonesia sendiri, tak luput dari persoalan ini. Padahal Pancasila itu Islami. Melalui tulisan ini saya akan menjelaskannya.
Kalau mau jujur kita kerap abai, di balik kejayaan-kejayaan tersebut banyak permusuhan yang terjadi. Antara lain peperangan dengan mereka yang berbeda agama, bahkan juga sesama saudara seagama sendiri. Hingga peradaban Islam mengalami kemunduran dan mulai bangkit kembali setelah para pemikir Islam era kontemporer memaknai ulang ayat-ayat keagamaan.
Tujuannya adalah agar umat Muslim dapat hidup dengan penuh kedamaian. Kepemimpinan pemerintahan dengan sistem demokrasi merupakan terobosan untuk mencapai cita-cita perdamaian bagi seluruh umat manusia ini.
Ijtihad atas hal tersebut merupakan hal yang perlu kita apresiasi, kita dukung, kawal, dan saling menguatkan. Bukan justru kita kembali berpikir ke belakang dan menggunakannya untuk kehidupan di masa yang mendatang, itu sudah tidak relevan lagi.
Pancasila Islami
Dalam konteks bangsa Indonesia, dasar dan falsafah Negara ini Pancasila itu Islami. Sehingga tidak perlu lagi kita merusak apa yang telah para pendiri bangsa rumuskan. Yaitu dengan mempertimbangkan keberagaman yang alami, lalu menjalankan dan meneguhkannya dalam keseharian hidup berbangsa.
Pada buku berjudul Syarah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Perspektif Islam yang disusun oleh Masdar Farid Mas’udi, Yudi Latif, Miftah Faqih, Hasibullah Satrawi (Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi NKRI). Ada penjelasan bahwa nilai dasar yang terdapat dalam konstitusi itu sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Sehingga masyarakat hendaknya mengetahui dan memahami, hakikat dari memperjuangkan cita-cita nasional sama halnya dan sejalan dengan memperjuangkan nilai-nilai luhur agama.
Sebagaimana tertulis dalam paragraf terakhir dan menjadi Preambule Konstitusi ’45, NKRI. Berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama ini merupakan konsep Ketauhidan. Sila ini tidak menafikan keberadaan agama-agama selain Islam di Indonesia, karena “tauhid” adalah keyakinan yang terdalam dan paling awal (primordial) dari semua agama-agama yang ada di dunia. Sebagaimana terjemah Alquran Surah Al-Anbiya ayat 25: “Tidak pernah Kami utus seorang rasul sebelum kamu (Muhammad) kecuali kepadanya Kami ajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku saja, maka sembahlah Aku.”
Meskipun setiap dari kita mengetahui, bahwasanya kita menganut syariat atau cara keberagamaan yang berbeda-beda. Sebagaimana terjemah Alquran Surah Al-Hajj ayat 34: “Bagi masing-masing umat ada acara ibadah (kurban)-nya sendiri untuk menyebut nama Allah atas rizki yang dianugerahkan-Nya berupa hewan-hewan ternak; karena Tuhan kalian itu Satu, maka kepada-Nyalah kalian semua berserah diri, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk-patuh.”
Atau meskipun kita juga tahu, bahwa kita memiliki tempat ibadah yang berbeda, sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Haj ayat 40: “sekiranya tidak ada pembelaan Allah atas keganasan manusia atas manusia yang lain, niscaya telah dihancurkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagor-sinagog Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” Ringkasnya, pada dasarnya semua agama mengajarkan ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemanusiaan
Yang menjadi prinsip pada sila kedua ini menegaskan bahwa hakikat dan martabat manusia-lah yang harus menjadi acuan moral dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan-kebijakan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Siapakah manusia?
Dalam Hadis Bukhari Muslim tertulis bahwasanya Rasulullah menjelaskan : “Bahwa Allah menciptakan manusia atas gambar-Nya.” Hadis ini senada dengan bunyi Taurat dalam Kitab Perjanjian Lama: “Maka Allah menciptakan manusia atas gambar-Nya; menurut gambar Allah diciptakan-Nya manusia; laki-laki dan perempuan.”
Dari sisi lain, sebagaimana Alquran Surah Al-Sajdah ayat 7,8,9, manusia secara material-jasmaniyah tercipta dari tanah, sedangkan secara spiritual-batiniyah tercipta dari ruh yang ditiupkan oleh Allah sendiri dari pada-Nya. Atas dasar inilah Allah Swt. memberikan kemuliaan kepada manusia melebihi makhluk lainnya (QS. Al-Isra: 70).
Jika telah demikian, maka kejahatan atas integritas ruhani dan jasmani manusia merupakan kejahatan yang berat (“karena itulah maka Kami tetapkan hukum atas Bani Israil, bahwa siapapun yang membunuh jiwa tanpa jiwa/bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau membuat kerusakan di bumi, seakan dia membunuh manusia seluruhnya, dan siapapun yang menghidupi manusia maka seolah-olah dia menghidupi seluruh manusia.” QS. Al-Maidah: 32).
Dengan demikian, pada hakikatnya memuliakan manusia adalah memuliakan Tuhan, dan sebaliknya.
Persatuan
Pada sila ketiga menggambarkan konsep menyatunya segala unsur yang berbeda. Persatuan dengan definisi ini merupakan bergabungnya manusia secara sadar dalam wadah dan pola kebersamaan yang terstruktur, dengan visi, aturan main, serta kepemimpinan guna mencapai satu cita dan tujuan bersama dalam bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini senada dengan Firman Allah dalam: QS. Ali Imran ayat 103: “berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan jangan bercerai-berai,”; dan juga QS. Al-Maidah ayat 2 yang memerintahkan untuk bekerjasama atas kebaikan dan ketakwaan, bukan bekerjasama untuk perbuatan dosa dan permusuhan.
Konsep persatuan ini juga dipelopori oleh Nabi Muhammad Saw sejak 14 abad yang lalu dengan membangun pemerintahan yang dibangun atas landasan penghargaan terhadap kebhinekaan agama, tradisi dan suku, yang kemudian kita kenal dengan sebutan Piagam Madinah.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang beragam, semangat persatuan ini sungguh mulia. Dan persatuan ini dapat kita wujudkan hanya dengan semangat persaudaraan yang tinggi oleh semua pihak sebagaimana telah para pendiri bangsa teladankan.
Tepatnya saat persitiwa penghapusan redaksi 7 kata pada sila pertama “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Penghapusan 7 kata tersebut salah satunya adalah untuk menjaga persatuan bangsa dalam mewujudkan tujuan bersama.
Nyatanya, peristiwa ini serupa dengan peristiwa yang terjadi saat perumusan Perjanjian Perdamaian Hudaybiyah. Rasulullah Saw. sendiri yang menghapus 7 kata dalam perjanjian tersebut, yakni: bi, ism, Allah, al-rahman, al-rahim, rasul, Allah, agar mendapatkan kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian bersama.
Kerakyatan
Rakyat yang menjadi prinsip kenegaraan memiliki arti bahwa kepentingan rakyatlah yang harus menjadi sumber inspirasi kebijakan dan langkah kekuasaan Negara. Bukan pada kepentingan sang penguasa atau pejabat pemerintahan, dan seorang pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya kelak di hari akhir (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, prinsip kerakyatan adalah tentang apa yang terbaik baik bagi rakyat. Jika rakyat telah mendapatkan apa yang baik baginya dari pemimpin yang sedang memerintah, maka itulah yang terbaik bagi sebuah Negara dan bangsa, begitu pula yang berlaku sebaliknya. Guna memastikan kebaikan tiap rakyat yang jumlahnya sangat banyak, maka kita memerlukan mekanisme sekaligus lembaga politik yang kita sebut MPR dan DPR.
Keadilan
Adil adalah memperlakukan setiap orang secara setara, tanpa diskriminasi berlandaskan hal-hal yang bersifat subyektif. Segala bentuk perbedaan tidak dapat menajdi alasan untuk mendiskriminasi orang lain. Justru hal tersebut merupakan salah satu kebesaran Allah (Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah terciptanya langit-langit dan bumi, juga beraneka ragam bahasa dan warna kulit; sungguh dalam itu semua ada ayat-ayat kebesaran Allah bagi semesta (QS. Rum: 22, lihat pula Al-Hujurat: 13)).
Termasuk dalam perbedaan keyakinan. Hal tersebut tidak dapat kita jadikan alasan untuk mendiskriminasi dan memusuhi siapapun yang berbeda dengan kita. Karena persoalan agama dan keyakinan adalah persoalan bagaimana Allah Swt. memberikan petunjuk ke masing-masing makhluknya (lihat QS. Al-Mumtahinah: 8).
Saat menyampaikan pidatonya dalam Haji Wada’, Rasulullah menegaskan tentang pentingnya kesetaraan dan larangan fanatisme terhadap nasab dan suku secara berlebihan, adapun yang dapat menjadi pembeda dan kelebihan seorang makhluk di hadapanya Tuhannya hanyalah ketakwaannya saja. Keadilan meliputi semua hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia baik secara kodrati dan sosial.
Negara sebagai Penegak Keadilan
Oleh karena itu, untuk mewujudkan keadilan ini, Negara sebagai pelindung dan penegak keadilan harus memprioritaskan warga yang lemah. Guna mewujudkan keseimbangan dan kesetaraan yang menjadi indikator dalam keadilan.
Sebagaimana perkataan Rasulullah Saw. yang dinuqil oleh Imam Al-Mawardi: “Negara adalah payung Allah di muka bumi. Tempat berlindungnya rakyat yang terdzalimi (hak-haknya tidak terpenuhi/terampas). “Allah tidak mensucikan suatu umat/bangsa dimana si lemah tidak bisa mengambil haknya dari si kuat tanpa harus dibikin susah (HR. Thabraniy).
Juga riwayat yang Ibnu Taimiyah kutip dalam kitab Al-Hisbah: “Allah menolong Negara yang adil meskipun kafir (sekuler). Dan Allah tidak akan menolong Negara yang lalim meskipun mukmin (religius). Ringkasnya, Negara yang Allah kehendaki, maupun rakyat adalah Negara yang mampu memberikan perlindungan kepada rakyatnya yang lemah, dengan memenuhi haknya yang terampas dan hilang.
Dalam konteks Indonesia, indikator berhasil tidaknya Negara ini adalah dengan jawaban dari satu pertanyaan. Apakah Negara telah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali? Wallahu A’lam bishshawwaab. []