• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perubahan Kepemimpinan di Pesantren, dari Kiai Sentris ke Nyai Sentris

Perubahan kepemimpinan di pesantren meneguhkan semangat perjuangan kemanusiaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
20/10/2022
in Publik, Rekomendasi
0
Kepemimpinan di Pesantren

Kepemimpinan di Pesantren

420
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. (Azyumardi Azra, 2007). Meskipun demikian, pesantren mampu beradaptasi dengan modernitas, sehingga keberadaannya masih eksis di tengah gempuran teknologi pendidikan. Salah satu unsur terpenting adalah kepemimpinan di pesantren dan keberadaan kiai. Ia memiliki pengaruh yang besar dan menjadi rujukan masyarakat untuk menginterpretasi Islam.

Dalam struktur masyarakat patriarki, kiai tak hanya memiliki otoritas tertinggi dalam kepemimpinan pesantren. Namun juga memegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan rumah tangganya. (Dhofier, 1982) Adapun nyai (istri kiai) diposisikan sebagai pendamping kyai dan pihak yang bertanggungjawab atas kebutuhan domestik pesantren.

Pun demikian dengan penerus kepemimpinan, kiai memiliki hak penuh untuk memilih siapa yang akan menjadi penggantinya. Mayoritas akan berlanjut pada anak lelakinya atau yang kita kenal dengan sebutan gus.

Namun seiring dengan semakin terbukanya akses bagi perempuan, terjadi perubahan kepemimpinan di pesantren. Posisi nyai tidak hanya sebagai pendamping kiai namun juga sebagai partner yang memiliki hak untuk merumuskan kebijakan pesantren.

Bahkan ada juga pesantren yang kepemimpinannya terpegang oleh bu nyai, antara lain; pesantren Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon oleh Nyai Masriyah Amva; pesantren Mahasiswa Bekasi oleh Nyai Badriyah fayumi; pesantren putri Cintapada oleh Nyai Nonoh Hasanah.

Baca Juga:

Peran Pesantren dalam Kehidupan Kartini

Praktik Mubadalah dalam Kegiatan Mahasantri di Tashfiyatul Qulub

Sampai Kapan Kekerasan Seksual Terus Terjadi di Ruang Pendidikan?

Pesan Abah KH Abdul Kholik Hasan: Hikmah Isra Mikraj yang Patut Kita Renungi

Nyai sebagai Sentralitas Agensi Perempuan di Pesantren

Perubahan kepemimpinan bu Nyai di pesantren ini tak bisa kita lepaskan dari pengaruh gerakan kesetaraan yang Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah usung. (Jamal Makmur, 2015) NU melahirkan organisasi sayap perempuan berupa Muslimat dan Fatayat. Sedangkan  Muhammadiyah memiliki Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah. Keduanya organisasi tersebut aktif membincang isu kesetaraan gender dan bagaimana posisi perempuan dalam Islam.

Selain Muslimat, Fatayat, dan Aisyiyah, ada pula FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) yang diinisiasi oleh Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. (Masdar Mas’udi, 2021) Kitab kuning tidak saja merepresentasikan kontinuitas keilmuan dalam pesantren karena ditulis oleh ulama abad pertengahan, tapi juga rujukan penting dalam menginterpretasi Islam. Namun sayangnya, banyak teks-teks misoginis yang terproduksi di dalamnya, dan acapkali menjadi pembenar untuk mensubordinasi perempuan.

Maka sebagai bentuk penghargaan terhadap karya ulama di abad pertengahan, forum ini banyak mengadakan mimbar kajian terbuka tentang gender. Dengan mengkaji kitab kuning melalui pendekatan keadilan, kesetaraan, dan mengedepankan sisi humanisme. Forum ini juga memberikan banyak kritik/wacana tandingan (counter-discourse) terhadap kajian kitab kuning terutama dalam konsep pembagian peran publik dan domestik bagi laki-laki dan perempuan.

Forum Kajian Kitab Kuning (FK3)

FK3 bertujuan untuk lebih memantapkan sosialisasi gender kepada publik. Sehingga muslim bisa menerima pandangan progresif tentang kesetaraan gender dalam pandangan Islam. Adapun anggota FK3 itu sendiri terdiri dari bu nyai, ning, dan pengasuh pesantren yang harapannya mampu memberi interpretasi baru tentang makna gender sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Keberadaan organisasi sayap perempuan baik di NU maupun Muhammadiyah ini membuka peluang bagi perempuan untuk memperbarui kajian fiqh agar lebih transformatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang selalu berkembang di masyarakat. Hal tersebut mereka lakukan salah satu tujuannya adalah dalam rangka penguatan hak-hak perempuan.

Dengan adanya berbagai gerakan ini pulalah, terjadi pergeseran posisi nyai yang sebelumnya hanya menjadi pelengkap keberadaan kyai dan pesantren berubah menjadi sentralitas agensi. Nyai juga memproduksi ilmu, nyai juga menjadi rujukan untuk pengetahuan agama, nyai juga memiliki hak  untuk menafsirkan hal-hal furu’iyah berasaskan nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan.

Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan di Pesantren

Perubahan kepemimpinan di pesantren meneguhkan semangat perjuangan kemanusiaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini dipertegas oleh Qs al-Hujurat ayat 13 bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bertaqwa kepada Tuhannya. Bukan berdasarkan jenis kelaminnya, suku, ras, bangsa, ataupun faktor lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi untuk menjadi makhluk terbaik di hadapan Allah adalah hak semua gender. Termasuk juga di dalamnya kompetisi dan kerjasama dalam sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan dalam sebuah kelembagaan seyogyanya kita pandang dari segi kapasitas dan kemampuan yang dimiliki bukan berdasarkan jenis kelamin.

Pun demikian dalam otoritas keagamaan, tidak terkooptasi oleh gender tertentu namun terbuka untuk siapapun yang memang memiliki kapasitas dan kemampuan di bidang keagamaan.

Maka dengan demikian penerus kepemimpinan dalam sebuah pesantren seharusnya tidak hanya mengedepankan keturunan dengan gender tertentu. Namun berdasarkan pada kapasitas dan kemampuan para penerus. Terpilih berdasarkan kemampuannya bukan karena faktor-faktor pembeda lahiriyah yang berpotensi menyebabkan diskriminasi dan subordinasi.

Nilai-nilai patriarki yang mengesampingkan sisi kemanusiaan harus kita tinggalkan sedikit demi sedikit. Dan pondok pesantren sebagai pusat keilmuan agama, bisa menjadi leading sector utama yang mampu mengikis nilai-nilai patriarki di tengah masyarakat. Jika nilai kesetaraan sudah terinternalisasi secara maksimal di sebuah pesantren, maka masyarakat akan mengikuti tradisi baik tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. []

Tags: Hari Santri NasionalkiaiNyaiPondok PesantrenResolusi JihadSantri
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version