Mubadalah.id – Kamis, 24 Nopember 2022 rombongan yang terdiri dari bu nyai, kiai, pengamat, dan perempuan aktivis melakukan perjalanan historis-ideologis jejak kepemimpinan perempuan. Rombongan ini mengunjungi sejumlah situs bersejarah yang ada di Jepara. Di antaranya adalah museum Kartini dan makam Nyai Kalinyamat.
Kunjungan ini bertujuan untuk membaca kembali jejak kepemimpinan perempuan pada masa silam. Sebagai wujud syukur sekaligus inspirasi bahwa sejak masa silam, sudah terdapat perempuan yang mampu menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat.
Perjalanan jejak kepemimpinan perempuan ini juga menjadi ruang dialog lintas masa bagi perempuan. Bagaimana perempuan saat ini, belajar kepada tokoh perempuan yang telah lebih dulu wafat, untuk menjadi sosok yang memiliki perpsektif dan gerakan yang berguna bagi masyarakat sekitar.
Kunjungan ke Museum R.A. Kartini
Situs pertama dalam perjalanan jejak kepemimpinan perempuan adalah museum R.A. Kartini. Di museum ini, para pengunjung seakan diajak kembali ke puluhan tahun silam, saat Kartini masih hidup. Banyak terdapat benda-benda yang menjadi saksi proses gerakan Kartini. Meja dan kursi yang menjadi tempatnya menulis ide-ide, kereta yang digunakan beliau untuk melakukan mobilitas dan lain sebagainya.
Peninggalan-peninggalan tersebut menggambarkan betapa besarnya gerakan yang digagas R.A. Kartini mengingat beliau lahir, tumbuh bahkan wafat dalam sebuah dunia yang serba terbatas dan sarat patriarkhi. Namun beliau tetap berani untuk survive dan membuktikan bahwa beliau mampu bergerak dan menyebar manfaat untuk orang lain.
Penulis menemukan sejumlah fakta mengejutkan dari kunjungan ke museum ini. Pertama, ternyata salah satu tokoh yang mendukung gerakan R.A. Kartini untuk berkorespondensi hingga membentuk sekolah untuk masyarakat adalah suaminya sendiri. Suami yang beberapa tahun sebelumnya menikahi dan menjadikan beliau sebagai istri keempat.
Jejak Kartini Melampaui Zamannya
Kedua, R.A. Kartini memiliki circle yang lumayan positif untuk mendukung ide-ide dan gerakan yang dibuatnya. Beliau memiliki privilege lahir dari orang tua yang bisa menyekolahkan beliau di sebuah sekolah bergengsi yang ada saat itu. Yaitu ELS (Europese Lagere School).
Kesempatan ini diperoleh tak lepas dari jabatan yang ayah beliau miliki sebagai Bupati Jepara saat itu. Selain itu, beliau juga memiliki saudara-saudara perempuan yang menemaninya belajar. Pada zaman sekarang hal ini mungkin hal yang biasa. Namun jika kita tarik kembali kepada puluhan tahun silam, memiliki circle yang bisa menemani dalam proses belajar adalah satu hal yang sangat langka dan tidak bisa sembarang orang menikmatinya.
Ketiga, beliau ternyata berusia singkat. Pada usia 25 tahun, beliau wafat tepat empat hari setelah melahirkan putra pertamanya. Namun pencapaian beliau jauh melampaui usia singkat yang beliau miliki. Membangun sekolah, secara fisik adalah hal yang mungkin mudah melakukan oleh siapapun pada zaman sekarang.
Namun jika kita mengaitkannya dengan kondisi sosial budaya, minimnya teknologi, terbatasnya bahan bacaan serta sempitnya ruang lingkup yang dimiliki oleh perempuan pada saat itu, apa yang dilakukan oleh Kartini jauh melampaui zamannya.
Kunjungan ke Makam Nyai Kalinyamat
Setelah dari museum R.A. Kartini, rombongan berlanjut ke makam salah satu tokoh perempuan di Jepara pada masa awal Islam di Nusantara. Satu hal yang penulis catat dari seorang Ratu ini adalah, ketegasan dan konsistensinya dalam membuat keputusan.
Dalam sejarah, alkisah bahwa beliau melarang siapapun menyentuh kalungnya yang ia letakkan di suatu tempat. Bagi siapapun yang melanggar, akan ia bunuh sebagai sanksi. Suatu ketika, putri beliau sendiri tanpa sengaja menyentuh kalung itu dengan menggunakan kakinya. Mengetahui hal ini, beliau tanpa ragu tetap akan melaksanakan sanksi yang telah beliau janjikan yaitu dengan dibunuh. Meskipun itu adalah putrinya sendiri.
Putra-putrinya yang lain dengan sangat memohon kepada beliau untuk mencabut sumbah sanksi tersebut. namun beliau menolak dan memilih untuk melakukan kompromi dengan tidak membunuh namun tetap menghukum. Akhirnya, putri yang menyentuh kalung itupun ia potong kakinya. Peristiwa ini menggambarkan betapa beliau adalah tokoh perempuan yang konsekuen dan tegas terhadap semua ucapannya.
Ratu Shima: Perempuan Jepara yang Hilang di Telan Sejarah
Seorang tokoh perempuan Jepara yang situsnya sudah hilang dan tidak bisa kami kunjungi lagi adalah Ratu Shima. Beliau adalah Ratu dari kerajaan Kalingga. Menurut sejarah, beliau adalah seorang ratu yang terkenal dengan ketegasan bahkan keras namun sangat adil. Hal ini membuat beliau sangat dicintai oleh rakyatnya.
Satu hal yang penulis catat dari penjelasan guide di bus tentang Ratu Shima adalah, keputusan beliau di bidang hukum. Saat itu, beliau membuat peraturan bahwa siapapun yang terbukti mencuri, akan ia hukum dengan terpotong tangannya. Pernyataan ini membuat penulis kagum. Karena ternyata keputusan beliau mirip dengan konsep qishas dalam Islam.
Dari tiga refleksi di atas, kita dapat belajar bahwa status menjadi perempuan, bukanlah penghalang sedikitpun. Terlebih pada zaman sekarang ketika fasilitas kehidupan jauh lebih mudah dan kondisi sosial-budaya yang memungkinkan perempuan untuk belajar dan bergerak kapanpun, di manapun dan dengan cara apapun. Semua bergantung pada kemauan. Apakah dia mau untuk berubah untuk lebih baik atau memilih untuk bertahan dalam kejumudan cara berpikir. Allahu A’lam. []