Mubadalah.id – Baru saja reda heboh kasus KDRT artis Rizky terhadap Lesty, mencuat lagi KDRT Ferry Irawan terhadap Venna Melinda. Pernikahan mereka belum genap setahun, Venna sudah melaporkan suaminya dengan keadaan hidung masih berdarah.
Jika selama ini banyak analisis menyatakan ketergantungan istri sebagai faktor kuat KDRT, pada kasus Venna ini justru sebaliknya. Venna adalah perempuan mandiri dari berbagai segi. Ekonomi, sosial, dan politik. Dia sama sekali tidak bergantung pada Ferry. Kasus-kasus artis ini juga sekaligus mematahkan mitos bahwa KDRT hanya terjadi di kalangan bawah, miskin, dan tidak terpelajar.
Bagaimana mubadalah memandang hal ini?
Mubadalah adalah relasi dua pihak, seperti suami dan istri, dengan basis kesalingan dan kerjasama antara keduanya. Dalam perspektif mubadalah, setiap kebaikan berkeluarga harus dilakukan keduanya dan dirasakan juga oleh keduanya. Begitupun keburukan dalam berkeluarga, harus dicegah dan dihindari keduanya. Masing-masing tidak boleh menjadi pelaku maupun korban.
Untuk menguatkan relasi mubadalah ini, masing-masing harus memegang teguh tiga prinsip pondasi: cara pandang bermartabat, adil, dan maslahah. Cara pandang bermartabat artinya masing-masing harus memandang diri dan pasangannya sebagai seseorang yang bermartabat dan patut untuk kita perlakukan secara baik dan mulia. Apapun posisi dan keadaan masing-masing, harus memulai dengan cara pandang yang bermartabat.
Ketika keadaan dan kapasitas keduanya berbeda, maka yang memiliki kapasitas lebih harus bertandang melindungi dan memberdayakan yang kurang. Baik secara fisik, ekonomi, sosial, maupun pengetahuan. Yang fisiknya kuat melindungi yang lemah. Yang ekonominya berlimpah mendukung yang kekurangan. Begitupun masalah sosial, spiritual, dan intelektual. Inilah perilaku dari prinsip yang kedua: adil.
Sementara maslahah artinya masing-masing harus berpikir dan berperilaku untuk kebaikan keluarga, untuk diri, pasangan, dan seluruh anggota keluarga lain. Untuk itu, juga membuka dan memfasilitasi potensi diri dan pasangan agar bisa maksimal dalam mewujudkan kebaikan dan juga menikmatinya.
Tiga prinsip ini menjadi pondasi untuk mengelola relasi pasutri yang terus menghadapi berbagai tantangan, bahkan tekanan hidup. Jika tiga prinsip ini tidak menjadi pondasi, maka pasutri artis maupun awam, kaya maupun miskin, terpelajar maupun tidak, akan rentan terjadi kekerasan sebagaimana Lesty dan Venna alami. Dengan tiga prinsip ini, setidaknya ada lima faktor mengapa KDRT artis akan terus marak terjadi.
Cara pandang merendahkan
Perempuan yang menghormati suaminya, tidak mungkin akan memukulnya. Begitupun laki-laki yang menghormati istrinya tidak akan berani memukulnya. Seseorang, sebelum melakukan kekerasan terhadap orang lain, ia akan memandangnya lebih rendah, hina, dan lebih buruk lagi: menganggap pasangannya sebagai jahat dan musuhnya.
Nabi Muhammad Saw telah mengingatkan hal ini, bahwa merendahkan orang lain adalah awal dari segala keburukan kepadanya (Sahih Muslim, no. hadits: 6706). Awalnya, seorang laki-laki akan menganggap istrinya salah, tidak taat, membangkang, tidak baik, hina, lebih rendah, bahkan jahat terhadapnya. Dari cara pandang ini, dia akan mulai berani melakukan kekerasan, mulai dari yang verbal, psikis, bahkan bisa meningkat pada fisik, yang bisa melukai, dan bahkan sampai pada kematian.
Lupa kebaikan pasangan
Seseorang yang merendahkan pasangannya akan kesulitan mengingat kebaikannya. Yang sering terpikir malah keburukannya. Terus dan terus, sehingga membesar. Dia lalu berpikir untuk mengingatkan dan mendisiplinkan pasangannya. Dia lupa keburukan dia, tetapi ingat keburukan pasangannya. Mengungkit kebaikan diri sendiri, tetapi lupa kebaikan pasangannya. Dalam kondisi relasi demikian, kekerasan akan mudah terjadi.
Karena itu, dalam relasi pasutri yang mubadalah, Nabi Muhammad Saw selalu mengingatkan, ketika seorang laki-laki teringat keburukan istrinya segera beralih untuk mengingat berbagai kebaikannya. Begitupun sebaliknya, ketika perempuan teringat perilaku buruk suaminya, segera mengingat berbagai kebaikannya (Sahih Muslim, no. hadits: 3721).
Tentu saja, hal ini terkait dengan keburukan kecil dan bukan yang prinsipil. Ayat an-Nisa (QS. 4: 19) juga menganjurkan pasutri untuk saling berbuat baik, dengan tidak memfokuskan pada keburukan pasangan, sebaliknya pada kebaikan-kebaikannya.
Kontrol diri lemah
Setiap manusia memiliki kekuatan baik dan sekaligus buruk (QS. Asy-Syams, 91: 8-9). Kekuatan buruk itu bisa berupa nafsu menguasai, mengontrol, dan memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuatan baik bisa semua dorongan untuk berbuat baik, sekaligus mengontrol kekuatan buruk yang ada pada diri, agar tidak destruktif pada diri maupun orang lain.
Ketika kontrol diri lemah, kekuatan buruk seseorang bisa destruktif pada diri maupun orang lain. Jika kita gabung dengan dua faktor di atas, seseorang akan mudah melakukan kekerasan kepada pasangannya. Sekalipun dia yang pelaku, dia akan menjustifikasi dirinya sebagai yang benar dan pasangannya salah, mencari-cari dan memberi alasan tindak kekerasan yang dia lakukan, dan bahkan menumpahkan kesalahan justru kepada pasangannya.
Anjuran-anjuran agama mengenai ibadah, doa, dan akhlak karimah adalah medium untuk mengasah daya dorong diri agar terus berbuat baik (amar ma’ruf), dan memperkuat daya kontrol diri agar tidak berbuat buruk (nahi munkar). Beribadah yang benar adalah yang reflektif, yang menguatkan kehambaan-Nya kepada Allah Swt, sekaligus mengasahnya menjadi pribadi yang bertakwa dalam relasi sosial, dengan daya dorong tinggi untuk kebaikan (amar ma’ruf) dan daya kontrol kuat dari tindak keburukan (nahi munkar).
Pudarnya rasa berpasangan
Dalam perspektif mubadalah, ikatan pernikahan adalah ikatan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Ketika menikah, seseorang harus memandang dirinya bagian dari pasangannya, begitupun pasanganya adalah bagian dari dirinya. Kebahagiaan pasangannya adalah juga kebahagiaannya, dan kesakitan pasangannya adalah juga kesakitan dirinya.
Al-Qur’an menegaskan relasi mubadalah seperti ini dengan ibarat pakaian. Laki-laki adalah pakaian bagi istrinya dan perempuan adalah pakaian bagi suaminya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, QS. Al-Baqarah, 2: 187). Al-Qur’an juga memandang ikatan pernikahan ini sebagai zawaj, atau berpasangan. Masing-masing, antara suami dan istri, adalah zawj (pasangan) bagi yang lain.
Ketika rasa berpasangan ini pudar, seseorang akan mudah melakukan tindak kekerasan kepada pasangannya. Mulai dari yang sederhana, verbal, dan bisa meningkat pada psikis dan fisik. Jika dia memandangnya sebagai pasangan, ia justru akan melindunginya dari segala keburukan, termasuk dari tindak kekerasan dirinya.
Untuk itu, Allah Swt selalu mengingatkan pentingnya rasa berpasangan di antara pasutri (QS. ar-Rum, 30: 21), selalu saling berbuat baik satu sama lain (QS. an-Nisa, 4: 19), menjaga komitmen pernikahan sebagai janji kokoh (mitsaqan ghalizan) yang harus dijaga bersama (QS. an-Nisa, 4: 21), selalu bermusyawarah dan saling mencari keridhoan satu sama lain (QS. al-Baqarah, 2: 233).
Nafsu berkuasa
Budaya kita sering mendidik dan mendorong laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan. Banyak orang memahaminya secara salah. Yaitu menjadi penguasa yang bisa berbuat sekehendaknya dan menuntut ketaatan penuh dari istrinya. Padahal, kepempinan di sini maksudnya lebih pada tanggung-jawab untuk menghadirkan kebaikan (ma’ruf), kebahagiaan (sakinah), dan cinta (mawaddah) kasih (rahmah). Inilah yang diajarkan al-Qur’an (QS. ar-Rum, 30: 21 dan an-Nisa, 4: 19).
Tetapi laki-laki yang tidak berpijak pada tiga prinsip pondasi mubadalah di atas, akan menggunakan didikan budaya ini untuk memperbesar ego dan nafsu kuasanya atas perempuan. Dengan nafsu ini, laki-laki akan mudah memberi berbagai tuntutan dan perintah pada istrinya, mengontrol kehidupanya, dan mendisiplinkannya dari sesuatu yang ia anggap salah.
Dengan sikap yang tidak mubadalah ini, apalagi ditambah keempat faktor di atas, laki-laki akan mudah melakukan kekerasan kepada istrinya. Baik laki-laki artis atau awam, kaya atau miskin, terpelajar maupun tidak. Lebih-lebih lagi jika ditambah dengan faktor-faktor eksternal yang lain, terutama tantangan dan tekanan hidup yang tiada ujung ini.
Semoga kita semua terhindar dari cara pandang, sikap, dan perilaku yang tidak mubadalah. Sehingga terjauhkan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga, baik sebagai korban maupun pelaku. Amiin. []