Belajar sepanjang hayat. Mungkin itu prinsip bijak yang selalu saya pegang dari salah seorang guruku sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar di Desa Pandansari, Brebes. Sebuah kalimat yang semangatnya masih merembes dalam sanubari hingga saat ini. Termasuk saat bertemu dengan ibu-ibu keren –yang seperti amnesia pada umurnya– terus belajar bersama.
Membersamai ibu-ibu di setiap akhir pekan menjadi rutinitasku dua bulan ini. Kami belajar bersama dalam Kelas Parenting yang diadakan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nadhatul Ulama (LKKNU) Kabupaten Cirebon kerja bareng Yayasan Abdurrahman Wahid. Di kelas itu, kami belajar tentang bagaimana mengasuh anak dengan cara islami dan menyenangkan.
Dalam kelas yang menggunakan metode belajar orang dewasa itu, semua suara didengarkan, terutama tentu saja suara ibu-ibu. Di setiap pertemuan, ada saja cerita menarik dari pengalaman perempuan hebat di dalam keluarga itu. Seperti bahwa selama ini orangtua menginginkan anaknya agar menjadi seperti apa yang orangtua inginkan.
Hal ini tentu saja membuat anak tertekan, membuat tidak nyaman dan tidak betah berada di rumah. Sekalipun di luarnya anak terlihat rajin belajar dan berprestasi, sesuai keinginan orangtua, anak merasa tidak didengar. Dan ini tidak baik bagi perkembangan mereka. Dalam kelas selalu diingatkan bahwa orangtua baiknya menjadi teman dan menjadi sahabat anak, mendengarkan keinginan anak.
Ibu-ibu peserta Kelas Parenting itu benar-benar terus belajar. Beberapa dari mereka, dalam refleksi pasca kelas mengatakan menyadari kekeliruan selama ini dalam mengasuh dan mendidik anak. Tapi tidak ada yang tidak mungkin, semua bisa saling belajar karena hakihatnya hidup ini adalah proses untuk belajar sepanjang hayat. Esok, mereka bersiap menyambut anak mereka dengan pengasuhan yang bersahabat.
Hal menarik lainnya dalam Kelas Parenting adalah tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan? Pada awal pertemuan, dua bulan yang lalu, hampir 90 persen peserta dari 80-an orang dari du akelas menjawab bahwa yang mempunyai tanggung jawab atas pengasuhan anak adalah ibu.
Padahal kalau kita telisik dan renungkan kembali bahwa hadirnya anak merupakan hasil kerjasama bersama antara laki-laki dan perempuan. Harusnya pengasuhan anak pun menjadi tanggung jawab bersama, ibu dan ayah.
Dalam Islam, pendidikan anak pada praktiknya juga menjadi tanggung jawab bersama kedua orang tua. Bukan ibu semata. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam hadits, yang artinya: Abu Hurairah r.a. menuturkan dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda,”tidak ada seorang anak dilahirkan,kecuali dalam keadaan fitrah (suci dan bersih). Kedua orang tuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Shahih Bukhori,no 1373).
Dalam teks hadist itu tersirat secara jelas bahwa kedua orang tua berperan aktif dalam mentransformasikan identitas agama kepada seorang anak. Begitupun dalam konteks pengasuhan. Sebab, anak yang memperoleh kasih sayang dari kedua orang tua akan tumbuh lebih kuat secara psikis dibandingkan dengan jika hanya memperoleh dari salah satu saja.
Selain itu, ada 5 dasar dalam pengasuhan (parenting) yang perlu dipraktikkan orang tua sebagai pondasi penting untuk mencapai masa depan yang diharapakan yaitu:
Pertama, bahwa setiap anak unik dan suci (fitrah);
Kedua, mendidik anak dengan cinta kasih sayang (rahmah);
Ketiga, mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua (ayah dan ibu) sepenuhnya (mas’uliyah);
Keempat, orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya (uswatun hasanah); dan
Kelima, mewujudkan anak menjadi pribadi yang utuh yang membawa kebaikan untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, Negara, dan alam semesta (maslahah)
Banyak hal menarik lainnya dalam Kelas Parenting yang itu merupakan hal baru bagi ibu-ibu, juga bagi saya pribadi. Hal baru itu kita dialogkan dengan yang selama ini kita lakukan. Hasilnya, kita terus belajar untuk mewujudkan pengasuhan anak yang lebih baik. Kami siap menjadi orangtua hebat, remaja gemilang.[]