• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Keluarga Bahagia, Adakah?

Zahra Amin Zahra Amin
10/12/2021
in Keluarga
0
Keluarga Bahagia

Keluarga Bahagia

30
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kalimat tak menyenangkan seringkali harus diterima oleh perempuan yang sudah berkeluarga. Seperti apapun perannya dia akan selalu menghadapi tantangan yang tak mudah, entah sebagai ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja, terutama terkait relasi dengan pasangan, pembagian tugas dan pola pengasuhan anak. Dengan kondisi demikian, akhirnya memunculkan tanya, adakah keluarga bahagia?.

Pemahaman yang salah kaprah, dan tradisi masyarakat yang menganggap bahwa perempuan harus di rumah, dan lelaki bekerja mencari nafkah, seolah menjadi pembenaran jika ketika istri terlalu banyak menghabiskan waktu di luar rumah, maka keluarganya akan menjadi berantakan. Sebaliknya, suami yang lebih banyak di rumah, juga dianggap sebagai lelaki pengangguran dan tak cakap menjadi kepala keluarga.

Padahal setiap keluarga punya kebutuhan dan masalah sendiri, yang kita tidak pernah tahu. Ada suami yang harus rela meninggalkan anak istrinya pergi jauh untuk mencari nafkah. Hingga berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun.

Atau ada suami yang terkena PHK, mengalami kebangkrutan usaha, punya riwayat sakit keras, lumpuh dan sebagainya yang mengkondisikan dia lebih banyak di rumah. Ada pula istri yang harus ikhlas berpisah, bekerja ke luar kota atau luar negeri, demi kehidupan dan masa depan keluarga yang lebih baik.

Semua dilakukan dalam rangka mencari kesempurnaan dalam keluarga. Meski tak ada keluarga yang ideal yang selalu bahagia, tetapi selama nafas masih berhembus masing-masing dari kita, sebagai manusia akan terus berusaha menjalankan perannya, untuk kebaikan bersama suami istri serta keluarga. Kuncinya adalah komunikasi bagaimana suami dan istri saling menerima serta percaya. Itu saja sudah cukup.

Baca Juga:

3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

Makna Wuquf di Arafah

Sebagai rujukan, saya mencatatkan kembali materi yang disampaikan Ibu Dr. Nurrofiah, Bil.Uzm dalam kegiatan Rakernas LKKNU beberapa waktu lalu di Jakarta. Bahwa manusia itu tugasnya adalah sebagai khalifah fil ard. Artinya setiap manusia merupakan mandataris di muka bumi untuk mewujudkan kemaslahatan di muka bumi, termasuk kemaslahatan keluarga.

Maka hanya menuhankan Allah, tidak menuhankan yang lainnya, tauhid yang benar akan melahirkan kemaslahatan pada makhluk Allah seluas-luasnya. Tidak menuhankan harta, kekuasaan, libido dan seksualitas. Dan penilaian atas semua itu yang dinamakan dengan taqwa.

Sehingga Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan tentang “khoirunnas ‘anfa’uhum linnas”. Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain. Ini adalah jati diri kita sebagai umat Islam, dan jati diri keluarga maslahah. Berbuat baik pada diri sendiri dan orang lain seluas-luasnya, serta tidak berbuat dzalim pada orang lain seluas-luasnya.

Perjalanan manusia sepanjang atau sependek apapun berusaha ingin menjadi orang baik. Kemaslahatan dalam keluarga maslahah itu tidak eksklusif tapi terbuka. Kita merasa bahagia lalu orang lain menderita itu bukan dinamakan keluarga maslahah. Jadi karakter Islami dari seseorang yaitu ke dalam maslahat, bagi diri sendiri kemudian ke luar juga maslahat seluas-luasnya untuk orang banyak.

Kita juga tidak hanya cukup menjadi pribadi sholeh dan sholehah, tapi juga muslih dan muslihah. Disebut seseorang itu Islami ditentukan oleh sejauhmana iman/tauhid kita pada Allah. Tidak ekslusive, baik di luar secara kepribadian juga baik di luar seluas-luasnya untuk orang lain.

Di dalam Alqur’an sendiri tidak membedakan antara suami dan istri. Semua menggunakan kata zauj meskipun itu untuk istri. Mawaddah sebagai subjek yang mencintai. Sedangkan manfaat cinta (mawaddah) hanya pada “saya”. Mawaddah bagus tapi tidak cukup untuk mewujudkan keluarga maslahah, karena tidak perduli pada kebahagiaan orang lain.

Maka diperlukan rahmah, yakni memberi kasih sayang antar satu sama lain. Sehingga sakinah meniscayakan suami dan istri punya dorongan untuk menyuburkan sekaligus merawat perkawinan. Suami istri sama-sama saling memikirkan kebahagiaan keduanya. Mewujudkan kebahagiaan keluarga sepanjang usia perkawinan melalui nilai-nilai mawaddah, rahmah dan sakinah.[]

Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Najwa Shihab dan Ibrahim

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

26 Mei 2025
Program KB

KB: Ikhtiar Manusia, Tawakal kepada Allah

23 Mei 2025
Alat KB

Dalil Agama Soal Kebolehan Alat KB

22 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Istilah “Kurban Perasaan” Pada Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Raya dalam Puisi Ulama Sufi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID