Mubadalah.id – Keadilan secara umum didefinisikan sebagai “menempatkan sesuatu secara proporsional” dan “memberikan hak kepada pemiliknya”.
Definisi ini memperlihatkan kepada kita bahwa ia selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya dia terima, tanpa harus diminta, karena hak tersebut sudah ada dan menjadi miliknya. Hak-hak tersebut melekat pada diri setiap manusia.
Dengan begitu pemenuhan keadilan sama sekali tidak terkait dengan asal usul atau latarbelakang seseorang, seperti ras, kesukuan, kebangsaan, kelas sosial, agama, jenis kelamin dan lain-lain, melainkan semata-mata atas dasar kepemilikan atas hak-hak tersebut.
Dalam konteks relasi gender, kita melihat bahwa wujud pemenuhan hak bagi kaum perempuan masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan perempuan sebagai entitas yang terendahkan.
Meskipun hari ini telah terjadi sejumlah kemajuan yang kaum perempuan capai, akan tetapi fakta-fakta kebudayaan dan peradaban manusia memperlihatkan betapa ketidakadilan terhadap mereka masih demikian dominan.
Hak Kemanusiaan
Hak-hak kemanusiaan mereka belum terpenuhi. Eksistensi mereka belum setara dengan jenis kelamin laki-laki. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotip-setereotip yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarginalkan mereka.
Potensi intelektual kaum perempuan belum terakui sebagai secemerlang laki-laki. Mereka masih sebagai makhluk Tuhan yang bodoh, meskipun mereka dalam faktanya telah mencerdaskan manusia.
Mereka masih menjadi “provokator amoral”, meskipun bukti-bukti faktual menolak generalisasi seperti itu. Satu-satunya potensi “cemerlang” perempuan yang dipersepsi oleh kebudayaan patriarkhis tersebut adalah tubuhnya.
Pandangan ini pada gilirannya mendasari perspektif kebudayaan yang lain di mana tubuh perempuan seakan-akan sah saja untuk dieksploitasi secara intelektual, ekonomi dan seksual, melalui beragam cara dan bentuknya. Kecemerlangan tubuh mereka menjadi sasaran hasrat-hasrat kenikmatan.
Kaum perempuan masih terkepung oleh berbagai bentuk kekerasan, fisik, psikis, seksual dan ekonomi, baik di ruang privat maupun publik.
Demikianlah, maka perempuan masih tetap menjadi korban persepsi kebudayaan yang tidak adil gender. Sebuah kebudayaan yang berdasarkan ideologi patriarkhis dan serba maskulin.
Maka keadilan bagi berempuan tampak jelas masih sebatas sebagai sebuah retorika belaka. Ia belum muncul sebagai sebuah realitas yang massif. Lalu ke arah mana perempuan korban ketidakadilan tersebut harus kita akhiri. []