Mubadalah.id – Kalau sedang berada di Kota Gorontalo, cobalah luangkan waktu ke Tamalate. Di sana, ada Masjid Sabilulhuda yang merupakan salah satu masjid bersejarah di Gorontalo. Di masjid itu, terukir nama seorang perempuan; “Masjid Besar Sabilulhuda ‘Boki Owutango’ Tamalate (946 H/1525 M).”
Ini menjadi menarik, sebab adanya nama Owutango di masjid bersejarah, seakan mengabarkan kepada kita bahwa, dalam perkembangan Islam di Gorontalo ada andil sosok perempuan yang namanya terukir di masjid itu.
Siapa kiranya Boki Owutango? Kenapa namanya menghiasi nama Masjid Sabilulhuda yang merupakan salah satu masjid bersejarah di Gorontalo?
Seorang Perempuan yang Berpengaruh
Cerita rakyat Gorontalo tentang “Asal-usul dan Kisah Putri Owutango,” menceritakan kalau Putri Owutango merupakan anak dari raja Palasa, Gumoyala atau Boualo, yang menikah dengan Putri Sayagutone. Dia lahir di Gorontalo, dan tumbuh sebagai seorang muslimah di Palasa.
Menurut Ka’apu, seorang warga Tamalate yang terpandang paham sejarah setempat, menjelaskan kepada saya, kalau Putri Owutango adalah seorang perempuan yang pada masanya, abad ke-16 M, berkuasa di Tamalate. Oleh karena itu, tidak heran jika namanya terabadikan di Masjid Sabilulhuda Tamalate.
Namun, kalau memandang Putri Owutango sebagai penguasa dalam artian raja setempat, ini menjadi agak bertentangan dengan narasi pernikahan Raja Amai dan Putri Owutango dalam cerita rakyat Gorontalo. Di mana, pasca-pernikahan di Palasa, keduanya berangkat ke Gorontalo.
Dalam perjalanan itu, ada delapan orang raja di bawah vasal Palasa yang mendampingi Raja Amai dan Putri Owutango, dan satu dari kedelapan raja itu adalah raja Tamalate.
Narasi Putri Owutango dalam Cerita Rakyat
Sumber ini memang tidak menyebutkan siapa nama-nama dari kedelapan raja itu. Namun, mengingat narasi dalam cerita rakyat ini, bahwa raja Tamalate merupakan satu dari delapan raja; raja Tamalate, Lemboo, Siendeng, Hulangato, Sipayo, Bunuyo, Soginti, dan Sidoan, yang mendampingi Raja Amai dan Putri Owutango dalam perjalanan ke Gorontalo. Maka, narasi itu tidak merujuk kepada sosok Putri Owutango sebagai raja Tamalate.
Meski begitu, cerita rakyat ini, tidak serta-merta mematahkan Putri Owutango sebagai sosok perempuan yang memiliki kuasa atau pengaruh di Tamalate. Sebab, mengingat dia merupakan anak dari raja Palasa, maka sudah barang tentu memiliki kewibawaan (kekuasaan) di wilayah asal ayahnya yang salah satunya adalah Tamalate. Dan, statusnya sebagai boki (ratu/istri raja) Gorontalo, itu juga menjadikan dia semakin berpengaruh dalam masyarakat.
Selain itu, penggambaran Owutango dalam cerita rakyat yang berani menggugat Raja Amai. Sebab dia pandang hanya suka bermalas-malasan dalam jabatannya, itu menggambarkan kalau sosoknya bukan sekadar boki yang bersembunyi di dalam istana. Melainkan, sosok perempuan pemimpin (boki/ratu) yang turut memerhatikan perkembangan yang terjadi di wilayahnya. Tentu, termasuk yang dia perhatikan adalah Tamalate.
Oleh karena itu, tidak akan berlebihan untuk kita, memandang Putri Owutango sebagai sosok perempuan pemimpin, yang pada abad ke-16 M memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat Gorontalo khususnya Tamalate.
Mengislamkan Raja, Masyarakat, dan Adat Gorontalo
Putri Owutango adalah sosok perempuan yang dalam sejarahnya punya andil besar dalam perkembangan Islam di Gorontalo. Meski, umumnya, narasi kesejarahan seakan sekadar memosisikannya sebagai tokoh pendukung. Di mana atas berkatnya raja masuk Islam. Selain itu kehadiran Putri Owutango sangat penting dalam titik balik penerimaan Islam masyarakat Gorontalo.
Basri Amin dalam “Lokalitas Islam Gorontalo,” menjelaskan bahwa adanya pernikahan dua golongan elite kerajaan, Putri Owutango (Palasa) dan Raja Amai (Gorontalo), menjadi menguntungkan dan mempercepat Islamisasi dalam masyarakat Gorontalo. Sebab, raja telah menerima Islam, maka selanjutnya menjadi lebih mudah dalam menyebarkan Islam di kalangan masyarakat.
Proses pengislaman Raja Amai–raja Gorontalo yang pertama menerima Islam. Hal itu bermula dalam kunjungannya ke kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini, guna memperkuat hubungan kerjasama. Di Kerajaan Palasa, Raja Amai jatuh hati kepada Putri Owutango yang, sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, merupakan anak raja Palasa.
Dan, sang raja Gorontalo kemudian melamar sang putri Palasa. Namun, Putri Owutango tidak langsung menerima lamaran ini. Dia mengajukan syarat yang harus Raja Amai penuhi.
Sebagaimana yang M.H. Lipoeto jelaskan dalam Sedjarah Gorontalo, saya kutip dari Mahyudin Damis dalam “Ikrar U Duluwo Limo Lo Pohalaa: Bentuk Kesadaran Etnis Gorontalo Era Prakolonial,” bahwa; “Dia (Owutango) bersedia kawin asalkan Amai dan rakyatnya masuk Islam lebih dahulu.”
Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan Basri Amin, tidak hanya raja dan rakyat yang masuk Islam, namun juga adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber pada al-Qur’an (ajaran Islam).
Oleh karena itu, Raja Amai menerima persyaratan tersebut, dan keduanya menikah. Maka, sebagaimana kesepakatan awal, mulailah Kerajaan Gorontalo menyesuaikan adat istiadat dengan syariat. Pada masa Raja Amai, kemudian terumuskan satu prinsip adat; saraa topa-topango to adati (syariat bertumpu pada adat).
Narasi Sejarah Menyorot Raja Amai
Pandangan ini kemudian menjadi pegangan utama dalam kehidupan masyarakat Gorontalo. Kala itu, yang mulai berpola pada kehidupan Islami. Prinsip adat ini terus berproses, hingga pada masa Sultan Eato (1673-1679), menemukan bentuk; adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Quruani (adat bersendi syariat, dan syariat bersendi al-Qur’an).
Sampai di sini, umumnya, narasi sejarah lebih banyak menyorot sosok Raja Amai, dan beberapa raja selanjutnya, sebagai peletak dasar peradaban Islam di Gorontalo, dan agak mengesampingkan sosok Putri Owutango.
Padahal, sebagaimana yang telah terjelaskan sebelumnya, dapat kita katakan berkat Putri Owutango lah Raja Amai dan banyak rakyat Gorontalo menerima Islam. Termasuk, komitmen keislamannya juga mendorong penyesuaian antara adat dan syariat di Kerajaan Gorontalo.
Bahkan, mengingat Putri Owutango tidak hanya menghendaki raja dan rakyatnya memeluk Islam. Namun juga adat istiadat harus sejalan dengan ajaran Islam. Maka, bukan sesuatu yang tidak mungkin, jika dia turut terlibat dalam perumusan adat Gorontalo, kala itu, yang mulai berpola pada kehidupan Islami.
Maka dari itu, Putri Owutango adalah sosok perempuan yang memiliki peran besar dalam sejarah Islamisasi Gorontalo. []