Mubadalah.id – Nafkah dalam pandangan sebagian masyarakat merupakan harta yang diperoleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik pangan, sandang, papan, maupun yang lain.
Dalam sebuah keluarga, harus ada yang bertanggung jawab menghasilkan nafkah demi keberlangsungan hidup semua anggotanya.
Secara prinsip, pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga bisa dan boleh dari harta siapa pun. Tidak hanya dari harta suami, tetapi bisa dari harta istri. Bisa juga dari keduanya, suami dan istri. Atau bisa juga dari harta orangtua suami dan atau istri. Atau yang lain, seperti santunan sosial atau bantuan negara.
Tujuan laki-laki menikahi perempuan, di antaranya karena harta yang perempuan miliki yang tercantum dalam Hadis (Shahih al-Bukhari, no. 5146) adalah indikasi kuat bahwa harta istri bisa ia gunakan untuk kebutuhan keluarga.
Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Saw, bersabda, “Seorang perempuan itu dinikahi karena empat hal: hartanya, status sosialnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang memiliki agama, agar kehidupan (rumah tanggamu) lebih terpuji dan lestari.” (Shahih al-Bukhari, no. 3708 dan Shahih Muslim, no. 5146).
Terlebih dengan kisah kehidupan Rasulullah Saw di Makkah, terutama setelah memperoleh wahyu saat berusia 49 tahun.
Semua kebutuhan nafkah keluarga Nabi Saw terpenuhi oleh harta istri tercinta Sayidah Khadijah r.a.
Surah an-Nisa ayat keempat juga secara eksplisit memperbolehkan laki-laki menggunakan mahar yang istri miliki. Jika mendapatkan restu, untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga. []