Mubadalah.id – Dalam panggung sejarah, kaum perempuan sering menjadi korban ketidakadilan maupun korban dari sistem patriarki. Perempuan dalam perjalanannya hanya kita anggap sebuah aib dan dipandang sebelah mata.
Dalam sistem budaya dan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia, perempuan terpersepsikan hanya untuk reproduktif belaka. Perempuan kita anggap hanya berada di rumah untuk melanjutkan keturunan, melahirkan dan mengasuh anak. Tak heran saat anak perempuan ingin melanjutkan jenjang pendidikan, orang tua selalu melarang. Alasan mereka anak perempuan cukup fokus urusan masak dan melahirkan saja.
Pada masa jahiliyyah, perempuan juga turut menjadi korban dari ketidak adilan dan penindasan. Perempuan menjadi barang yang dapat terwarisi, terkucilkan saat datang bulan, bahkan terkubur hidup-hidup saat lahir kedunia.
Budaya dan ideologi patriarki dapat mengakar dalam masyarakat karena mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan, baik kepercayaan maupun bernegara. Oleh karena itu, sekalipun dalam sejarahnya banyak perempuan yang memiliki posisi penting dalam masyarakat dan negara, keberadaanya tidak selalu mendapat apresiasi.
Perhatian Islam terhadap Perempuan
Islam agama rahmat yang mengecam segala bentuk ketidakadilan termasuk ketidakadilan yang menimpa perempuan. Islam datang untuk menghapus ketimpangan terhadap perempuan dan memuliakan serta menjaga hak asasi manusia sejak lahir. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai ayat al-Qur’an diantaranya dalam QS. Al- An’am ayat 151;
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ
“Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan.” (QS. Al-An’am 151)
Dalam tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pada masa jahiliyyah anak-anak perempuan mereka bunuh. sebagaimana atas apa yang setan perintahkan. Mereka mengubur anak-anak perempuan karena takut akan aib dan takut miskin. Beliau menambahkan ayat larangan membunuh anak perempuan merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya. Bahkan melebihi kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Hal tersebut tertandai dengan melarang umat manusia membunuh anak-anak mereka. Sebagaimana pula Allah juga mewasiatkan kepada orang tua untuk memberikan harta warisan kepada anak perempuan. Di mana pada zaman jahiliyyah anak perempuan tidak mendapat harta warisan.
Kisah Khaulah binti Sa‘labah
Bentuk rahmat Islam terhadap perempuan juga dapat dilihat dari dikabulkannya aduan dari seorang wanita yang di zhihar. sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Mujadalah ayat 1:
قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۖوَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ
“Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Qurais Shihab menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Khaulah binti Sa‘labah yang di zhihar oleh suaminya, Aus bin Samit. Ia menzhihar istrinya karena enggan melayaninya usai sholat. Khaulah pun mengadukan masalah nya kepada Rasulullah. Bahwa: “Aus mengawiniku ketika aku muda dan disenangi banyak orang. Tetapi saat usiaku menua dia menzhiharku”.
Rasulullah menjawab bahwa ia tidak menerima wahyu turun mengenai permasalah Khaulah. Karenanya kembali ke adat yang berlaku bahwa orang terzhihar berarti ia telah cerai dan haram digauli. Khaulah pun mendebat Rasulullah dan mengadukan perkaranya kepada Allah. Ia takut jika harus berpisah dengan suami dan anaknya.
Kemudian turunlah ayat ini bersama tiga ayat berikutnya. Berisi bahwa orang yang telah zhihar tidak berstatus cerai asal telah membayar kafarah zhihar.
Dari kasus Khaulah binti Sa’labah terlihat betapa besarnya perhatian Allah terhadap perempuan yang ketakutan berpisah dengan suami dan anaknya. Oleh karenanya hukuman dzihar menjadi ringan. Allah memperhatikan hak suara perempuan dengan mengabulkan aduan permasalahan Khaulah.
Rahmat Islam terhadap Perempuan
Selain itu, rahmat Allah terhadap perempuan terlihat jelas dalam QS. Thalaq ayat 6;
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولٰتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ
“Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Dalam fikih, wanita yang telah tertalak ba’in, sang suami masih berkewajiban menanggung tempat tinggal istri selama masa Iddah. Sang suami wajib memberi tempat tinggal dan nafkah kepada istri yang hamil hingga melahirkan.
Buya Hamka menambahkan dalam tafsirnya. Seorang suami terlarang menyakiti hati perempuan selama masa Iddah. Baik dengan menyindir agar ia keluar sendiri maupun mengusir secara terang-terangan. Islam memandang mulia perempuan dan tidak mengesampingkannya di atas lelaki. Hak khulu’ (minta cerai) yang Allah berikan kepada wanita menjadi bukti bahwa Islam adalah agama rahmat bagi kaum perempuan. []