Mubadalah.id – Di kampung saya, perempuan kerap kali masih dibatasi untuk melakukan berbagai aktivitas di ruang publik. Pembatasan ini karena sebagian masyarakat menganggap bahwa perempuan ketika keluar rumah nanti akan selalu mengundang fitnah.
Hal inilah yang membuat saya merasa risih dan terganggu dengan beragam diskriminasi dan stigma yang masih melekat kepada perempuan.
Mereka masih dijadikan barang yang selalu mengundang fitnah. Sehingga daripada menjadi mengundang fitnah, para perempuan di perkampungan lebih baik untuk berdiam diri di dalam rumah.
Akibatnya banyak para perempuan yang menikah di usia anak. Harapannya dengan menikah ia akan terhindar dari segala fitnah. Karena ia hidup bersama mahramnya atau suaminya.
Realitas seperti inilah yang saya kira masih terus menjadi persoalan bagi para perempuan di perkampungan. Soal kawin anak yang tinggi, perceraian, dan kemiskinan.
Oleh sebab itu, dalam soal fitnah perempuan di atas, bagi saya, hal ini merupakan konstruk budaya patriakhi yang sebetulnya bukan perempuan yang mengundang fitnah tapi bisa saja adalah otak dan perilaku para laki-laki yang kotor atau mesum.
Masa iya, perempuan dengan menggunakan pakaian yang lengkap, berhijab masih mengundangan fitnah. Bagi saya hal ini sangat tidak masuk logika. Karena apanya yang mengundang hasrat dan nafsu itu, kan tidak ada. Karena yang ada itu, otak laki-lakinya saja yang kotor dan mesum.
Fitnah Laki-laki dan Perempuan
Dalam pembahasan soal fitnah perempuan, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan bukan Sumber Fitnah menyebutkan bahwa kata fitnah bisa memiliki dua makna yang berbeda. Dari sisi perempuan, fitnah ini bisa kita maknai sebagai pesona darinya kepada orang lain.
Sementara dari sisi laki-laki yang terpesona oleh perempuan, fitnah dimaknai sebagai ujian, sejauh mana ia tidak melakukan keburukan, di antaranya melakukan zina dan pelecehan kepada perempuan.
Padahal, menurut Kiai Faqih, laki-laki juga memiliki potensi fitnah yang menggoda dan menggiurkan perempuan. Dari sisi perempuan, fitnah laki-laki bagi dirinya adalah ujian agar tetap teguh pada iman agar tidak ter jerumus pada godaan dan rayuan.
Artinya dari pernyataan Kiai Faqih di atas adalah sumber fitnah itu tidak hanya datang dari perempuan. Melainkan laki-laki juga memiliki potensi yang sama sebagai sumber fitnah.
Oleh sebab itu, dengan adanya potensi fitnah baik dari laki-laki maupun perempuan, Islam justru mengajarkan bagaimana agar keduanya tidak boleh menjadi sumber fitnah.
Tiga Cara Terhindar dari Fitnah
Kiai Faqih memberikan tiga cara agar kita semua dapat terhindar dari fitnah. Tiga acara tersebut sebagai berikut:
Pertama, menjadikan ujian atau pesona (fitnah) untuk meningkatkan kebaikan dan menjaga diri dari keburukan. Segenap kehidupan ini artinya berlaku bagi laki-laki dan perempuan. (QS. al-Mulk [67] 1-2)
Kedua, menangkap pesan moral bahwa menjaga diri dari kemungkinan terjerumus pada fitnah atau pesona.
Ketiga, membalik pesan tersebut secara resiprokal. Bahwa pesona juga bisa ditimbulkan oleh laki-laki kepada perempuan, sehingga perempuan juga diminta waspada dan menjaga diri.
Artinya, dalam persoalan fitnah, maka teks ini berbicara persoalan yang sesungguhnya timbal-balik mengenai pentingnya menjaga diri dari kemungkinan terjerumus akibat pesona orang lain.
Sehingga dengan pemaknaan mubadalah ini, maka fitnah perempuan, tidak dimaksudkan untuk memberikan label fitnah atau kodrat penggoda terhadap perempuan. Melainkan mengajak kita semua untuk menjaga diri kita agar dapat terhindar dari segala keburukan yang muncul dari fitnah tersebut. []