“Untuk apa ke gereja saat perayaan natal?”
Mubadalah.id – Pertanyaan seorang kerabat kepada saya sepulang dari mengunjungi gereja, yang letaknya cukup dekat dari rumah pada 25 Desember lalu.
Meskipun setiap kali berangkat kerja saya melewati area gereja tersebut. Namun tiga hari yang lalu merupakan momen pertama kali saya berkunjung bersama dengan teman-teman Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu, yang selalu aktif menjalin komunikasi dengan umat berbeda agama.
Ada perasaan lega setelah memasuki area tempat ibadah umat Kristen yang letaknya tepat di depan masjid desa. Pasalnya sejak kecil, saya mendengar banyak rumor yang kurang baik tentang umat Kristen yang jumlahnya minoritas di desa kami.
Walaupun sejauh ini tidak ada konflik yang mencekam, dan kami hidup masing-masing. Namun ada saja cerita dari mulut ke mulut yang menyiratkan makna, ‘Jangan datang dan bermain ke gereja, nanti musyrik.’
Bahkan saat berbincang-bincang santai dengan Pendeta setelah perayaan natal di hari tersebut, ia juga bercerita kepada kami bahwa pada saat pihak gereja mengundang seorang aktivis muslim untuk berdiskusi, ia mendengar seseorang berceloteh, ‘Jangan lupa syahadat lagi setelah masuk gereja.’
Meskipun tidak ada salahnya kita mengucapkan syahadat berkali-kali kapan pun itu. Tetapi rasanya tidak masuk akal jika keyakinan kita langsung berubah hanya karena masuk tempat ibadah agama lain.
Perdebatan-perdebatan mengucapkan hari Natal, mengunjungi gereja saat perayaan Natal, dan lain sebagainya, sudah menjadi pembahasan tahunan yang tidak pernah luput di penghujung akhir tahun saat perayaan hari natal.
Menyoal Agama dan Keyakinan
Sejak awal 2023, saya mulai menggeluti isu dan mengikuti kegiatan-kegiatan interfaith yang penyelenggaranya adalah komunitas dan lembaga yang berfokus pada isu keberagaman. Dari mulai kegiatan Peace Train Indonesia ke-15 di Lampung-Palembang, hingga berlanjut pada Pelatihan Kepemimpinan Pemuda Lintas Agama (PKPLA) di Yogyakarta-Magelang dan di Denpasar Bali.
Kegiatan yang terselenggara oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini diikuti oleh pemuda dari berbagai agama dan keyakinan yang berasal dari beragam daerah di Indonesia. Dan salah satu kegiatan andalannya adalah berkunjung ke rumah ibadah setiap agama. Lalu berbincang dengan para tokoh agama terkait banyak topik.
Dari banyak perjumpaan dan diskusi tersebut, saya menyimpulkan bahwa setiap agama sebenarnya tidak jauh berbeda, nilainya. Yakni sama-sama tentang perintah untuk melakukan hal-hal baik, dan larangan untuk melakukan kejahatan antar sesama manusia.
Lalu saya juga menyadari bahwa kepercayaan terhadap agama tertentu, selain karena faktor bawaan lahir dari pilihan keluarga, alias agama turun-temurun. Selain itu juga merupakan perjalanan ruhaniyah seseorang dalam merasakan ketentraman dan kedamaian sesuai dengan keyakinan dan pengalamannya.
Meskipun berkali-kali memasuki tempat ibadah agama lain, tidak serta-merta membuat kita langsung berpaling dari agama yang kita anut, dan berpindah ke keyakinan lainnya. Sebab itu, pernyataan terkait dengan kristenisasi, islamisasi, dan lain sebagainya, sebaiknya tidak perlu membicarakannya di wilayah non-konflik, agar tidak terjadi ketegangan sosial.
Bahkan dengan saling mengenal, saya merasakan sudah tidak ada lagi kekhawatiran. Sehingga tak perlu ada segregasi ruang berbasis agama. Bahkan upaya saling mengenal ini sesuai dengan ajaran Islam yang saya yakini.
…….wa ja’alnakum syu’ubaw wa qaba’ila lita’arafu, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Q.S. Surat Al Hujurat ayat 13).
Bukan Hanya Menerima Perbedaan, Tetapi Menjadikannya Niscaya
Perbedaan memang lah sebuah niscaya, sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Selama ini pemahaman dalam menyikapi perbedaan di mayoritas masyarakat kita adalah dengan menerimanya dan membiarkan keragaman itu berjalan masing-masing.
Maka tak heran jika sebagian orang selalu mempermasalahkan tindakan sebagian lainnya, yang berupaya untuk menjadikan perbedaan ini sebagai sesuatu yang niscaya. Bukan lagi tentang toleransi pasif, tetapi dengan cara yang aktif. Yakni dengan saling mengunjungi tempat ibadah lain, saling bertukar hadiah, saling bekerja sama, dan saling membantu tanpa ada perasaan khawatir dan curiga antara satu dengan lainnya.
Saya teringat cerita dari Pak Laus, Founder Analisis Papua Strategis. Dalam sebuah diskusi terkait dengan resolusi konflik, ia bercerita bahwa mayoritas masyarakat Papua tidak lagi mempersoalkan perbedaan agama. Bahkan mereka saling gotong royong dalam menyiapkan perayaan Lebaran, Natalan, Imlek, Nyepi, Waisak, dan lainnya.
Bahkan mereka sudah terbiasa untuk menggilir pertemuan dan diskusi desa di beragam tempat ibadah umat beragama. Sebuah gambaran bagaimana kelompok masyarakat memahami perbedaan sebagai sesuatu yang niscaya. Bukan hanya menerima, tetapi melebur dan menjadikannya sesuatu yang biasa saja.
Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu Menjadikan Keberagaman Sebagai Ruang Sinergi Penyelesaian Persoalan Sosial
Dan ini lah yang saya rasakan saat bergabung dan menjadi bagian dari anggota Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu. Dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman umat berbeda agama, kita bukan lagi membahas tentang toleransi dan keberagamannya itu sendiri.
Akan tetapi menjadikan keberagaman dan sinergitas antar umat beragama, sebagai kekuatan untuk mendiskusikan dan mengupayakan penyelesaian persoalan sosial. Khususnya dalam menyinergikan peran tokoh agama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. []