Sejak lama agama direduksi sedemikian rupa, sehingga hanya dijadikan sebagai mesin pengeruk keuntungan oknum para pemimpinnya. Alih-alih memberi ketenangan, agama disinyalir telah membuat sebagian penganutnya patuh pada janji-janji surga, dan takut pada ancaman siksa api neraka.
Dengan sekian kamuflase iman, keyakinan dan tingkat religiusitas yang dinilai berdasarkan bungkusnya saja. Fenomena agama yang seperti itu, tidak hanya terjadi di Islam, namun hampir di semua agama dan keyakinan ada, meski dengan pola dan modus yang berbeda.
Mungkin yang paling kentara sekali, kapitalisasi agama dalam Islam, terutama di bulan puasa dan lebaran. Dengan alasan perayaan satu tahun sekali, dan memuliakan bulan yang paling mulia, setiap orang berlomba-lomba mengkonsumsi makanan terenak dan melimpah ruah, lalu digenapi dengan pakaian serba baru saat lebaran tiba.
Tak cukup satu jenis makanan utama, namun dilengkapi pula dengan aneka jajanan dan panganan. Pun baju baru demikian pula, tak cukup satu stel, tapi berlapis-lapis seluruh tubuh dengan banyak corak dan warna. Setiap brand dari desainer kondang maupun tak bernama, berlomba-lomba merilis trend baju muslim terbaru.
Antusiasme dan sikap konsumerisme masyarakat ini, dibaca dengan baik oleh industri kapitalisme. Di mana, bahkan sebelum Ramadhan tiba, beragam iklan panganan yang biasa disantap saat buka dan sahur, mulai wara-wiri di layar kaca. Katakanlah seperti sirup Marjan, yang sudah berapa tahun ini, kehadirannya menjadi penanda bulan Ramadhan telah tiba.
Disusul kemudian dengan pariwara “sesuatu yang baru”, dan mesti diganti konsumen ketika hari raya tiba. Mulai dari dekorasi rumah, kendaraan, kosmetik, alat komunikasi, hingga pakaian dari atas rambut sampai sekujur tubuh. Dari kerudung dan topi, sampai segala macam jenis alas kaki.
Iklan itu begitu menggoda,menarik hati siapa saja yang berminat. Ditambah dengan iming-iming gaji ke-13 para ASN, dan THR untuk para pekerja kantoran maupun buruh pabrik, semakin menyemarakkan kelindan agama dan kapitalisme. Mereka yang mampu, akan semakin menumpuk keinginan dan kebutuhan. Sementara bagi mereka yang papa, hanya sanggup memandang dengan tatapan hampa.
Namun cerita-cerita tersebut di atas terjadi di tahun-tahun silam, ketika masyarakat kita belum terdampak pandemic covid-19. Tentu di tahun ini akan mengalami kisah yang berbeda. Bahkan, justru semakin ke sini banyak kabar kejatuhan para pemilik modal yang kita dengar. Tak hanya mereka yang besar, tetapi para pedagang kecil juga terkena imbasnya. Kapitalisme rapuh dan telah mati di musim pandemi.
Kenyataan yang ada ini seolah mengamini pendapat Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2018), bahwa salah satu ancaman terbesar bagi ras manusia saat ini adalah virus-virus baru yang tak diketahui dari mana asalnya. Virus itu serupa maling yang diam-diam datang di malam gelap, ketika semua orang terlelap, dan ia masuk ke rumah, menggasak habis apa saja yang kita punya hampir tanpa sisa.
Maka kesempatan ini harus dimaknai untuk mengembalikan semangat beragama dalam kehidupan manusia. Sebagaimana lirik dalam pariwara singkat Telkomsel Siaga yang bertajuk “Terus Jalankan Kebaikan”.
“Ramadhan ini mungkin beda kawan, tapi jangan menyerah sama keadaan. Terus sambung kedekatan, terus ciptain senyuman. Di dalam perdalam iman. Ayo kawan terus uluri tangan, jadi pahlawan bagi para pahlawan. Ini bulan penuh kemenangan, yakin kita mampu balikin keadaan”.
Lirik lagu tersebut seperti mengingatkan kita. Satu tahun kemarin siapapun tak pernah menyangka bakal ada pandemic covid-19 yang memaksa setiap individu agar berada #dirumahsaja. Bahkan sebelumnya juga tak pernah ada wangsit atau ramalan yang memprediksi kondisi ini terjadi. Antara rasa sedih, cemas, bercampur jadi satu. Dan sepercik harapan yang ingin terus melaju, agar wabah ini segera berlalu.
Ya, satu sisi pandemik telah melumpuhkan hampir seluruh sendi- sendi ekonomi masyarakat. Terlebih dengan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 6 Mei 2020 ini yang serentak di tingkat Provinsi Jawa Barat. PSBB akan berlangsung selama 2 minggu hingga jelang lebaran, dan akan diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. Kondisi ini tentu akan semakin membatasi ruang gerak dan mobilitas masyarakat untuk melakukan aktivitas, terutama pencari nafkah harian.
Namun di sisi lain, pandemik juga telah menumbuhkan kembali solidaritas dan kemanusiaan untuk saling berbagi, saling menjaga dan saling peduli terhadap sesama. Nilai kemanusiaan kita akan semakin teruji ketika kita tengah berada dalam serba keterbatasan dan kekurangan.
Sehingga penulis berharap kelak agama tak lagi direduksi untuk hanya sekedar berburu pahala, siapa yang berhak dan paling layak masuk surga. Atau sebatas untuk menghindari kejamnya siksa api neraka. Tetapi lebih dari itu, amal kebajikan yang telah dan akan kita lakukan tanpa melihat batas beda, dan benar-benar tumbuh dari hati, dengan segenap rasa empati, tanpa pamrih, serta imbalan untuk mendapatkan balas budi. []