Mubadalah.id – Usia pernikahanku dengan Mas Zain menginjak bulan ke delapan. Sampai saat ini kami berdua masih sabar menunggu kepercayaan Tuhan untuk memberi kami momongan. Dan itu tak menjadi masalah bagi kami. Justru kisah di balik dapur yang meninggalkan selaksa rasa dalam rumah tangga kami.
“Biasanya yang begitu itu, karena kamu masih belum siap jadi Ibu, Wa,” Kakak iparku, Mbak Fahma berkomentar saat kami sekeluarga berkumpul di rumah Mertua untuk silaturrahmi dan sowan idul adha. Aku hanya tersenyum. Tak begitu merasa tersinggung sebab Mbak Fahma pun, aku yakin tak bermaksud menyinggungku.
“Memangnya kamu masih sibuk ngisi-ngisi seminar begitu, Wa?” Ibu Mertuaku ikut masuk dalam obrolan.
“Sekarang sudah tidak, Bu. Paling hanya menerima editan naskah untuk keperluan website saja,” jawabku.
Ibu Mertuaku hanya mengangguk-ngangguk tak menanggapi.
“Kalau kerja begitu, apa namanya? Freelancer? Tak tebengkalai pekerjaan rumah, Wa?” tanya Mbak Fahma lagi.
“Tidak, Mbak. Alhamdulillah semuanya normal.”
Bekerja Setelah Menikah
Bukan sekali dua aku ditegur, dinasihati, atau disinggung perihal pekerjaanku oleh Ibu dan Mbak Fahma. Mereka beranggapan bahwa pekerjaanku menghambat tugasku di rumah sebagai istri. Namun pekerjaanku itu merupakan sebuah pekerjaan yang telah disepakati aku dan Mas Zain sebelum kami menikah; mengisi undangan seminar online via zoom atau merevisi naskah untuk kepentingan website tempat aku bekerja.
Semuanya aku lakukan secara freelancer atau bisa aku kerjakan dari rumah, sehingga tak mengganggu baktiku kepada Mas Zain. Kebetulan website itu juga milik Pondok tempatku mesantren dulu yang mewadahi karya tulis para santri maupun alumni.
Hanya saja dari itu semua, ada satu hal yang mungkin mengganjal bagi ipar dan mertuaku: kenyataan bahwa aku tak begitu pandai memasak.
Sudah kupikirkan matang-matang sebelum menikah, bahwa aku siap jika nanti orang-orang memandangku aneh sebagai santriwati lulusan pesantren yang telah mondok bertahun-tahun tapi tak pandai memasak.
“Aku dengar, pondokmu itu sering menerima banyak tamu dan sering masak besar-besaran ya, Wa?” tanya Mas Qais, suami Mbak Fahma.
“Betul, Mas, tapi memang saat acara begitu ada bagian-bagiannya sendiri yang bertanggung jawab.”
“Bagian bagaimana maksudnya?”
“Ada yang ditunjuk untuk fokus pada kebersihannya, keuangannya, acaranya, tamunya atau konsumsinya,” dengan pelan aku menjelaskan. Berharap Mas Qais mengerti arah pembicaraanku.
“Oalaaah.”
Dari situ aku yakin Mas Qais telah menangkap maksudnya, bahwa aku bukan bagian dari panitia konsumsi yang mengurusi bagian dapur atau masakan-masakannya.
Kenangan Soal Masak-memasak Saat di Pondok
Memang benar bahwa di pondok aku jarang sekali ikut masak-memasak, bahkan aku bukan termasuk yang pandai memasak seperti teman-temanku meskipun bukan bagian dari pengurus dapur. Aku bisa, namun hanya sedikit dan masakan pada umumnya saja yang intinya berbangsa wajar semisal telur, tahu, tempe, dan sayur-sayuran ringan. Itu pun masih harus dipertanggungjawabkan soal rasanya.
Di pesantren bisa dibilang aku adalah santri yang aktif dalam kegiatan formal seperti acara-acara seminar, sebagai panitia acara, mc, moderator atau yang bersangkutan dengan lapangan.
Karenanya, tak heran jika aku tak pandai memasak, dan sebabnya pula, aku berharap mendapat suami yang mau memaklumi kekuranganku yang kata sebagian orang penting dikuasai oleh kaum perempuan itu. Sampai kemudian menginjak akhir semester, Mas Zain datang dan berkata ingin melamarku dan mau menerima aku apa adanya, aku sangat senang, dan kami menikah beberapa bulan usai aku diwisuda.
Kami sebenarnya sudah saling mengenal, hanya saja tidak begitu akrab. Mas Zain sendiri merupakan santri di pondok sebelah yang berkebalikan minat denganku. Yang Mas Zain sukai adalah Ilmu Hadis dan Tafsir, selain itu Mas Zain juga cakap berceramah. Kami sama-sama seorang pembicara meski beda lingkupnya.
Walau aku terkesan dipandang sebagai santri semi-modern yang titik fokusnya pada hal-hal formal, soal nonformal pun aku cukup ketat dan menguasai beberapa di antaranya, seperti nahwu-sharaf dan fikih keperempuanan. Bukankah aku pun harus mengimbangi untuk menjadi menantu di keluarga Mas Zain? Yang mana, keluarganya merupakan keluarga agamis yang memiliki madrasah dan jamiyah sendiri di desanya.
Pernikahan
“Semerdeka apapun pikiran, jika keadaan sekelilingmu tidak mendukungnya, maka mau tak mau kita yang akan ikut terjun bersama paradigma mereka.”
Kukenang wejangan ibu sebelum aku menikah. Menjadi seorang perempuan yang berperan sebagai Ibu Rumah Tangga seutuhnya, Ibu tak pernah melarangku untuk berkiprah di lingkup publik atau protes soal kurang handalnya aku dalam lingkup domestik.
Ibu hanya berpesan bahwa memang benar semua perempuan itu berhak memilih ingin seperti apa mereka setelah menikah nanti, namun kehendak sekitar acapkali kurang toleran dan tidak mendukung. Maka, meskipun cakap dalam dunia luar, seorang perempuan juga harus cakap dalam mengurusi rumah tangga.
Semua ucapan Ibuku berangkat dari pengalaman, meski latar belakang pendidikannya tidak memadai, masing-masing anggota keluargaku sendiri percaya bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Aku pun tak lagi heran jika kebanyakan orang masih menganggap bahwa tempat dan ranah perempuan itu di rumah; mengurusi suami, rumah tangga, dan fokus mendidik anak. Selebar apapun sayap kiprahmu di ranah publik, kamu akan tetap kembali pada ruang domestik.
Jika ditanya apakah aku menyesal dulu tidak belajar masak, tidak juga, karena sekalipun aku memang masih aktif di pekerjaanku dan organisasiku, aku termasuk tipe orang yang perfeksionis serta rapi dalam mengurus rumah tangga, juga termasuk orang yang mau belajar banyak hal, terkhusus memasak.
Soal masak-memasak pun, aku jadi teringat kenangan saat mondok. Aku ingat soal salah seorang Ning-ku yang terlihat jarang memasak, tapi handal ketika mengomentari masakan abdi dalem.
Aku, Suami dan Keluarganya
“Tapi, katamu, Ning-mu sendiri jarang masak? Bagaimana dia bisa mencicip masakan dengan sedemikian rupa?” tanya Mas Zain suatu hari.
“Ya, apa salahnya? Bukankah banyak orang yang seperti itu? Ibaratnya ada beberapa macam orang yang bisa masak tapi nol soal rasa, orang yang tidak terlihat handal memasak tapi sangat ahli soal cita rasa, dan orang ketiga, yang bisa kedua-keduanya,” jawabku. Mas Zain diam tak menanggapi, mengangguk-ngangguk sok paham, sok setuju dengan ucapanku, tapi terkesan meledek.
“Tapi, Maaas, soal yang nomor dua ini, biasanya dialami oleh lelaki, kan?” ucapku dengan nada menggoda.
“Maksudnya?”
“Ya, contohnya, Ayahku, dan Mas sendiri, yang ndak pandai masak tapi suhu banget kalau mengomentari masakan orang,” pungkasku dengan tawa renyah.
Mas Zain tertawa. Seakan teringat ceritaku soal Ayahku yang tidak bisa memasak tapi pandai menilai rasa masakan Ibuku. Kurang sedap, lah, terlalu asin, lah, atau terlalu hambar dan terlalu-terlalu lainnya.
Keluarga Mas Zain sendiri sejatinya pun baik. Sangat baik malah. Adapun kalanya mereka menyinggungku, sebenarnya mereka hanya mendorongku untuk menjadi perempuan yang layak mengabdi di rumah seutuhnya. Seperti adat dan budaya jawa terkait perempuan-perempuan yang mampu menjadi konco wingking atau mikul dhuwur mendem jero. Rumah kami dan Ibu pun cukup berdekatan. Hanya terpisah 7 rumah saja. Dan rumah Mbak Fahma, cukup jauh, berada di ujung desa.
Prahara
Sejauh ini memang tak ada masalah dan Mas Zain pun mau menghargai aku yang masih dalam proses belajar memasak. Sampai suatu hari, Mas Zain bilang bahwa akan ada acara reuni teman-teman Ayah Mas Zain dari Kudus, kira-kira berjumlah 30 orang, bertempat di rumah Ibu. Mas Zain menyampaikan ucapan Ibu kalau beliau tenaga untuk memasak pecel terong sejumlah 40 buah. Untuk 20 buahnya sudah ditugaskan kepada Mbak Fahma yang akan membuatnya di rumah sendiri.
Ibu masih mencari orang lagi untuk membantu memasak jumlah sisanya. Ibu sendiri meminta maaf kalau tidak bisa mengajak memasak bersama di dapur Ibu karena dapur Ibu yang sempit, selain itu karena memang biasanya saat meminta bantuan menu masakan, tetangga yang membantu Ibu akan memasak sendiri di rumahnya.
Kukatakan padanya bahwa aku bisa memasaknya di rumah sembari belajar sekaligus mengasah rasa masakanku. Aku meyakinkannya bahwa aku akan membuatnya sambil melihat arahan dari youtube. Karena bagaimanapun, aku juga pernah membuat pecel terong saat di Pondok dulu. Sebelumnya pun aku juga pernah membuat pecel terong yang kemudian dicicipi oleh Mas Zain sendiri. Tapi, Mas Zain malah menolak aku yang hendak membantu Ibu.
“Kalau soal tutorial, ya, gampang karena di youtube pun banyak dan siapapun bisa. Tapi ini soal rasa, Wa.”
Sebuah Pertengkaran
Aku membelalak. Sungguh tak kusangka tanggapan dari Mas Zain. Meski saat mengucapkannya dia begitu acuh seakan-akan merasa tak menyinggungku. Aku segera menarik napas. Baiklah, karena sejatinya masalah sekecil apapun pasti akan selalu timbul.
Aku hanya perlu sabar dan memilih diam. Namun Mas Zain malah melanjutkan, “Karena itulah, Wa, meski berpuluh-puluh kali kukatakan tak ada masalah sama sekali denganku, hal-hal di sekelilingku akan menuntutmu.”
Aku mengernyit. Tambah tidak mengerti arah pembicaraannya, “Maksudmu apa, Mas?”
“Maksudku, Wa, lebih baik kamu belajar saja dulu.”
“Apa mereka tak mau melihat dan mencoba dulu, Mas? Bukankah sebelumnya mereka pernah mencoba buatanku? Apakah seburuk itu? Semuanya butuh proses, kan untuk sehandal itu membuat pecel terong?”
“Selain diri kita, orang lain tak kenal proses, Wa, mereka hanya melihat hasil!” ujarnya angkuh.
“Lalu apa kamu tidak membantuku dengan memberi pengertian pada mereka bahwa aku sebenarnya bisa?” Nadaku mulai meninggi. Kurasakan perih di mataku dan beningnya pupil telah berembun oleh air mata.
“Untuk apa, Wa? Tamu-tamu dari Kudus dan soal pecel terong itu bukan masalah sepele seperti EYD yang dengan mudahnya mampu kamu betulkan! Mereka, keluargaku, pun manusia merdeka yang punya pikiran dan kehendak sendiri!”
“Culas sekali kamu, Mas! Teganya kamu berkata begitu! Lalu untuk apa sebenarnya kamu menikahiku?!”
“Untuk apa?! Bicara ngawur kamu ini. Ingat, Wa, ingat sekali lagi, menikah itu tidak hanya menikahi satu orang, tapi seluruh keluarganya!”
Aku terbungkam, air mata sudah jatuh dari pipiku, “Mas…”
Kulihat Mas Zain seketika menyadari khilafnya, sehingga dia segera mengucap istighfar lalu berbalik pergi meninggalkanku. Menghilang di balik pintu kamar kami. Aku terhuyung di bibir ranjang lalu merebahkan diri di sana. Menangis.
Dalam Amarahku
Tak pernah kusangka jika pertengkaran ini akan terjadi sedemikian menyakitkan. Sampai aku jadi tahu semua perasaan yang Mas Zain pendam soalku. Akal buntuku, lantaran disinisi begitu membuatku melontarkan pertanyaan konyol: untuk apa Mas Zain menikahiku? Ya Allah…
Aku menduga-duga Mas Zain sampai tega begitu, mungkin karena merasa muak denganku yang masih dalam proses belajar memasak dan terkesan bertingkah seperti perempuan karir, atau karena tuntutan lingkungannya, mungkin juga lantaran dia ada masalah lain sehingga melampiaskannya pada ketidakbisaanku ini?
Amarah menjadikan pikiranku berkelana tak seronok. Pikiran-pikiran tentang perceraian dan nasibku akan menjadi istri yang dikucilkan oleh keluarga suami. Aku sudah siap dengan semuanya. Sejak awal aku memang harus siap, karena latar belakang Mas Zain dengan sekelumit jiwa agamisnya sudah membuatku harus bijak mengambil resiko.
Dalam derita itu, aku tetap memaksakan diri memasak pecel terong, menu khas keluarga Ibu, meski agak asin. Aku nekat membuatnya untuk mengasah kemampuan memasakku, agar Mas Zain, Ibu, dan Mbak Fahma mau percaya.
Sayangnya karena hatiku tercabik dan penuh amarah, terong-terong yang tengah dibakar itu menjadi gosong, dan lantaran kecerobohanku, sambal kacang yang tengah kuuleg tak sengaja tersenggol sampai terjatuh.
Aku terduduk menatap cobek yang pecah. Aku menangis lagi. Tersedu dan sesenggukan di pojokan dapur. Wajahku yang cemong menjadi tambah cemong bercampur sambal kacang dan hitamnya arang kompor. Aku meluap sejadi-jadinya. Sendirian. Menangisi nasibku.
Sampai sejam kemudian, datang seseorang yang melingkarkan sepasang tangannya dari belakang. Memelukku erat. Mendekap pundak dan tubuhku.
Permintaan Maaf
“Dzerwa…Maafkan aku…,” bisiknya lembut di telingaku.
Sosok itu, Mas Zain, menyingkap rambutku dan mencium kepalaku.
“Maafkan aku, sayang…”
Untuk beberapa saat kami masih saling mendekap. Aku membalik badanku sampai kami saling berhadapan. Aku menangis lagi di dadanya. Setelah agak tenang, aku menyandarkan tubuh dalam pelukannya. Tak berapa lama Mas Zain kemudian menuntunku duduk di kursi panjang tempat kami biasa nonton tv berdua. Di sana dia memelukku lagi. Lebih erat.
“Aku salah. Aku sudah meyakinkan diriku dan sudah kukatakan pada Ibu. Sudah kukatakan bahwa semuanya memiliki kekurangan dan kelebihan. Dan bagiku hebatnya kamu adalah kamu tak pernah putus asa atau jenuh untuk mau belajar banyak hal. Padahal kamu sudah hebat dengan keahlianmu di bidangmu, tapi kamu menekadkan diri untuk belajar lebih banyak demi menjadi istri dan menantu yang baik bagi keluargaku.”
Mendengarnya aku menjadi tenang. Ketenangan yang membuatku akhirnya tertidur di kursi itu, berdua bersama Mas Zain.
Keesokan harinya Ibu dan Mbak Fahma datang, membawa dua rantang makanan. Kuyakin isinya adalah teri sambal ijo, pepes jantung pisang, tumis kangkung, tahu-tempe goreng, telur balado, dan sayur blumbon. Ini kedua kalinya mereka berkunjung bersama bedua.
Biasanya sebagai etika setempat untuk mengajak mantunya membantu di rumah mertua, atau sebaliknya, menantu yang meminta bantuan mertua akan datang mengunjungi mertuanya sambil membawa makanan.
“Ibu minta tolong Dzerwa untuk bantu-bantu Ibu masak besok, ya?”
Ibu tersenyum sambil menaruh rantang-rantang itu di meja. Mbak Fahma sendiri sudah gesit menyiapkan piring-piring dan menatanya. Seolah semuanya tak pernah terjadi apa-apa. []