Mubadalah.id – Pernikahan dalam bahasa al-Qur’an disebut sebagai mitsaqan ghalizhan, yaitu suatu perjanjian yang kukuh. Karena itu, masing-masing pihak, yakni suami dan istri, wajib memelihara keutuhan rumah tangganya dengan cara memenuhi apa yang menjadi kewajibannya masing-masing.
Kedua belah pihak harus saling menghormati, saling menyayangi, dan membiasakan diri untuk saling berkomunikasi secara terbuka. Termasuk dalam hal-hal yang paling sensitif, agar tidak terjadi prasangka maupun kecurigaan di antara keduanya.
Adapun hukum nikah sangat bergantung pada kondisi seseorang. Gambarannya sebagai berikut:
Pertama, orang yang hasrat seksualnya tidak dapat dikendalikan yang dipastikan akan terjerumus pada perzinaan. Sementara dia memiliki kemampuan sesuai dengan persyaratan untuk menikah, hukum nikah baginya adalah wajib dan berdosa jika tidak menikah.
Kedua, orang yang kondisinya mampu menikah secara fisik, psikis, dan ekonomi, tetapi tidak khawatir jatuh pada perzinaan. Jika ia memiliki keinginan untuk menikah, hukum nikah baginya sunnah, yaitu mendapat pahala jika menikah.
Ketiga, orang yang mampu mengendalikan nafsu seksualnya atau tidak dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan, tetapi kondisinya jika ia menikah dipastikan istrinya atau suaminya akan menderita dan teraniaya, karena tidak mampu secara fisik, psikis, dan ekonomi. Maka, hukum nikah baginya adalah haram, yaitu berdosa jika ia menikah.
Keempat, orang yang karena kondisi hasrat seksualnya khawatir terjerumus pada perzinaan jika tidak menikah. Tetapi jika ia menikah khawatir istrinya atau suaminya akan teraniaya karena ia belum mampu menikah. Maka, hukum nikah baginya adalah makruh, yaitu mendapat pahala jika tidak menikah. Baginya wajib mengendalikan nafsu seksualnya.
Kelima, orang yang kondisinya tidak khawatir terjerumus pada perzinaan dan mampu menikah secara fisik, psikis, dan ekonomi, tetapi tidak memiliki keinginan untuk menikah. Maka, hukum nikah baginya adalah mubah, tidak memiliki efek pahala maupun dosa. []