Mubadalah.id – Perihal hati memang tidak ada yang bisa menerka. Kadang sekarang A, besoknya B. Yang terucap A padahal isi hatinya B. Algoritma hati manusia memang cukup unik. Itulah kenapa dalam kajian tasawuf kita sering diajarkan untuk selalu berkhusnudzan kepada siapa pun. Terlepas dari bagaimana tindakan yang mereka lakukan.
Memang ini bukan perkara mudah. Kebanyakan manusia hanya menilai orang lain dari sisi luarnya saja. Apalagi di era media sosial di mana manusia hidup di dua dunia: nyata dan maya. Padahal kehidupan di dunia maya tidak sepenuhnya mencerminkan kehidupan seseorang di dunia nyata. Begitu pula sebaliknya. Entah itu negatif atau positif.
Husnuzan itu Wajib tapi Juga Harus Hati-Hati
Husnuzan kepada orang lain memang menjadi kewajiban. Supaya kita lebih selamat atas apa yang tidak kita ketahui. Bisa jadi asumsi kita terhadap sesuatu itu benar, dan kita selamat karena memang begitulah kebenarannya. Dan jika asumsi kita itu salah, kita masih selamat berkat sikap husnuzan kita kepadanya.
Akan tetapi dalam satu kondisi kita juga perlu berhati-hati meskipun sudah berhusnuzan. Di kehidupan ini apa saja bisa terjadi. Kalau kata Bang Napi dalam serial berita RCTI dulu berpesan begini, “Waspadalah, waspadalah! Kejahatan terjadi bukan semata-mata karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan”.
Belum lama ini jagat media sosial profesional LinkedIn dikejutkan dengan curhatan seorang jobseeker yang mendapat pelecehan seksual dari seseorang yang mengaku reviewer CV. Jika menilik profil akun tersebut, pelaku memang terlihat memiliki pengalaman profesional dengan pengikut lebih dari enam puluh ribuan orang.
Pelaku tersebut kemudian menjadi viral setelah beberapa orang menyampaikan pengakuan yang sama atas hal yang kurang mengenakkan ketika hendak mencari pekerjaan. Sebelumnya pelaku memberikan kesaksian bahwa akunnya mengalami peretasan sehingga disalahgunakan.
Akan tetapi kesaksiannya malah menjadi bahan rujakan netizen LinkedIn. Ya, tahu sendiri tidak mendapat julukan media sosial profesional namanya kalau penggunanya orang-orang serampangan. Kabar terakhir yang saya ikuti akhirnya pelaku mengakui perbuatannya tersebut dan sekarang akun LinkedIn-nya sudah menghilang.
Peristiwa ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi karena adanya “kesempatan”. Entah itu karena memiliki privilege, memiliki jabatan, kekuasaan, maupun status sosial lainnya. Bahkan, orang yang kita lihat aktif dalam berbagai aksi kebaikan pun bisa saja terjerat dalam kasus seperti ini. Pada akhirnya kita memang harus berbaik sangka tetapi jangan lupa untuk selalu waspada dalam menyikapi hal demikian.
Naik Turunnya Iman
Kadar iman seseorang tidak akan pernah habis. Akan tetapi selalu fluktuatif, naik turun seiring berjalannya waktu. Iman memang letaknya di hati. Sedangkan hati manusia selalu berbolak-balik dan mudah terombang-ambingkan. Kadang merasa sangat baik hingga muncul sikap merasa paling benar atas apa yang ia kerjakan. Kadang juga berada di titik terendah sehingga tidak luput dari perbuatan-perbuatan tercela.
Saya jadi teringat sebuah novel kontroversial karya Muhiddin M Dahlan yang berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur”. Sebuah novel yang kemudian Hanung Bramantyo menggarapnya menjadi sebuah film dengan judul yang sedikit berbeda: “Tuhan, Izinkan Aku Berdosa”. Film yang baru rilis sejak 22 Mei 2024 kemarin hingga 10 hari penayangannya telah mencapai 442 ribu penonton.
Dengan alur yang hampir sama, novel ini mengisahkan seorang perempuan yang awalnya memiliki semangat beragama yang tinggi. Terlihat cukup antusias, kemudian ada seorang kawan yang mengajaknya bergabung ke dalam jamaah yang menurutnya sangat islami.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, fakta di lapangan tidak sesuai dengan ekspektasi yang ia bayangkan. Bahkan ia menjadi korban pelecehan seksual dari pemimpin jamaah tersebut. Ringkasnya, ia kemudian menantang Tuhan bahwa sebaik-baik laki-laki yang ia temui hanyalah seonggok daging tidak berdaya di hadapan perempuan.
Menurut saya, novel ini bukan untuk mendiskreditkan lemahnya iman si perempuan. Namun sebaliknya, bahwa tingkat keimanan seseorang tidak dapat diukur dari balutan “pakaian” yang secara lahiriah terlihat sangat islami, khusyuk, dan alim. Seperti yang Muhiddin ceritakan dalam novelnya, banyak jamaah yang terlihat sangat rajin beribadah akan tetapi ternyata di dalamnya tidak demikian.
Hati memang ibarat sepotong bulu yang berada di pucuk pohon. Mudah terombang-ambingkan dan mudah goyah. Tidak heran jika Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu berdoa supaya hati ini selalu Allah teguhkan pada agama yang Ia ridhoi.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Ya muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinik
Artinya: “Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Membentuk Algoritma Hati
Pertanyaannya, bagaimana supaya hati tidak mudah goyah?
Jika menilik pada mekanisme media sosial kita akan menjumpai yang namanya algoritma. Kita akan selalu disuguhi dengan konten-konten yang cenderung sering kita akses sesuai dengan kebiasaan dan preferensi kita.
Artinya, semakin banyak kita berinteraksi dengan satu topik tertentu, media sosial akan menyuguhkan informasi-informasi yang kita butuhkan. Tidak jarang bahwa beranda media sosial seseorang menampilkan konten-konten yang berbeda.
Parahnya, jebakan algoritma ini dapat membuat seseorang menjadi bebal. Terlalu fanatik dengan apa yang ia yakini. Atau terlalu benci dengan apa yang tidak ia sukai. Memang tujuan dari media sosial adalah menjadikannya nyaman untuk berselancar di sana. Memberikan validasi atas apa yang mereka pikirkan sehingga ia tidak mudah berpindah ke platform lain.
Lantas apa hubungannya dengan hati?
Saya tertarik untuk meniru jebakan algoritma ini sebagai strategi untuk meneguhkan hati. Jika tujuan media sosial adalah membuat kita tidak mudah beralih ke platform lain sebab konten-konten yang kita sukai selalu muncul di beranda, maka untuk membentuk algoritma hati yang baik kita perlu sering berinteraksi dengan orang baik.
Seperti yang sering anak-anak lantunkan di antara adzan dan iqomah, bahwa salah satu obat hati adalah berkumpul dengan orang-orang saleh. Guru saya menyebut hal demikian sebagai obat hati paling mudah dan paling mujarab.
Semakin sering kita berkumpul dengan orang saleh, menghadiri majelis taklim, selawat, atau pengajian maka algoritma hati kita akan tergiring menuju sebuah kebaikan.
Tidak berhenti pada perkumpulan secara fisik. Di era digital ini kita juga harus menjadikan apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, dan apa yang kita baca selalu berorientasi pada kebaikan. Ketika lingkungan nyata dan maya kita selalu diliputi oleh kebaikan, bukan tidak mungkin hati kita akan selalu terpaut dengan kebaikan pula.
Meskipun kita bukan orang baik, namun jangan sungkan untuk berkumpul dengan orang baik. Karena perihal hati tidak ada yang bisa mengetahui. Apalagi soal mati yang menjadi rahasia Ilahi. Bisa jadi hal tersebut yang kemudian mengantarkan kita menuju surga-Nya nanti. Amiin. []