Mubadalah.id — Pasca menetapkan Bulan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mendorong masyarakat untuk turut serta mendokumentasikan dan menarasikan peran para ulama perempuan di lingkungan masing-masing.
Yang dimaksud dengan mendokumentasikan dan menarasikan peran ulama perempuan adalah mereka para nyai, ustadzah, guru ngaji, tengku, maupun para penggerak masyarakat yang selama ini bekerja dalam senyap. Namun menjadi penopang utama keberlangsungan ilmu, kehidupan, dan nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat.
Dengan semangat tersebut, KUPI juga mengajak seluruh komunitas, lembaga, dan individu untuk menghidupkan peringatan Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia melalui berbagai bentuk kegiatan. Di antaranya adalah doa bersama, tawassul, pembacaan puisi, diskusi, pengajian, penulisan kisah, hingga aksi-aksi sosial yang berpihak kepada kelompok rentan.
“Dengan menjadikan bulan ini sebagai ruang kebangkitan ulama perempuan, KUPI ingin menghadirkan ingatan kritis dan spiritual yang berpihak pada mereka yang paling rentan dan sering terlupakan dalam sejarah,” ungkap perwakilan KUPI dalam pernyataan resminya.
Ikhtiar KUPI
Seperti kita ketahui bersama, KUPI menetapkan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia ini sebagai bagian dari ikhtiar spiritual, sosial, dan kultural. Ikhtiar KUPI ini untuk memperkuat peran ulama perempuan dalam membela kehidupan dan mewariskan ilmu. Serta merawat keberpihakan terhadap kelompok yang dilemahkan oleh struktur sosial maupun politik.
Terlebih di tengah situasi bangsa yang masih diwarnai dengan kekerasan terhadap perempuan, krisis hukum dan demokrasi. Serta penderitaan global seperti yang kini rakyat Palestina alami. Maka kehadiran ulama perempuan menjadi sangat penting.
Para ulama perempuan hadir sebagai penjaga nurani publik, bersuara melalui ilmu, dan berjuang lewat pengabdian kepada kelompok rentan. Juga termasuk menegakkan kehidupan yang bermartabat serta berkeadaban.
Maka dari itu, KUPI menetapkan Bulan Mei sebagai momen tahunan yang dapat terus dihidupkan oleh komunitas di seluruh Indonesia. Pemilihan bulan ini bukan tanpa alasan. Selain bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, bulan Mei juga menjadi pengingat atas luka sejarah Mei 1998. Apalagi pada saat itu, perempuan, warga Tionghoa, dan masyarakat miskin kota menjadi korban kekerasan politik.
Dengan menjadikan Bulan Mei sebagai bulan kebangkitan, KUPI berharap gerakan ini bisa menjadi pengingat. Sekaligus penyemangat bagi masyarakat untuk terus memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan melalui peran ulama perempuan di berbagai ruang kehidupan. []