Mubadalah.id – Pada pekan HAKTP ini, selama hampir dua pekan terakhir, berita mengenai bencana alam di pulau Sumatra kian berlalu-lalang di timeline media sosial. Mulai dari update kondisi masyarakat terdampak, kondisi wilayah, hingga kegiatan menggalang dana untuk saudara-saudara yang terdampak.
Saat ini, yang bersliweran di pikiranku lebih banyak bagaimana masyarakat terutama perempuan dan anak-anak yang terdampak disana? mereka menjadi korban yang paling rentan dalam bencana ini. Terlebih, aku sangat mengkhawatirkan bagaimana fungsi reproduksi perempuan dapat bertahan dengan baik di tengah minimnya bantuan, keterbatasan akses makanan dan sanitasi, serta produk sanitari?
Bencana alam di Sumatra terjadi beberapa hari sebelum peringatan 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan). Namun, dampaknya dapat kita lihat hingga saat ini. Laporan dari CNBC Indonesia per 3 Desember 2025 menyebutkan lebih dari 811 orang meninggal dunia dan 623 orang menghilang. Tentu data tersebut bisa jadi belum mengungkapkan keseluruhan data dimana korban-korban yang hilang atau meninggal belum diketahui.
Setiap 25 November hingga 10 Desember, dunia memperingati 16 HAKTP atau Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence). 16 HAKTP merupakan sebuah kampanye global untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan di seluruh dunia.
Kampanye tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan terhadap perempuan dan mendorong tindakan nyata dari berbagai pihak untuk mencegah dan menghentikan kekerasan. Salah satu upaya yang sangat penting dalam perlindungan perempuan dari kekerasan adalah pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual, yang merupakan salah satu bagian fundamental dari hak asasi manusia.
Mengapa Perempuan dan Anak-anak Menjadi Korban Rentan dalam Bencana Alam?
Bencana ekologis yang menimpa masyarakat Sumatera telah meluluhlantakkan pemukiman, fasilitas umum, jalan, hingga perkebunan masyarakat. Sehingga masyarakat kehilangan tempat tinggal, harta benda, dan keluarga yang mereka sayang. Bahkan, dalam beberapa laporan terbaru, sebagian warga menjarah swalayan dan gudang logistik akibat dari bantuan yang tak kunjung datang.
Perempuan memiliki fungsi reproduksi yang khas dibanding laki-laki. Perempuan mengalami menstruasi, melahirkan, nifas, dan menyusui yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Oleh karenanya, perempuan menjadi korban yang paling rentan dalam bencana ekologis. Ketika seluruh tempat tinggal hingga fasilitas umum tidak bisa digunakan oleh perempuan, maka perempuan telah kehilangan hak-hak reproduksinya.
Dalam bencana ekologis di Sumatra menurut perspektif HAKTP, para perempuan memiliki layanan dan perlindungan yang terbatas. Misalnya, posko pengungsian yang tidak memiliki woman-friendly space, layanan kesehatan reproduksi terhenti, tidak ada psychososial first aid, hingga bantuan tidak selalu memperhatikan kelompok rentan. Selain itu, pengungsian yang sangat padat, sanitasi minim, rawan pelecehan dan kekerasan seksual menyebabkan perempuan kehilangan hak perlindungan dan kesehatan.
Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dalam Situasi Bencana Perspektif HAKTP
Terlihat kondisi di lapangan saat ini bahwa hilangnya layanan kesehatan reproduksi menunjukkan kita bagaimana perencanaan kebencanaan sering mengabaikan perspektif gender.
Minimnya ruang aman, kurangnya distribusi pembalut, atau ketiadaan layanan untuk ibu hamil tidak terjadi secara kebetulan. Situasi tersebut berangkat dari asumsi bahwa kebutuhan perempuan dapat tertunda hingga kondisi stabil. Padahal fungsi reproduksi berjalan terus tanpa menunggu bencana mereda.
Menggunakan perspektif HAKTP, kondisi darurat bencana Sumatra saat ini jelas menunjukkan bagaimana kekerasan berbasis gender dapat muncul dari struktur yang gagal menyediakan perlindungan memadai. Misalnya, kepadatan pengungsian tanpa pemisahan ruang tidur, kurangnya sistem keamanan, serta tidak adanya mekanisme pelaporan membuat perempuan rentan mengalami kekerasan seksual.
Kerentanan tersebut semakin tinggi ketika akses perempuan terhadap informasi, alat komunikasi, atau layanan pendampingan hukum tertutup akibat kondisi geografis dan logistik. Dampaknya selain risiko fisik juga tekanan psikologis berkepanjangan yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan kemampuan mereka untuk pulih.
Selain itu, keterbatasan logistik dan koordinasi bantuan juga sering mengabaikan kelompok perempuan dengan kebutuhan khusus, seperti ibu hamil, perempuan disabilitas, ataupun lansia. Distribusi bantuan yang bersifat netral-gender sering menghasilkan ketidakadilan, karena kebutuhan kelompok rentan justru berbeda dan lebih kompleks.
Ketika paket bantuan lebih fokus pada makanan instan atau barang-barang umum, perempuan kehilangan akses pada nutrisi yang mereka butuhkan selama kehamilan atau masa menyusui.
Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa analisis gender, respons bencana akan selalu melahirkan kesenjangan baru dan memperpanjang siklus kerentanan perempuan pada wilayah yang terdampak. Hal tersebut menjadi kurang mendesak daripada kebutuhan umum, sehingga respons kebencanaan berjalan dengan bias maskulin yang mengabaikan pengalaman tubuh perempuan.
Pemerintah Perlu Bergegas Melindungi Perempuan Korban Bencana Berbasis Humanitarian Standard
Salah satu elemen utama dalam standar kemanusiaan adalah memastikan desain pengungsian yang aman. Pengungsian perlu mempertimbangkan keamanan perempuan dan anak, seperti toilet dan kamar mandi yang terpisah. Serta area khusus yang memberikan rasa aman dan privasi. Shelter tertutup dan ruang aman berbasis gender dapat meminimalkan risiko kekerasan seksual maupun gangguan yang kerap terjadi di tempat-tempat penampungan padat. Desain yang responsif gender membantu mencegah potensi kekerasan sebelum terjadi.
Kemudian, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme pelaporan yang mudah untuk perempuan akses di pengungsian. Melalui pos aduan, hotline darurat, dan relawan yang terlatih dalam isu SGBV (Sexual and Gender-Based Violence), penyintas dapat melaporkan kekerasan tanpa rasa takut.
Mekanisme tersebut sangat krusial dalam perlindungan, karena situasi bencana sering kali meningkatkan potensi kekerasan seksual akibat kurangnya pengawasan dan lemahnya sistem keamanan. Pelaporan yang aman juga memungkinkan respons cepat bagi korban kekerasan.
Layanan medis menjadi pilar selanjutnya. Pemeriksaan kesehatan reproduksi, ketersediaan obat-obatan dasar, serta dukungan psikologis harus menjadi komponen wajib di setiap posko. Kebutuhan perempuan yang sedang hamil, menyusui, atau menstruasi tidak bisa menunggu hingga keadaan pulih. Layanan medis yang sensitif gender memastikan bahwa hak kesehatan reproduksi tetap terpenuhi meskipun berada dalam situasi darurat. Termasuk pemenuhan pembalut, alat kebersihan, hingga layanan rujukan.
Dalam jangka menengah, pemerintah perlu memberikan dukungan ekonomi untuk pemulihan. Program pemulihan ekonomi perempuan bagi perempuan kepala keluarga dapat membantu bangkit dari kehilangan harta benda dan pekerjaan. Stabilitas ekonomi memberikan ruang bagi perempuan untuk mengambil keputusan, mengakses layanan, serta melindungi diri dari risiko eksploitasi.
Refleksi
Pada pekan 16 HAKTP ini saya berefleksi bahwa perlindungan perempuan dalam situasi bencana memerlukan keseriusan negara dan seluruh pemangku kepentingan untuk bertindak cepat. Bencana selain memporakporandakan fisik wilayah, juga menguji keberpihakan kita pada kelompok yang paling rentan.
Ketika pemerintah memastikan bahwa pengungsian aman, layanan kesehatan reproduksi tersedia, mekanisme pelaporan berjalan, serta pemulihan ekonomi kuat, maka upaya perlindungan menjadi bagian dari pemulihan. []












































