Mubadalah.id – Sebagai generasi yang hidup dengan julukan digital natives, hari-hari saya sering dibuka oleh alarm dari ponsel. Kemudian chat menyusul, lalu ada kabar terkini, hingga hiburan. Tanpa terasa, layar ponsel di era scroll menjadi halte pertama sebelum kesadaran benar-benar dalam genggaman.
Yang aneh, justru ketika ponsel tidak ada di dekat saya, rasanya terasa kosong seolah ada yang tertinggal. Boleh saya asumsikan benar kata Marshall McLuhan, media adalah perpanjangan indra manusia. Di era scroll ini, ponsel sebagai media telah memperpanjang kemampuan, sekaligus memperpanjang kebiasaan kita mengisi setiap jeda dalam hidup manusia.
Barangkali ini bukan pengalaman saya saja; kita kerap menyebutnya sepele, padahal kita melakukannya nyaris setiap hari. Hanya mau cek satu hal. Namun begitu layar menyala, feed ikut menyapa. Kita tidak sedang mencari apa-apa, tetapi selalu ada yang ditawarkan. Satu konten lewat, lalu yang lain ikut bermunculan. Rasanya baru sebentar. Ternyata sudah lama.
Lalu, ke mana perginya waktu yang tak terasa itu?
Di titik ini, tak jarang saya mengambil kesimpulan paling mudah dengan menyalahkan diri. Berarti saya kurang disiplin. Berarti benteng pertahanan saya untuk tidak scroll kurang kuat. Padahal persoalannya tidak sesederhana itu.
Dapat dikatakan, ini juga perihal arsitektur zaman. Feed yang tak punya ujung, algoritma yang menghafal kebiasaan kita, dan shorts video yang dirancang seperti permen kecil, manis, cepat, dan candu.
Lantas, apabila hidup kita makin sering dituntun oleh desain yang mendorong respons cepat, geser, tonton, lanjut, apa yang terjadi pada kemampuan kita untuk tinggal lebih lama pada suatu hal? Masihkan kita memiliki fokus utuh?
Bagaimana Penelitian Mutakhir Menjawab tentang Fokus dan Kesehatan Mental?
Pertanyaan tentang fokus sering dianggap sebagai urusan kebiasaan. Namun, beberapa tahun terakhir para peneliti mulai memetakannya sebagai pola yang terukur.
Salah satu yang mutakhir adalah tinjauan sistematis dan meta analisis yang disusun oleh Nguyen dan rekan rekan, dengan tajuk “Feeds, Feelings, and Focus: A Systematic Review and Meta Analysis Examining the Cognitive and Mental Health Correlates of Short Form Video Use” yang terbit di Psychological Bulletin pada 2025.
Mereka tidak hanya membaca satu dua studi. Mereka merangkum 71 studi dengan total 98.299 partisipan. Tujuannya untuk melihat pola besar tentang hubungan penggunaan video pendek dengan kemampuan berpikir dan kondisi mental.
Gambar besarnya begini, keterlibatan yang lebih tinggi pada video pendek cenderung berjalan bersama dengan menurunnya kinerja kognitif. Kekuatan hubungannya berada pada tingkat sedang. Ini berarti polanya cukup terasa dan muncul berulang di banyak studi, walau tentu tidak menjelaskan seluruh hidup seseorang.
Ketika temuan itu dipecah, dua hal tampak paling menonjol. Yang pertama adalah fokus atau perhatian. Ini berkaitan dengan kemampuan bertahan pada satu tugas. Yang kedua adalah kontrol inhibisi. Ini berkaitan dengan kemampuan menahan dorongan, misalnya menahan diri agar tidak segera berpindah ke video berikutnya.
Dengan kata lain, riset ini tidak sekadar berkata kita jadi mudah terdistraksi. Namun juga menyinggung kemampuan untuk berhenti, menunda, dan memilih. Itulah kemampuan yang sering terasa melemah ketika tangan sudah terlanjur menggulir.
Apa Hubungannya dengan Kondisi Psikologis Seseorang?
Meta analisis yang sama juga melihat kaitannya dengan kesehatan mental. Polanya tetap muncul, walau umumnya tidak sekuat ranah kognisi.
Orang yang lebih intens memakai video pendek lebih sering melaporkan stres dan kecemasan. Hubungan dengan gejala depresi juga tampak, walau lebih lemah dibanding dua indikator tadi. Sejumlah studi juga mencatat kaitan dengan rasa kesepian, kualitas tidur yang menurun, serta kesejahteraan psikologis yang ikut merosot.
Ada temuan yang tidak kalah menarik. Pada gabungan studi ini, citra tubuh dan harga diri tidak menunjukkan hubungan yang berarti. Penulis menduga salah satu alasannya adalah ragam konten video pendek yang sangat lebar. Ada konten yang memicu perbandingan sosial. Ada juga konten yang mendorong penerimaan diri. Karena itu, dampaknya kemungkinan besar bergantung pada jenis konten dan cara kita menggunakannya.
Di sisi lain, penelitian ini juga mengingatkan batasnya. Banyak studi yang ditinjau bersifat korelasional dan cross-sectional. Karena itu, riset ini belum bisa memastikan arah sebab akibat secara mutlak. Bisa saja video pendek ikut melemahkan fokus. Namun bisa juga orang yang sedang lelah mental lebih mudah mencari pelarian lewat video pendek. Kemungkinan yang masuk akal adalah keduanya saling menguatkan.
Mengapa Video Pendek Terasa Begitu Melekat?
Nah, peneliti tersebut menggunakan kerangka habituasi dan sensitisasi. Habituasi berarti otak terbiasa dengan rangsangan yang cepat dan intens. Akibatnya, aktivitas yang ritmenya pelan terasa lebih berat. Membaca panjang terasa cepat membosankan. Mengerjakan tugas tanpa variasi terasa lebih sulit.
Sensitisasi bergerak dari arah lain. Sistem penghargaan kita menjadi semakin peka pada pemicu cepat. Setiap video memberi peluang menemukan sesuatu yang lebih lucu, lebih mengejutkan, atau lebih relevan. Maka yang kita kejar bukan hanya isi kontennya. Kita juga mengejar kemungkinan kejutan berikutnya.
Di sinilah desain platform bekerja halus. Ujungnya tidak jelas. Video berganti tanpa jeda. Rasa bosan tidak diberi ruang untuk selesai. Kita belajar menutup bosan secepat mungkin. Kita belajar mengganti satu rangsangan dengan rangsangan lain.
Jika pola itu diulang setiap hari, perhatian pelan pelan berubah. Pikiran jadi mudah meloncat. Fokus terasa rapuh. Dan ketika fokus rapuh, hal hal sederhana pun terasa lebih berat, karena kita harus memulai lagi dan lagi.
Memperebutkan Kembali Ruang Fokus
Penelitian mutakhir tadi tidak sedang memengaruhi kita memusuhi teknologi. Balik lagi, sebagai digital natives mustahil melakukan hal yang demikian. Penelitian tersebut juga tidak sedang memberikan justifikasi terhadap individu malas. Namun menunjukkan pola yang bisa kita lihat dengan lebih jujur.
Kalau video pendek berkaitan dengan melemahnya perhatian dan kontrol inhibisi, serta berkaitan dengan naiknya stres dan kecemasan, maka pertanyaannya bukan lagi sekadar bagaimana menahan diri. Pertanyaannya adalah bagaimana memperebutkan kembali ruang fokus.
Ruang fokus memang bukanlah tempat fisik, tapi batas yang kita pasang agar pikiran punya kesempatan menetap. Bentuknya dapat berupa jeda yang belum kita isi. Ruang fokus bisa kita rasakan sebagai momen di mana kita membiarkan satu pekerjaan selesai, satu bacaan dapat dipahami dengan utuh, dan satu ide yang diproses sampai tuntasl.
Hidup di era scroll membuat fokus utuh terasa seperti barang langka. Saya kira bukan saya saja yang merasakannya, tapi kita. Nah, riset yang telah saya gambarkan tadi memberi petunjuk yang jelas. Fokus, bukan hanya soal karakter. Fokus juga soal lingkungan rangsangan yang kita konsumsi setiap hari.
Apabila kita ingin fokus kembali, kita perlu lebih sadar memilih asupan perhatian. Ada konten yang membuat pikiran tenang dan paham. Ada juga konten yang membuat kita terus haus rangsangan. Ketika kita mulai mengatur porsi dan memberi jeda, perhatian punya peluang untuk pulih. Di situlah kita kembali bisa hadir seutuhnya, bukan sekadar ikut terseret arus selayaknya ikan yang kehilangan nafas. []




















































