Mubadalah.id – Tulisan ini mengisahkan sebuah cerita istri taat suami tidak kunjungi ayah yang sakit. Alkisah ada seorang laki-laki yang hendak bepergian jauh. Ia meminta istrinya untuk tidak turun dari lantai atas rumahnya ke lantai bawah. Ayah sang istri berada di lantai bawah. Tiba-tiba, sang Ayah jatuh sakit. Kemudian putrinya yang di lantai atas, karena suaminya memintanya untuk tidak turun ke bawah, mengutus seseorang pergi ke Rasulullah Saw, menanyakan: bolehkah ia turun ke bawah membesuk dan merawat ayahnya.
Katanya, dalam kisah tersebut: sang Rasul Saw menjawab: “Taati suamimu”. Selang beberapa hari, lalu sang ayah wafat. Iapun kembali mengutus dan bertanya kepada Rasulullah Saw. Jawaban yang sama terucap: “Taati suamimu”. Ketika jenazah sang ayah dikebumikan, ada utusan Rasulullah Saw yang datang kepada perempuan tersebut, dan menyampaikan bahwa dosa-dosa ayahnya dimaafkan karena ketaatannya pada suaminya.
Kisah Istri Taat Suami Tak Kunjungi Ayah Tak Ada di Kitab Hadis Induk
Kisah istri taat suami tidak kunjungi ayah yang sakit ini, bagi beberapa kalangan awam, menjadi dasar narasi dan ajaran bahwa suami adalah paling penting bagi seorang perempuan. Bahkan bila berbanding dengan ayahnya sendiri yang sakit keras di ujung kematian. Di atas suami, hanyalah Allah Swt. Bahkan dalam beberapa kasus, perintah Allah Swt bisa tertangguhkan demi kepentingan perintah suami. Hampir-hampir, perempuan seperti bukan lagi hamba Allah Swt, melainkan hamba suaminya. Pernikahanpun bukan lagi sebagai akad untuk memadu kasih sayang, melainkan penghambaan seorang perempuan bagi seorang laki-laki. Di sinilah persoalan besarnya.
Kisah ini, karena bercerita tentang dan mengandung pernyataan Nabi Saw, masuk sebagai kategori hadits. Hanya saja, dalam kajian takhrij (analisis rantai periwayat), tidak ada satu kitab haditspun yang kredibel yang meriwayatkan hadits ini. Tidak Sahih Bukhari (w. 256 H/880 M), Sahih Muslim (w. 261 H/875 M), Sunan Turmudzi (w. 279 H/892 M), Sunan Abu Dawud (w. 275 H/889 M), Sunan Ibn Majah (w. 273 H/887 M), ataupun Sunan an-Nasai (w. 303 H/915 M).
Kitab-kitab ini yang biasa kita kenal dengan Kutub as-Sittah, atau Enam Kitab Hadits Utama tidak meriwayatkan kisah di atas. Hal yang sama juga Kitab Muwatta’ Imam Malik (w. 179 H/ 792 M) dan Musnad Imam Ahmad (w. 241 H/855 M. Kisah tersebut tidak ada di semua kitab hadits ini. Kisah ini juga tidak terdapat dalam kitab-kitab sejarah biografi (Sirah) Nabi Muhammad Saw, seperti Sirah Ibn Ishaq (w. 151 H/768 M) dan Sirah Ibn Hisyam (w. 218 H/834 M). Tidak juga di dalam kitab-kitab Tafsir awal seperti Tafsir ath-Thabari (w. 310 H/923 M).
Dari Mana Kisah Istri Taat Suami Tak Kunjungi Ayah yang Sakit?
Lalu darimana kisah istri taat suami tidak kunjungi ayah yang sakit ini begitu populer bagi beberapa kalangan masyarakat Muslim di Indonesia dan dunia?
Kami menduga, yang membuat kisah ini populer karena yang menyampaikannya adalah ulama kharismatik dan proliferik, Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dalam magnum opusnya Kitab Ihya ‘Ulumuddin. Di jilid kedua, mengenai hal-hal terkait adat kebiasaan selain ibadah (al-‘adat), pasal kedua mengenai adab pernikahan, ada bab terkait hak-hak suami atas istri. Di dalam bab inilah Imam al-Ghazali menyampaikan kisah perempuan tersebut.
Kisah ini, dikutip Imam al-Ghazali tanpa menyebut rantai sanad yang mempertanggung-jawabkan kisah atau hadits tersebut. Juga tanpa menyebut perawi ulama hadits yang mencatat dan menyimpannya dalam suatu kitab tertentu. Ulama hadits yang otoritatif, Imam al-Hafiz Zayn ad-Din al-‘Iraqi (w. 806 H/1403 M) melakukan penelusuran (takhrij) terhadap sanad dan perawi seluruh hadits-hadits Kitab Ihya’ Ulumuddin.
Penelusuran ini dibukukan dalam kitabnya: “al-Mughni ‘an al-Asfar fi al-Isfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar”. Di dalam kitab ini, al-Hafizh al-‘Iraqi menyatakan bahwa kisah ketaatan perempuan, yang tersebut dalam Kitab Ihya al-Ghazali, diriwayatkan Imam ath-Thabrani (w. 360 H/913 M) dalam al-Mu’jam al-Awsath dengan sanad yang lemah (dha’if).
Dalam standar ilmu Musthalah al-Hadits dan Ushul Fiqh, hadits dengan sanad lemah tidak bisa menjadi sandaran hukum, untuk mewajibkan sesuatu, atau mengharamkan sesuatu (Lihat: Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Ilm lil-Malayin, hal. 210-214). Jadi, kisah di atas karena lemah, seharusnya gugur dan tidak boleh dijadikan dasar narasi atau ajaran Islam yang mewajibkan seorang perempuan mentaati suami tinggal di dalam kamarnya dan meninggalkan kewajibannya berbakti pada orang tua.
Beberapa ulama, memang, ada yang membolehkan menggunakan hadits lemah untuk meningkatkan amal kebaikan. Misalnya meningkatkan ibadah, shalat, puasa, bersedekah, menolong, dan berbuat baik kepada sesama. Tetapi bukan untuk mewajibkan sesuatu, atau menggugurkan suatu kewajiban. Kisah tersebut nyata-nyata menggugurkan kewajiban seorang perempuan untuk membesuk ayahnya yang sakit, merawatnya, dan melayatnya ketika wafat. Padahal perempuan dan ayahnya dalam satu rumah, hanya beda lantai saja.
Berbuat Baik kepada Orang Tua
Berbuat baik kepada orang tua sangat nyata dalam Islam adalah wajib bagi anak, laki-laki maupun perempuan (QS. An-Nisa, 4: 36; al-An’am, 6: 151; al-Isra’, 17: 23; dan al-Ahqaf, 46: 15). Selain al-Qur’an, banyak sekali teks-teks hadits yang mewajibkan seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tua, melayani, dan merawat mereka ketika sakit. Apalagi kepada orang tua yang serumah. Bahkan sesama muslim saja, kewajiban menjenguk ketika sakit dan melayat ketika wafat adalah kewajiban yang nyata dan terang benderang.
عن أبي هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلاَمِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ (صحيح البخاري، رقم الحديث: 1251).
Dari Abu Hurairah ra berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Kewajiban seorang Muslim kepada Muslim yang lain ada lima; menjawab salamnya, menjenguknya ketika sakit, mengantar jenazahnya (ketika wafat), memenuhi undanganya, dan mendoakanya ketika bersin. (Sahih Bukhari, no. hadits: 1251).
Dalam kajian internal teks (matan), kisah istri taat suami tidak kunjungi ayah yang sakit di atas juga banyak sekali kejanggalan. Salah satunya, bagaimana seseorang yang tinggal di lantai atas memenuhi kebutuhannya tanpa turun ke lantai bawah. Pada masa Nabi Saw, rumah-rumah terbuat dari tanah liat. Kebanyakan dari masyarakat, bahkan keluarga Nabi Saw sendiri, buang hajat ke tanah lapang di luar rumah pada malam hari.
Bagaimana seseorang, diminta suaminya tinggal di lantai atas, bisa memenuhi kebutuhanya makan, minum, masak, dan buang hajat, tanpa ke lantai bawah terlebih dahulu? Apakah dia turun ke bawah tetapi tidak menemui ayahnya, tidak menjenguk, dan tidak melayat? Atau dia berpuasa penuh, demi perintah suami, sehingga tidak perlu buang hajat? Bagaimana juga ia menyuruh seseorang bertemu Nabi Saw, berkali-kali, tanpa turun ke lantai bawah mencari orang yang bisa ia mintai tolong?
Dengan kejanggalan-kejanggalan ini, ditambah dengan pertentangannya dengan norma-norma dasar yang ditegaskan al-Qur’an maupun hadits, kisah istri taat suami tidak kunjungi ayah yang sakit tersebut di atas harusnya gugur sebagai dasar rumusan ajaran Islam mengenai relasi suami istri. Apalagi secara sanad ia juga lemah.
Ketaatan Harus Berkaitan dengan Kebaikan Rumah Tangga
Kisah istri taat suami tidak kunjungi ayah yang sakit sampai wafat adalah cerita tentang ketaatan seorang perempuan kepada suaminya. Ketaatan ini bisa diterima hanya jika terkait kebaikan-kebaikan rumah tangga, yang memperkuat hubungan mereka berdua. Ketaatan ini juga harus bersifat resiprokal dengan merujuk pada pilar-pilar berumah tangga yang lima; menjaga pernikahan sebagai ikatan kokoh (mitsaqan ghalizan), berperilaku sebagai mitra satu sama lain (zawaj), saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf), saling bermusyawarah (tasyawurin), dan saling ridho (taradhin). Artinya, seorang perempuan perlu mentaati suaminya sebagaimana seorang laki-laki juga perlu mentaat istirnya.
Tentu saja, ketaatan itu baik dan perlu ketika berkaitan dengan kebaikan rumah tangga dan dapat mengokohkan hubungan di antara mereka berdua. Jika sebaliknya, misalnya justru berakibat buruk, ketaatan istri maupun suami justru menjadi gugur dan bisa dibicarakan ulang oleh keduanya untuk kepentingan bersama mereka berdua. Karena yang paling penting dari ketaatan adalah menjaga relasi atau hubungan antara mereka berdua, agar keduanya bisa sakinah, mawaddah, dan rahmah. Wallahu a’lam. []