Mubadalah.id – Saya kurang mengerti kenapa ada sebagian orang (Muslim) yang mudah tersinggung dengan tayangan film pendek berjudul Aku adalah Kau yang Lain. Bahkan menurut kabar, film itu diboikot atas permintaan sejumlah pihak, tak tanggung, termasuk oleh dai kondang sekelas Abdullah Gymnastiar, berikut saudara Mustofa R, salah seorang kader Muhammadiyyah.
Saya sendiri sudah menonton film itu, sampai tuntas via kanal Youtube. Judulnya unik dan memang sudah seharusnya kita mempunyai komitmen demikian. Bahwa aku adalah kau yang lain. Umat Muslim adalah umat Kristen yang lain dalam konteks kebangsaan bukan dalam konteks keimanan. Kita (semua umat agama) adalah bersaudara, tak boleh saling menjelekkan.
Dalam film diceritakan ada seseorang (beda agama) yang sedang dalam keadaan kritis, harus segera dibawa ke rumah sakit, tetapi di saat yang sama, jalan utama sedang ada hambatan, terpaksa ambil jalan alternatif yang kebetulan melewati sebuah pengajian seorang kiai bersama para santrinya. Ketika hendak melintas, terjadi adu mulut antara pengurus pengajian dengan pihak polisi yang ikut mengantar.
Setelah melalui perdebatan panjang, toh pada akhirnya ambulan diperkenankan melintasi jalan. Sebagian orang merasa tersinggung karena ada satu pengurus pengajian yang keukeuh tak membolehkan lewat. Adegan tersebut, menurut mereka, mendiskreditkan Islam, seolah-olah Islam adalah agama intoleran. Padahal kalau sedikit saja kita mau berkaca pada realitas, orang dengan karakter ‘keras’ dan ngotot sebagaimana demikian memang ada dan nyata.
Sebagian orang yang tersinggung mengalami kegagalan fokus. Kita mestinya harus bisa membedakan mana ‘Islam’ dan mana ‘Muslim.’ Islam itu ya’lu wala yu’la ‘alaih, sementara Muslimnya punya potensi keliru dalam beragama. Kita sebagai Muslim tidak boleh pukul rata bahwa Muslim selamanya akan bebas dari kekeliruan dan dosa. Muslim tidak ma’shum (terjaga dari maksiat dan dosa) terkecuali Nabi saw.
Kita harus jujur mengakui masih banyak di antara Muslim yang punya pemahaman literal dan radikal. Pemahaman Islam yang kaku dan rigid. Berikut sebagian Muslim yang hampir selalu menaruh curiga kepada umat agama lain yang berbeda. Kejujuran dan pengakuan kita tentu tidak membuat keyakinan kita bahwa masih jauh lebih banyak umat Muslim yang toleran, moderat dan berpandangan inklusif.
Dalam salah satu grup WA, saya pernah mempertanyakan pilih mana Bupati yang beragama Islam (mengaku alumni pesantren, lulusan S3, dll) tetapi punya kepemimpinan yang bobrok atau Bupati beragama Kristen dengan kepemimpinan yang berani dan jujur (adil)? Masih banyak di antara Muslim (teman saya dalam grup WA) yang lebih memilih Bupati Muslim yang kepemimpinannya bobrok daripada Bupati Kristen yang kepemimpinannya mumpuni. Astaga.
Alasannya apa? Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa pemimpin bobrok tetapi Muslim itu jauh lebih mending daripada pemimpin Kristen yang jujur sekalipun karena pemimpin Muslim masih mau ingat Allah. Astaghfirullah. Sesempit dan segelap inikah pandangan sebagian Muslim kita? Bagi saya, pemimpin yang mengaku Muslim tetapi korup, punya kualitas kepemimpinan yang bobrok, telah menodai kemuslimannya. Kalau bersalah, dia telah melakukan kesalahan yang berlipat. Akhirnya, Muslim atau siapapun yang masih mempersoalkan ‘aku adalah kau yang lain’, maka pemahamannya perlu dikoreksi.
Wallaahu a’lam.
Mamang M Haerudin (Aa) Calon Bupati Cirebon, Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 6 Juli 2017, 10.49 WIB.