• Login
  • Register
Senin, 25 September 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Catatan Nasr Hamid Abu Zaid atas Mitologi Imam Thabari tentang Perempuan (1)

Imam at-Thabari dalam konteks tafsirnya menyajikan justifikasi atas fenomena alam, dan pengalaman biologis perempuan di mana saat itu manusia belum mampu menafsirkan secara ilmiah

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
02/11/2022
in Khazanah, Rekomendasi
0
Catatan Nasr Hamid Abu Zaid atas Mitologi Imam Thabari tentang Perempuan (1)

Catatan Nasr Hamid Abu Zaid atas Mitologi Imam Thabari tentang Perempuan (1)

131
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Hai Hawa! Kamulah yang telah menggoda hamba-Ku. Maka kamu tidak akan hamil kecuali dengan menanggung sakit. Dan jika kamu ingin melahirkan, kamu akan selalu menghadapi kematian. (tafsir at-Thabari, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1984, hlm 335.

Mubadalah.id – Ada kegelisahan yang luar biasa tatkala membaca salah satu tafsir sebagaimana saya tulis di awal artikel ini. Sejatinya  berikut ini akan membahas terkait catatan Nasr Hamid Abu Zaid atas mitologi Imam Thabari tentang perempuan.

Perempuan dalam naskah teks literalis selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua. Dilegitimasi dengan penafsiran yang memang misoginis, menggiring opini untuk menempatkan perempuan di posisi yang tidak menguntungkan.

1430 tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-3 H, Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabari atau yang lebih dikenal dengan Imam Thabari memulai kehidupan ilmiahnya. Imam Thabari adalah sosok ilmuwan dan ulama dalam bidang keagamaan. Ahli hadits, ahli sejarah, dan mufassir menyatu dalam diri Imam Thabari.

Beberapa karya luar biasa yang disebut dengan ensiklopedia keilmuwan sampai di tangan kita. Seperti tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Al-Quran, Tahzib al-Asar, dan Tarikh al- Umam wa al-Muluk. Lantas kenapa penafsiran dalam tafsir at-Thabari mayoritas bernada peyoratif terhadap perempuan?

Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu untuk mengkaji terlebih dahulu keadaan sosial, politik, dan budaya yang ada saat Imam Thabari menafsirkan ayat-ayat dan kalamullah. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana setting sosial sehingga muncul penafsiran yang bernada peyoratif. Karena bagaimanapun, kitab-kitab Imam Thabari telah menginspirasi dan menjadi rujukan karya-karya besar di abad setelahnya bahkan hingga saat ini.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Tanpa Mubadalah, Perempuan selalu Disalahkan, Meski di dalam Rumah
  • Memaknai Hadis Dasar Larangan Perempuan Memimpin
  • Benarkah Perempuan Haid itu Kotor dan Najis?
  • Keterlibatan Peran Perempuan dalam Perayaan Maulid Nabi Saw

Baca Juga:

Tanpa Mubadalah, Perempuan selalu Disalahkan, Meski di dalam Rumah

Memaknai Hadis Dasar Larangan Perempuan Memimpin

Benarkah Perempuan Haid itu Kotor dan Najis?

Keterlibatan Peran Perempuan dalam Perayaan Maulid Nabi Saw

Salah satu upaya yang bisa dilakukan agar generasi masa kini menjadi pewaris-pewaris yang berguna bagi tradisi klasik yang agung dan luar biasa tersebut, adalah dengan mengetahui bagaimana pendapat tokoh di abad pertengahan tentang penafsiran at-Thabari khususnya mengenai perempuan.  Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu ilmuwan di abad modern yang banyak mengkaji mengenai kitab-kitab klasik termasuk salah satunya adalah tafsir at-Thabari.

Karakter penafsiran at-Thabari: Masuk dalam kategori mitologi (asatir)

Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya Dekonstruksi Gender Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, memasukkan karakter penafsiran at-Thabari dalam kategori mitologi (asatir). Artinya penafsiran at-Thabari dipenuhi dengan legenda-legenda kepercayaan masyarakat Arab saat itu. Lantas apakah berarti penafsiran at-Thabari adalah sebuah kebohongan?

Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa tafsir at-Thabari meskipun didominasi dengan legenda-legenda kepercayaan masyarakat Arab, bukan berarti didalamnya adalah kebohongan atau mitos-mitos saja. Namun at-Thabari mengungkapkan kebenaran yang diyakini oleh masyarakat di fase kesejarahan tertentu yaitu di masa abad ke-3 H hingga ditemukan fakta lain yang secara ilmiah menyatakan hal lain.

Melihat kurun waktunya, kebenaran yang diyakini oleh masyarakat di fase kesejarahan pada masa Imam at-Thabari juga banyak dipengaruhi oleh agama sebelumnya yaitu Yahudi. Terdapat proses saling mempengaruhi antara Islam dan agama sebelumnya pada level kebudayaan dan pemikiran. Imam at-Thabari dalam konteks tafsirnya menyajikan justifikasi atas fenomena alam, dan pengalaman biologis perempuan di mana saat itu manusia belum mampu menafsirkan secara ilmiah.

Seperti sebuah kisah dikeluarkannya Adam dan Hawa dari surga, disajikan oleh Imam at-Thabari untuk menjustifikasi fenomena sakitnya perempuan saat melahirkan. Secara ilmiah belum ditemukan jawaban kenapa perempuan merasakan sakit saat melahirkan.

Untuk menjawab rasa penasaran tersebut maka kisah dikeluarkannya Adam dan Hawa diinterpretasi. Rasa sakit perempuan saat melahirkan diyakini sebagai salah satu hukuman bagi Hawa karena telah menggoda Adam sehingga mereka dikeluarkan dari surga. Kisah tersebut ditulis dalam tafsir at-Tabari sebagai berikut ini:

“Kemudian Allah berkata: Hai, Hawa! Kamulah yang telah menggoda hamba-Ku. Maka kamu tidak akan hamil kecuali menanggung rasa sakit. Dan jika kamu ingin melahirkan, kamu akan selalu menghadapi kematian.” tafsir at-Thabari, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1984, hlm 335

Setting sosial juga sangat mempengaruhi karakter penafsiran Imam at-Thabari di atas. Adam digambarkan sebagaimana laki-laki dalam masyarakat Arab. Di mana laki-laki adalah teladan kebaikan dan ketidakberdosaan sedangkan perempuan adalah sumber kejahatan dan kesalahan.

Makna yang ingin disampaikan adalah, jikalau bukan karena kesalahan Hawa yang menggoda Adam, maka Adam tidak akan dikeluarkan dari surga. Teks diatas lebih mencerminkan realitas masyarakat dimana teks agama tersebut ditafsirkan.

Tafsir Mitologi Dan Teori Curiosity Sebagai Kebenaran Sementara

Pernyataan dan catatan Nasr Hamid Abu Zaid atas karakter mitologi tafsir Imam at-Thabari ini sesuai dengan teori curiosity yang merupakan salah satu fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal. Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity.

Menurut Berlyne, ketidakpastian yang dirasakan manusia muncul ketika ia mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem saraf pusat. Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian. (Maisari, 2012)

Ada banyak cara yang dilakukan manusia untuk mengurangi ketidakpastian, salah satunya mengaitkan dengan mitos. Masih ingat bagaimana para nenek moyang mengartikan fenomena gerhana bulan dengan kemunculan raksasa kolor ijo?

Untuk mendapatkan jawaban dan memenuhi rasa keingintahuan, mengkorelasikan fenomena gerhana bulan dengan kemunculan raksasa kolor hijau diyakini kebenaran di fase tersebut. Hingga pada akhirnya ilmuwan menemukan jawaban rasional bahwa gerhana bulan terjadi jika bulan tertutup oleh bayangan bumi. Sehingga cahaya tersebut tidak sampai ke bulan dan terjadilah gerhana bulan, tidak ada kaitannya dengan raksasa kolor hijau.

Saat penemuan ilmiah tentang gerhana bulan dibuktikan secara sains, maka keyakinan akan kolor hijau tidak lagi diyakini sebagai sebuah kebenaran. Namun dimasukkan dalam salah satu fase menuju kebenaran ilmiah. Karena fenomena gerhana bulan secara sains, muncul dari mitologi kolor hijau tersebut. Yang menjadi tidak masuk akal adalah jika manusia masih mempercayai kolor hijau dibanding dengan penemuan ilmiah yang rasional secara sains.

Memaknai Tafsir at-Thabari dalam Konteks Masa Kini

Lantas bagaimana umat masa kini memaknai tafsir at-Thabari khususnya untuk isu perempuan?

Pertanyaan ini akan dijawab menggunakan teori living Qur’an (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2012) yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan sekedar kitab, tetapi sebuah “kitab yang hidup” yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari yang terasa dan nyata serta beraneka ragam, tergantung pada kehidupannya.

Kehidupan terus berjalan, secara ilmiah teori tentang fitrah biologis perempuan sudah banyak diungkapkan dari segi medis. Agar al-Quran tetap relevan dan bisa dijadikan pegangan umat manusia sepanjang masa, maka penafsirannya pun harus relevan dengan keadaan masyarakat dan kondisi masa kini.

Berdasarkan catatan Nasr Hamid Abu Zaid memang mengkategorikan tafsir at-Thabari sebagai tafsir mitologi (usturiyyah), tetapi hal tersebut sama sekali tidak mengurangi arti penting karya Imam at-Thabari dan juga sejarahnya.

Seyogyanya kita menggunakan tafsir at-Tabari sebagai pembuka untuk menemukan kajian-kajian ilmiah atas mitologi yang disampaikan dalam tafsirnya, untuk menemukan fakta ilmiah baru yang dilandasi dengan semangat keadilan dan kemanusiaan sebagai hamba Allah SWT. []

Tags: AdamHawaImam ThabariMerebut TafsirperempuanTafsir Adil Gender
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Rumah Perempuan

Tanpa Mubadalah, Perempuan selalu Disalahkan, Meski di dalam Rumah

25 September 2023
Perempuan Memimpin

Memaknai Hadis Dasar Larangan Perempuan Memimpin

25 September 2023
Politisasi Isu Gender

Pemilu 2024 dan Bahaya Politisasi Isu Gender

25 September 2023
Kelemahan Perempuan

Membongkar Mitos Kelemahan Perempuan

24 September 2023
Maulid Nabi

Fatih, Selawat, dan Maulid Nabi

24 September 2023
Perempuan Pimpin

Para Ulama Memberikan Apresiasi pada Kepemimpinan Perempuan

23 September 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Politisasi Isu Gender

    Pemilu 2024 dan Bahaya Politisasi Isu Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tradisi Batu Wangi dalam Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah Perempuan Haid itu Kotor dan Najis?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ngaji Al-Sittīn Al-‘Adliyah (4): Antara Idealitas dan Realitas Berinteraksi Sama Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Hadis Dasar Larangan Perempuan Memimpin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tanpa Mubadalah, Perempuan selalu Disalahkan, Meski di dalam Rumah
  • Ngaji Al-Sittīn Al-‘Adliyah (4): Antara Idealitas dan Realitas Berinteraksi Sama Istri
  • Memaknai Hadis Dasar Larangan Perempuan Memimpin
  • Pemilu 2024 dan Bahaya Politisasi Isu Gender
  • Benarkah Perempuan Haid itu Kotor dan Najis?

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist