Mubadalah.id – Perbincangan mengenai childfree alias keputusan untuk tidak memiliki anak meskipun memiliki pasangan yang sah (menikah) di kalangan warganet masih berujung pada perdebatan salah-benar. Ini dipicu oleh ketidaksiapan masyarakat kita terhadap perbedaan pilihan hidup masing-masing individu serta standar hidup yang ingin dicapai.
Sebagai seorang individu yang memiliki hak asasi dan hidup di negara yang berlandaskan hukum, pilihan untuk tidak memiliki anak yang diputuskan oleh pasangan menikah adalah pilihan yang sah. Keputusan ini tentu saja dapat dipertanggungjawabkan dan didasarkan pada pilihan yang dianggap maslahat oleh yang bersangkutan. Lantas kenapa keputusan pasangan menikah untuk childfree ini kemudian menjadi perdebatan yang berujung pada keadaan saling menghujat? Mari kita mencoba menguraikan salah satu penyebab munculnya keinginan untuk childfree seperti relasi orang tua-anak.
Meskipun keputusan untuk childfree ini sangat kasuistik, setidaknya hubungan orang tua-anak di masa lalu yang kurang harmonis bisa menjadi pemicu bagi seseorang atau dua orang yang berpasangan secara sah untuk tidak memiliki anak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa hubungan orang tua-anak tidak selamanya berjalan mulus.
Dalam hal ini ajaran Islam sendiri memberikan rambu-rambu bagaimana seharusnya seorang anak bersikap kepada kedua orang tuanya dan beberapa kewajiban berbakti yang melekat pada anak. Di samping itu, Islam juga memberikan sederet kewajiban bagi orang tua terhadap anaknya untuk membentuk seorang anak yang berbakti dan bermanfaat untuk sesamanya.
Pekerjaan membesarkan seorang anak bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia tidak hanya berhubungan dengan perkembangan anak secara fisik semata, tetapi juga mentalnya. Maka tidak mengherankan jika banyak orang tua -atau orang yang terlanjur menjadi orang tua- yang tidak memiliki kesiapan mental dalam membesarkan anak sehingga tidak bisa bersikap dewasa dan bijaksana sebagai orang tua. Alih-alih memberikan contoh yang baik, tidak sedikit orang tua yang justru memberikan trauma mendalam kepada anaknya. Belakangan, tipikal orang tua yang demikian sering disebut sebagai toxic parents.
Orang tua tidak serta merta menjadi toxic hanya karena mereka berbeda pandangan dengan anaknya. Ada kriteria tertentu seperti manipulatif, memaksakan kehendak, abusive, bahkan tidak sedikit orang tua yang membully anaknya sendiri. Ciri-ciri yang demikian ini menjadikan orang tua bisa dilabeli sebagai toxic parent.
Sejalur dengan label toxic parent ini, yang lebih mengerikan adalah label anak durhaka yang diberikan oleh orang tua karena anaknya tidak mau “menurut” apa kata orang tua. Padahal, anak juga tidak serta merta mendapatkan predikat sebagai anak durhaka hanya karena berbeda pendapat dengan orang tuanya. Namun, perbedaan pendapat antara anak dan orang tua ini sering kali memberikan label “durhaka” pada anak karena tidak “nurut” dengan orang tuanya.
Relasi orang tua dan anak yang seringkali miss komunikasi ini, yang kemudian sedikit banyak menyumbang keinginan oleh para pasangan menikah untuk memutuskan childfree, daripada mengulang kembali tragedi di masa lalu yang mereka sendiri belum tentu siap menjadi orang tua yang tidak beracun jika mereka memiliki anak nanti.
Contoh lainnya misalnya kenangan masa kecil seperti kondisi ekonomi orang tua yang serba pas-pasan bahkan miskin dan memiliki anak banyak tentu akan sangat sulit dijalani. Butuh perjuangan yang sangat keras untuk sekedar tidak mati. Keadaan demikian bisa juga menjadi alasan pasangan menikah untuk tidak memiliki anak apalagi jika yang bersangkutan memang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang memadai. Jika mereka memiliki anak nantinya, mereka takut tidak bisa memberikan kehidupan yang layak kepada anaknya dan justru melahirkan seorang manusia yang harus merasakan kesusahannya di dunia ini.
Pilihan hidup untuk childfree ini pada dasarnya – secara pribadi menurut padangan penulis- bukanlah sebuah pilihan yang egois jika itu dipilih oleh orang yang memang secara mental tidak siap memiliki anak. Apalagi jika kondisi finansialnya tidak memadai. Lalu bagaimana jika dihadapkan pada konsep agama bahwa setiap orang akan membawa rejekinya masing-masing?
Hal yang demikian juga merupakan konsep yang tidak salah. Bahwa setiap orang memiliki rejeki adalah kebenaran yang tidak bisa dibantah. Namun, keputusan untuk childfree yang dilandasi dengan pengetahuan yang memadai dan bertanggung jawab serta tidak melakukan hal-hal buruk di kemudian hari karena tidak memiliki anak juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika yang bersangkutan takut berbuat dzalim kepada anaknya kelak.
Fenomena childfree ini tidak sedikit dipicu oleh relasi orang-tua anak di masa lalu. Secara umum, anak-anak memang tidak selalu sama dengan orang tuanya. Mereka dilahirkan dan sebagian besar di lingkungan dan era yang berbeda dengan orang tuanya. Nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat tentu berkembang seiring dengan berkembangnya masayarakat itu sendiri, termasuk value tentang memiliki anak.
Bagi orang yang mengambil keputusan childfree, tidak memiliki anak bukanlah suatu hal yang buruk dan menjadi sesuatu yang menghalanginya untuk terus berbuat baik dan berkarya. Bagaimanapun, pilihan hidup setiap orang wajib dihargai sepanjang itu dipilih secara bertanggung jawab dan tidak mendatangkan kemudharatan bagi orang lain dan lingkungan sekitar. []