Pengetahuan Al-Razi meliputi berbagai disiplin Ilmu pengetahuan humaniora dan sain: teologi, tafsir, hukum, bahasa, sastra, tasawuf, filsafat, kedokteran, fisika, astronomi,astrologi, matematika dan lain-lain. Penguasaannya atas berbagai cabang ilmu pengetahuan ini dia tulis dalam buku-bukunya. Penanya mengalir begitu subur.
Sami Nasyar menyebut karya intelektual al-Razi sebanyak 98. Orang lain menyebut sekitar 200. Dr. Toha Jabir Fayyad al-Alwani yang menulis tokoh ini berikut karya-karyanya: Al-Razi Wa Mushannafatuh”, menuturkan sekaligus merincinya sebanyak 229 buah. Sebagian karya-karyanya masih dalam bentuk Manuskript dan sebagian dihubungkan dengan namanya.
Beberapa karyanya yang sering disebut orang, adalah Tafsir Mafatih al-Ghaib, Al-Mathalib al-Aliyah, Asas al-Taqdis, Al-Mahshul fi Ilm al-Ushul, Muhasshal Afkar al-Mutaqaddimin wal al-Mutaakhirin, Al-Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, Lubab al-Isyarat (ringkasan kitab al-Isyarat wa al-Tanbihat, Syarh al-Isyarat wa al-Tanbihat, dan Syarh ‘Uyun al-Hikmah, ketiganya karya Ibnu Sina, Manaqib al-Syafi’i, dan lain-lain.
Di samping sebagai ilmuwan, Razi juga dikenal sebagai orator, ahli pidato (al-Khatib) dan ahli debat (jadal). Al-Razi selalu disebut ‘Al-Imam’ dalam tiga bidang ; Ushul Fiqh, Kalam (teologi) dan Fiqh. Di Herat, ia disebut “Syaikh al-Islam”. Hampir tak ada keilmuan yang tidak dikuasainya. Mungkin satu-satunya yang kurang dimiliki Razi adalah Hadits. Ini menjadi titik kritikal para ahli hadits. Al-Dzahabi, ahli hadits, memasukkan dia dalam kelompok perawi yang lemah (al-dhu’afa), karena hafalannya yang minim. Razi berpendapat bahwa informasi melalui orang (rawi) itu subyektif.
Ruang sosial al-Razi
Membaca kehidupan orang ini kita dapat menggambarkan bahwa seluruh hidupnya sekan-akan diabdikan untuk kerja-kerja intelektual dan aktifitas sosial; membaca, menulis, seminar, berdebat dan ceramah (berdakwah). Dia mengatakan bahwa dirinya pernah menyesal harus makan atau minum yang mengganggunya membaca, mengajar atau berdiskusi.
Al-Razi hidup dalam suasana peradaban Islam yang sedang rontok dan sekarat, kekacauan politik, perang antar kelompok serta penyerbuan pasukan dari Barat (tentara Salib) dan dari Timur (tentara Mongol) di wilayah Khilafah Islamiyah. Meski begitu, ruang sosial dan budaya di Ray sendiri memberinya kebebasan berpikir dan berekspresi.
Ray, tempat Razi dilahirkan dan dibesarkan pada pertengahan abad ke VI H, merupakan panggung di mana berbagai aliran pemikiran, sekte-sekte dan kelompok-kelompok intelektual dan politik, saling berebut pengaruh dalam pola yang sangat dinamis. Para penguasa Islam saling berlomba memberikan dukungan kepada para ilmuwan untuk mengembangkan diri dan mendirikan pusat-pusat ilmu pengetahuan. Seorang penulis yang menyaksikan dinamika kehidupan di Ray mengatakan :
”Al-Ray Ajma’ al-Bilad li al-Maqalat wa al-Ikhtilafat fi al-Madzahib ‘ala Tadhaddiha wa Katsratiha.. Wa anna al harakah al-fikriyyah wa al-tsaqafiyyah fi ‘ashr al-Fakhr kanat Qawiyyah wa Nasyithah wa anna al-Hayah al-Ilmiyyah kanat ‘ala Janib Kabir min al-Izdihar).
الرى اجمع البلاد للمقالات والاختلافات فى المذاهب على تضادها وكثرتها . وان الحركة الفكرية والثقافية فى عصر الفخر كانت قوية ونشيطة وان الحياة العلمية كانت على جانب كبير من الاظهار
“Ray adalah pusat aktifitas ilmiyah, diskusi-diskusi, perdebatan-perdebatan antar aliran pemikiran yang banyak. Aktiifitas pemikiran dan kebudayaan pada masa al-Razi begitu massif dan dinamika intelektual memeroleh perhatian besar.”
Di hadapan kecaman, kritik tajam dan serangan dari para ahli hadits dan kaum konservatif-radikalis, sebagaimana sudah maklum, al-Razi tetap maju tanpa gentar dan tetap santun. Dikatakan orang :
مهما قال حا سدوه عن خلقه فإن مما لا شك فيه انه على جانب كبير من الشجاعة والشهامة والحلم والعفاف والعطف على أهل العلم
“Meskipun para pencemburu Razi merendahkannya, tetapi dia tak dapat diragukan lagi, adalah pemberani tetapi tetap santun dan bersikap ramah kepada ulama.”
Al-Razi juga salah seorang pemikir pluralis dan sangat toleran. Dia setuju mendefinisikan muslim (orang Islam) secara minimalis: “Ahl al-Qiblah. Sepanjang seseorang memercayai Kabah sebagai kiblat shalat dan tidak mendustakan Nabi, dia wajib dianggap sebagai muslim, meskipun melakukan dosa. Dengan demikian maka dia tidak boleh dikafirkan. Ahmad Amin dalam bukunya Zhuhr al-Islam mengatakan ;
لا يكفرون احدا من اهل القبلة, يؤيدون مذاهبهم ولا يعذرون مخالفيهم كالغزالى والفخر الرازى
“Mereka tidak mengkafirkan siapapun Ahli Qiblat. Mereka memperjuangkan mazhabnya sendiri dan memaafkan lawan-lawannya, seperti al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi.”
Pandangan ini sejalan atau kebih tepatnya mengikuti pandangan Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari, imam Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam kitabya yang terkenal “Al-Ibanah fi Ushul al-Diyanah” disebutkan :
وقال أبو الحسن الأشعري- رحمه الله تعالى- في الابانة: وندين بأن لا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب يرتكبه (ما لم يستحله)
“Keyakinan kami adalah kami tidak mengkafirkan siapapun orang yang shalat menghadap kiblat (Meng-Esakan Allah) karena dosa yang dilakukannya, selama dia tidak menghalalkannya.”
Dia dikenal sebagai “mudafi’ (pembela) mazhab Ahli Sunnah wa al-Jama’ah”, sebagaimana Imam Abu Ishaq al-Isfirayini, Al-Baqillani, Imam Haramain, Imam al-Ghazali, dan lain-lain. Dia juga acap membela kelompok-kelompok minoritas, yang karena pembelaannya ini dia dituduh sebagai penyebar pikiran-pikiran asing dan penjajah. []