Mubadalah.id – Kenapa perempuan yang selalu salah? Teringat betul zaman kuliah di Unpad Jatinangor dulu. Ketika bulan puasa banyak tertempel pamflet di seantero kampus bertuliskan kurang lebih begini, ‘mohon kepada para perempuan untuk berpakaian panjang dan menutup dada. Karena kami ingin bisa berpuasa dengan khusyuk.’
Lah, situ yang tidak bisa khusyuk berpuasa kok sini yang salah. Yakin kalau kami semua para perempuan tertutup cadar pun kalian akan bisa berpuasa dengan khusyuk kalau berangkatnya bukan dari niat dan komitmen.
Dengan isengnya dulu aku sempat berpikir bagaimana kalau aku juga membuat pamflet, ‘mohon kepada para laki-laki untuk tidak ganteng dan bermain sepakbola pakai celana pendek, karena saya juga ingin berpuasa dengan khusyuk’.
Dijamin aku akan ditimpuki dan dianggap cewek gatal yang kegenitan.
Baca juga: Puasa dan Rukhshah bagi Perempuan
Lima belas tahun kemudian alias hari ini. Hal-hal seperti itu masih banyak terjadi. Ketika ada kasus perselingkuhan, perempuannya disebut pelakor alias perebut laki orang (dia yang aktif menggoda dan merebut) sementara laki-lakinya innocent tidak bersalah, lha wong dia hanya direbut.
Hih, ini laki-laki apa barang ya, kok bisa direbut, memangnya tidak punya inisiatif dan keputusan sendiri. Lebih menyedihkannya lagi pada kasus-kasus pelecehan seksual dan perkosaan pun tetap perempuannya yang salah karena berpakaian minim.
Karena pulang malam, karena ada di tempat yang salah, bahkan karena tidak berhasil melawan atau kabur.
Ya ampun bisa begitu ya, kenapa tidak sekalian salahkan korban perampokan karena dia punya rumah dan harta yang bisa dirampok dan punya pintu yang bisa dibobol.
Yakin masih mau bilang: “namanya juga laki-laki, dikasih ikan asin ya pasti mau.” Aku saja sebagai perempuan yang punya suami, ayah, kakak, dan teman laki-laki tidak terima kalau laki-laki disamakan dengan kucing begitu.
Dropi, kucing jantanku saja tidak begitu-begitu amat, tidak semua ikan asin yang di depannya langsung dia embat tuh.
Padahal tidak hanya perempuan saja yang bisa memesona atau menggoda laki-laki. Laki-laki tentu saja juga bisa memesona dan menggoda perempuan. Kan kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang dikarunia hasrat seksual.
Namun yang seringkali terjadi adalah kalau perempuan dianggap memesona atau menggoda laki-laki itu adalah perempuannya yang salah.
Maka dari itu dia harus melakukan segala cara agar laki-lakinya tidak terpesona dan tergoda untuk melakukan hal-hal yang negatif. Misalnya dengan tidak keluar rumah, tidak bergaul dengan laki-laki, tidak memasang foto di media sosial, dan seterusnya.
Tapi kalau sebaliknya, laki-laki yang memesona atau menggoda perempuan, maka perempuannya jugalah yang salah karena kegatelan, kegenitan, jablay, agresif, dan setumpuk label negatif lainnya. Kok bisa begitu ya.
Jadi, masa iya hanya karena ada potensi bisa memesona atau menggoda lawan jenisnya maka perempuan jadi tidak boleh keluar, beraktivitas, dan berekspresi di ruang publik. Kalau memang begitu laki-laki juga dong, kan mereka juga memiliki potensi yang sama.
Contohnya saja fenomena Jojo, sang pebulutangkis keren dan ganteng itu yang membuat para netizen perempuan terpesona berjamaah. Kalau begitu nanti tidak ada seorangpun baik perempuan maupun laki-laki yang melakukan sesuatu di ruang publik.
Terus siapa dong yang akan membangun peradaban manusia kalau tidak ada interaksi antar-manusia hanya demi supaya tidak saling tergoda. Plus Jojo jadi tidak boleh main bulutangkis lagi dong.
Selain dikaruniai hasrat seksual, Alhamdulillah manusia juga dikaruniai Tuhan dengan akal budi. Nah itulah kata kuncinya. Itu yang membedakan kita dengan kucing tadi. Sebenarnya yang jadi masalah kan bukan terpesonanya atau tergodanya ya. Melainkan ekspresi atau implementasinya yang bisa ke hal-hal positif maupun hal-hal negatif.
Dan baik perempuan maupun laki-laki bisa memilih dan mengendalikan mau mengekspresikan rasa tergoda/terpesonanya itu dengan hal-hal yang positif. Seperti menambah semangat atau terinspirasi untuk berkarya.
Atau dengan hal-hal yang negatif seperti melakukan pelecehan seksual atau mempermalukan diri di media sosial dengan kata-kata yang seksis. Percayalah ekspresi/implementasi itu bisa dipilih dan dikendalikan kok. Karena hasrat itu letaknya di kepala bukan di ujung kelamin.
Lagian kita kan bukan kucing yang asal main tubruk atau mempermalukan diri dengan mengguling-guling di tengah jalan ketika sedang terpesona dengan lawan jenisnya. Malu dong sama yang sudah mengaruniai kita akal budi.
Jadi kata kuncinya adalah akal budi yang digunakan untuk pengendalian diri. Sekali lagi pengendalian diri. Bukan menyalahkan dan memaksa orang yang membuat kita terpesona atau tergoda untuk tidak boleh mengekspresikan dirinya.
Semua orang berhak mengekpresikan dirinya (tentunya dengan batasan-batasan norma setempat). Sekaligus semua orang punya tanggung jawab untuk bisa mengendalikan dirinya dari godaan-godaan yang berujung pada perilaku negatif, baik perempuan maupun laki-laki.[]