• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Kitab Sittin ‘Adliyah dalam Pandangan Ulama Perempuan

Di penghujung kajian, baik Nyai Afwah maupun Nyai Muna memiliki harapan yang sama, yakni sosialisasi dan pengkajian Kitab Sittin ‘Adliyah agar lebih masif dilakukan, tidak hanya untuk santri perempuan namun juga untuk santri laki-laki.

Sulma Samkhaty Maghfiroh Sulma Samkhaty Maghfiroh
30/06/2021
in Pernak-pernik
0
Kitab Sittin 'Adliyah

Kitab Sittin 'Adliyah

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ngaji kebangsaan KUPI kali ini tentang dakwah keislaman yang adil, dengan sub tema pengalaman ulama perempuan mengisi pengajian Kitab Sittin ‘Adliyah. Ulama perempuan yang didaulat sebagai narasumber ngaji kebangsaan kali ini adalah Nyai Hj. Afwah Mumtazah, pengasuh Pondok Pesantren Kempek, Cirebon dan Nyai Dzurwatun Muna, pengajar di Pondok Pesantren Al-Ishlah, Mangkang, Semarang.

Beliau berdua telah berpengalaman mengajarkan Kitab Sittin ‘Adliyah kepada santri-santrinya. Baik Nyai Afwah, maupun Nyai Muna, sebelum mengkaji kitab Sittin ‘Adliyah, keduanya telah banyak mengkaji kitab hadits sejenisnya, sehingga keduanya mampu mengkomparasikan kitab ini dengan berbagai kitab lainnya.

Nyai Afwah telah mempelajari kitab klasik seperti Qurrotul ‘uyun, ‘Uqudu-l-lujjayn, Masailu-n-nisa, dan Mar-ah shalihah, di mana menurutnya semua buku ini memiliki hujjah hadits yang bersifat misoginis, mengandung stereotype, diskriminasi dan domestikasi, meskipun beberapa hadits yang dikutip sama dengan hadits dalam Kitab Sittin ‘Adliyah, namun tidak dibahas secara tajam.

Berbeda dengan Kitab Sittin ‘Adliyah karya Kyai Faqihuddin Abdul Kodir, di mana hadits yang dikutip berisi kebebasan perempuan, keadilan gender, dan kesetaraan. Setali tiga uang dengan Nyai Muna yang juga mengkomparasikan Kitab Sittin ‘Adliyah dengan Kitab Arba’in Nawawiyah dan Mukhtarul Ahadits.

Nilai-nilai substansi Kitab Sittin ‘Adliyah menurut Nyai Afwah adalah penghormatan terhadap kemanusiaan perempuan, menampilkan hadits keterlibatan perempuan secara aktif di ruang publik, mendorong prinsip resiprokal dalam perkawinan, mu’asyarah bil ma’ruf, dan kesadaran akan hak-hak perempuan yang adil gender.

Sedangkan menurut Nyai Muna, Kitab Sittin ‘Adliyah mengajak para pembacanya untuk melihat sejarah panjang perempuan melalui hadits Nabi SAW, mengetuk kesadaran pembacanya untuk mengakui bahwa perempuan adalah makhluk yang utuh, meyakini bahwa perempuan dan laki-laki merupakan tokoh sentral dalam kehidupan, dan menampilkan citra perempuan dahulu dan kini, pada masa jahiliyyah dan masa Islam.

Baca Juga:

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Pesan Nyai Alissa Wahid di Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Metode yang digunakan oleh Nyai Afwah dalam mengajarkan Kitab Sittin ‘Adliyah kepada santrinya ada empat, yakni menggunakan studi kontekstualisasi kasus, konsep ketauhidan dengan kembali pada tujuan penciptaan manusia, maqasid syari’ah, dan prinsip Ibnu Qayyim Al Jauziyah yakni taghayyuru-l-ahkam bi taghayyuri-l-azman wa-l-amkan (perubahan hukum seiring dengan perubahan zaman dan tempat).

Sedangkan Nyai Muna, menerapkan metode yang lebih sederhana untuk para santri-santrinya, mengingat usia santri Nyai Muna tidak sesenior santri Nyai Afwah. Nyai Muna memulai dengan menyampaikan hadits per hadits, kemudian para santri memberi makna pada hadits itu, selanjutnya para santri mendengarkan keterangan dari Nyai Muna dan diakhiri dengan cerita terkait hadits itu sebagai bentuk elaborasi.

Berbicara tentang pengalaman dalam mengajarkan Kitab Sittin ‘Adliyah kepada santri, Nyai Afwah mengaku sangat percaya diri, karena menurutnya kitab ini sesuai dengan nurani kemanusiaan. Sedangkan Nyai Muna membuat sebuah ekspektasi yang menurutnya biasa saja saat mengajarkan kitab ini kepada santrinya.

Nyai Muna awalnya hanya ingin para santri-santrinya mengetahui jati diri mereka sebagai perempuan melalui kajian ini. Mengetahui peran-peran perempuan, bagaimana Nabi SAW menganggap perempuan, memberikan teladan kepada para sahabat dalam memperlakukan perempuan dan mengenal perempuan-perempuan di sekitar Nabi SAW, seperti Aisyah dan Ummu Salamah, yang berperan sebagai istri Nabi SAW sekaligus seorang intelektual.

Dalam mengajarkan Kitab Sittin ‘Adliyah, berbagai respon datang dari para santri yang mengkajinya. Santri Nyai Afwah, yang notebene-nya lebih senior dari pada santri Nyai Muna, mengaku kaget dengan adanya kitab ini, senang dan sangat antusias, bahkan sedikit tidak percaya akan kitab ini, sehingga banyak pertanyaan kritis yang muncul di sana. Bahkan tidak sedikit yang merasa marah dan kecewa karena selama ini tidak mengetahui keberadaan hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab Sittin ‘Adliyah.

Sementara respon santri dari Nyai Muna, yang masih merupakan anak Tsanawiyyah dan ‘Aliyah juga tak kalah antusias. Karena kajiannya sesuai dengan yang diinginkan perempuan yakni substansi hadits yang adil gender. Bahkan para santri menjadi makin semangat ngaji ketika mengetahui hadits yang dikajinya membela mereka, sehingga para santri belia ini mampu menyimpulkan bahwa dalam Islam, perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Pernyataan mereka sontak membuat ekspektasi Nyai Muna terlampaui jauh.

Di penghujung kajian, baik Nyai Afwah maupun Nyai Muna memiliki harapan yang sama, yakni sosialisasi dan pengkajian Kitab Sittin ‘Adliyah agar lebih masif dilakukan, tidak hanya untuk santri perempuan namun juga untuk santri laki-laki. Harapan para Nyai ini, juga aku amini dalam hati, karena aku juga mempunyai harapan yang sama besarnya dengan beliau berdua, agar kajian hadits yang adil gender seperti pada Kitab Sittin ‘Adliyah, dapat digaungkan di banyak tempat, khususnya di pesantren-pesantren, sebagai bentuk komparasi intelektual dari kajian kitab klasik yang sudah ada selama ini. []

Tags: Jaringan KUPIKajian Kitab KuningKitab Sittin 'AdliyahKongres Ulama Perempuan IndonesiaLiterasi PesantrenNgaji Kebangsaanulama perempuan
Sulma Samkhaty Maghfiroh

Sulma Samkhaty Maghfiroh

Penulis Merupakan Anggota Komunitas Puan Menulis, dan berasal dari Ungaran Jawa Tengah

Terkait Posts

Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID