Mubadalah.id – Kreativitas merupakan hak semua orang, termasuk disabilitas. Setiap individu memiliki potensi untuk berkreasi dan mengekspresikan diri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Kreativitas dapat terwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya yaitu seni.
Berbicara mengenai seni, banyak sekali bentuk ekspresi seseorang di dalamnya. Mulai dari mendedahkan ide kreativitas dalam bentuk lukisan, kerajinan tangan, musik, dan lainnya.
Begitupun dengan penyandang disabilitas, juga menempati posisi yang sama dalam mengekspresikan diri di bidang seni. Tidak ada batasan bagi semua orang termasuk difabel untuk membuat karya seni.
Hasil dari karya seni yang telah ada, tak jarang banyak pengapresiasian. Salah satunya yaitu dengan adanya pameran. Salah satu pameran seni yang saya datangi di tahun 2025 ini yaitu Suluh Sumurup Art Fest (SSAF), yang bertemakan “jejer”. Pameran ini berada di Yogyakarta, tepatnya di Taman Budaya Yogyakarta.
“Jejer” di dalam kehidupan berarti berdiri tegak, menatap dunia dengan keberanian, dan menjadi diri sendiri tanpa bayang-bayang siapa pun.
Pameran tersebut hadir karena penyandang disabilitas kerap kali tidak berada pada posisi sebagai subjek. Penyandang disabilitas sering kali menjadi objek belas kasihan.
Padahal, penyandang disabilitas merupakan subjek yang mempunyai kapasitas untuk mengekspresikan kreativitasnya. Bahkan, banyak juga penyandang disabilitas yang menginisisasi perubahan.
Festival seni rupa difabel ini hadir sebagai ruang perayaan kesetaraan. Yang mana disabilitas berdiri sebagai subjek utama yang mandiri dalam ekspresi seni dan kehidupan.
Kreativitas dari Penyandang Disabilitas
Banyak sekali hasil karya seni dari penyandang disabilitas yang ada dalam SSAF ini. gambar ataupun lukisan berjejer dengan indahnya di dinding-dinding. Mulai dari lukisan yang bertemakan tentang pewayangan, suasana alam, persahabatan, dan lainnya.
Para pembuat karya menggunakan berbagai bahan dan media yang berbeda. Ada yang memakai canvas, kertas, kain, benang, dan lainnya.
Salah satu lukisan yang terpampang dengan indahnya di dinding pameran yaitu lukisan yang bertemakan berkunjung ke perpustakaan. Lukisan tersebut menggambarkan anak kecil yang memakai kursi roda dengan senangnya di dalam perpusatakaan bersama dengan temannya yang membawa buku. Dari lukisan ini, bisa menggambarkan juga bahwa tidak ada batasan seseorang dalam mencari ilmu.
Terdapat juga lukisan yang dibuat oleh anak down syndrome. Lukisan dari anak tersebut tidak hanya satu, tetapi beberapa lukisan dengan tema yang berbeda-beda. Salah satu tema yang ia buat yaitu “teman cerita”, yang menghasilkan warna serta lukisan yang ceria.
Selain lukisan, terdapat pula hasil karya rajutan dari penyandang disabilitas. Rajutan yang begitu rapi yang memikat hati. Rajutan yang membentuk ikan, bunga, dan lainnya.
Selain itu terdapat pula UMKM inklusi, yang mana produknya handmade dari para difabel juga. Terdapat berbagai macam produk hasil usaha dari para penyandang disabilitas. Antara lain terdapat aksesoris seperti gantungan dari rajutan, baju eco printing, wayang dari serabut, aneka makanan atau snak kering, dan lainnya.
Kemudian terdapat pula penampilan musik. Salah satunya terdapat penyanyi dan pemain gitar yang penyandang Netra. Suara nyanyian dan petikan gitar dari penyandang Netra tersebut sangatlah indah, menemani para pengunjung pameran.
Pada saat saya berkunjung, terdapat Artist Talk yang menghadirkan pembicara yang luar biasa. Kegiatan tersebut menjelaskan bahwa penyandang disabilitas harusnya kita jadikan sebagai subjek. Yang mana penyandang disabilitas memiliki ruang untuk mengembangkan bakatnya terlebih dalam seni rupa.
Penyandang Disabilitas Berhak Berkarya
Karya-karya yang telah dihasilkan oleh para penyandang disabilitas menunjukkan bahwa mereka juga memiliki potensi dan kreativitas dalam seni. Tak sedikit juga karya mereka menjuarai atau mendapatkan berbagai macam penghargaan.
Seni menjadi ruang ekspresi yang merdeka, tempat imajinasi bertumbuh serta suara-suara minoritas dan kelompok rentan bergema. Penyandang disabilitas semakin menegaskan keberadaannya, bukan sebagai objek belas kasih, melainkan sebagai subjek kreatif yang berdaya.
Kemampuan fisik tidak semata menentukan kreativitas manusia. Bagi banyak seniman difabel, keterbatasan justru melahirkan bentuk-bentuk estetika baru yang menggugah dan orisinal.
Tetapi pada kenyataannya, tak jarang juga penyandang disabilitas yang sebenarnya memiliki potensi, tapi belum mendapatkan porsinya. Tak jarang juga Masyarakat yang meragukan bakat yang penyandang disabilitas miliki.
Pengakuan terhadap karya seni dari penyandang disabilitas masih kerap tersandung oleh stigma dan eksklusi sosial. Kurangnya akses terhadap pendidikan seni yang inklusif serta minimnya panggung representasi, membuat karya-karya mereka sering terpinggirkan. Hal ini menjadikan tantangan juga, bagaimana membangun ekosistem seni yang adil dan setara bagi semua.
Sehingga, setiap individu, dengan segala keragaman kondisi fisik dan mentalnya, berhak mendapatkan tempat yang setara dalam masyarakat, termasuk di dunia seni. Seni bukan milik mereka yang “sempurna” secara fisik, melainkan milik siapa saja yang ingin berkarya dan berekspresi.
Prinsip keadilan hakiki tidak sekadar berarti memberikan ruang, tapi juga menghilangkan hambatan. Hal ini juga bisa mencakup kebijakan yang inklusif serta perubahan paradigma dari belas kasih ke kesetaraan.
Mengangkat karya seni dari penyandang disabilitas bukanlah tindakan belas kasihan, melainkan bentuk pengakuan terhadap keberagaman potensi manusia. Kreativitas tidak mengenal batas, sebagaimana keadilan hakiki seharusnya tidak mengenal diskriminasi. []