Mubadalah.id – Dalam sejarah pemikiran keislaman, relasi antara laki-laki dan perempuan kerap dibentuk berdasarkan asumsi bahwa perempuan adalah “fitnah” sumber godaan, kekacauan, dan bencana sosial.
Asumsi inilah yang kemudian menjadi dasar berkembangnya berbagai aturan fikih yang cenderung mengekang perempuan, baik dalam ranah domestik maupun publik. Padahal, konsep fitnah dalam tradisi Islam sendiri bersifat kontekstual, bukan kodrati.
Fikih yang lahir dari ketakutan terhadap fitnah perempuan adalah produk dari situasi sosial-politik yang penuh gejolak, ketidakpastian, dan dominasi kekuasaan.
Dalam kondisi seperti ini, kelompok paling rentan dalam hal ini perempuan. Karena ia sering kali terbebani dengan berbagai aturan dengan dalih perlindungan. Maka tak heran jika aturan-aturan tersebut justru menjadi bentuk kontrol sosial yang tidak adil terhadap perempuan, dan dalam praktiknya memperkuat dominasi laki-laki.
Seperti dalam pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, fikih semacam ini tak lebih dari pengukuhan cara pandang yang memosisikan tubuh dan keberadaan perempuan sebagai masalah.
Lebih jauh, fikih fitnah telah membentuk kesadaran kolektif yang melihat perempuan secara reduktif. Segala gerak perempuan mengandung potensi menggoda.
Ruang publik menjadi tempat yang harus “diamankan” dari kehadiran perempuan, bukan karena kesalahan mereka. Melainkan karena pandangan yang penuh dengan prasangka dan nafsu yang tak terkendali dari pihak laki-laki.
Fikih Amanah
Kini, saatnya masyarakat muslim beranjak dari fikih berbasis kecurigaan menuju fikih yang menjunjung tinggi kepercayaan dan tanggung jawab moral. Inilah yang kita sebut dengan fikih amanah sebuah kerangka hukum Islam dengan fondasi di atas prinsip tanggung jawab bersama, saling menghargai, dan keadilan sosial.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dalam I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin menegaskan bahwa syariat Islam sejatinya adalah bentuk kasih sayang dan keadilan Tuhan. Bila suatu fatwa atau interpretasi hukum keluar dari nilai-nilai keadilan, maslahat, dan kebijaksanaan menuju kezaliman. Maka ia tidak bisa kita sebut sebagai bagian dari syariat, meskipun bersandar pada teks.
Penting pula untuk menelaah kembali bagaimana kata “fitnah” digunakan dalam Al-Qur’an. Berbeda dengan hadis-hadis populer yang menyudutkan perempuan sebagai fitnah bagi laki-laki. Al-Qur’an justru menunjukkan bahwa fitnah adalah bagian dari relasi timbal balik dan ujian kehidupan yang dialami oleh semua pihak.
Dalam QS. Al-Anbiya: 35 menyebutkan bahwa “Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah.” Bahkan Rasul sendiri menyebutkan sebagai fitnah bagi kaumnya (QS. Ad-Dukhan: 49), dan sebaliknya, kaumnya pun menjadi fitnah bagi Rasul (QS. Al-Maidah: 49). Orang-orang kafir juga sebagai fitnah bagi orang mukmin (QS. Al-Buruj: 10).
Melalui pemahaman ini, sudah seharusnya umat Islam hari ini memaknai relasi laki-laki dan perempuan untuk saling percaya dan menghormati. Sudah saatnya fikih yang membebaskan dan memanusiakan semua pihak baik laki-laki maupun perempuan menjadi pijakan utama dalam menegakkan keadilan sosial dalam kehidupan beragama. []