Mubadalah.id – Belum lama ini, media nasional dan daerah banyak dihebohkan dengan pemberitaan mengenai tingginya angka dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Ponorogo. Karena kebetulan saya penduduk asli Ponorogo, banyak kolega di luar kota yang menanyakan kebenaran dari pemberitaan tersebut. Meskipun fakta tersebut pahit, namun realitas yang terjadi memang demikian adanya.
Dari tahun ke tahun, angka pemohon dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Ponorogo memang mengalami tren kenaikan. Angka pemohon tertinggi dalam tiga tahun terakhir ini, sebenarnya ada di tahun 2022 yaitu sebanyak 266 perkara.
Adapun di tahun 2023, mengalami penurunan sebanyak 30% yaitu sekitar 184 perkara. Mengawali tahun 2023, tercatat ada 7 pemohon dispensasi perkawinan yang saat ini sedang persiapan sidang dan dalam proses sidang. Lantas apa faktor utama yang menyebabkan tingginya permohonan dispensasi perkawinan di Kabupaten Ponorogo?
Keadaan Topografi dan Keterbatasan Akses
Berdasarkan data yang saya peroleh dari website resmi Pengadilan Agama Ponorogo, dari 184 pemohon dispensasi perkawinan, 70% diantaranya sudah dalam keadaan hamil. Sedangkan sisanya, mengajukan dispensasi perkawinan dengan alasan mendesak lainnya. Fakta lain yang luput dari sorotan media adalah keadaan topografis para pemohon dispensasi perkawinan.
Mayoritas mereka berasal dari wilayah pinggiran kota Ponorogo yaitu Kecamatan Ngrayun, Pudak, dan Slahung. Ketiga kecamatan tersebut berada di wilayah pegunungan dan memiliki akses infrastruktur yang membatasi mobilitas masyarakat.
Kondisi topografis yang sedemikian rupa, berdampak pada rendahnya perputaran perekonomian. Hal ini pula yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah di berbagai wilayah pegunungan di Ponorogo. Mereka memiliki potensi alam yang melimpah di sector perkebunan dan pertanian, namun memiliki nilai distribusi yang rendah. Mereka juga memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena jarak tempuh yang cukup menyita waktu.
Kemiskinan sebagai Faktor Tingginya Permohonan Dispensasi Perkawinan
Selain angka dispensasi perkawinan, angka kemiskinan di Kabupaten Ponorogo juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Garis kemiskinan di tahun 2021 berada di angka Rp.341.090,00 ribu per kapita per bulan. Sedangkan jumlah penduduk miskin sebanyak 89,94 ribu jiwa dengan persentase sebanyak 10,26% dari total 969.456 penduduk.
Naasnya, berbagai pemberitaan mengenai tingginya angka dispensasi perkawinan di Ponorogo tidak sampai pada analisis faktor kemiskinan sebagai penyebab utama. Narasi yang berkembang saat ini berkutat pada pergaulan beresiko, minimnya pengawasan orang tua, kelonggaran pemberian dispensasi perkawinan dari Pengadilan Agama Ponorogo. Padahal, tingginya dispensasi perkawinan adalah dampak yang perlu kita cari faktor penyebab utamanya.
Berdasarkan data Kemenko PMK, factor kemiskinan dan angka putus sekolah menjadi alasan utama terjadinya perkawinan anak. Sedangkan penelitian dari Tin Herawati dari Fakultas Ekologi Manusia menyebutkan bahwa tekanan ekonomi menjadi faktor pendukung terjadinya perkawinan anak.
Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah pegunungan di Ponorogo. Akses ke sekolah sulit, biaya operasionalisasi pendidikan tinggi, pendapatan yang rendah, dan anggapan kuat bahwa menikah adalah solusi dari semua permasalahan masih kita yakini. Mayoritas orang tua terobsesi untuk memperbaiki perekonomian keluarga dengan cara mengawinkan anak perempuannya. Selain itu, dengan mengawinkan anak mereka yakini mampu mengurangi beban ekonomi keluarga. Meskipun pada faktanya, pernikahan tersebut hanya akan mewariskan kesulitan dan problematika turunan bagi rumah tangga.
Fenomena Gunung Es
Tingginya angka dispensasi perkawinan di Ponorogo bukan satu satunya kasus. Bagaikan fenomena gunung es, apa yang terjadi di Ponorogo hanyalah yang “kebetulan” muncul dan diketahui publik secara luas. Namun faktanya, daerah lain juga mengalami hal yang sama. Di wilayah Kabupaten Temanggung misalnya, permohonan dispensasi perkawinan mencapai angka 488 pemohon di tahun 2021, dan 250 pemohon di tahun 2022.
Sedangkan berdasarkan data nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), 20 per 1000 penduduk di Indonesia menikah di usia dini. Baik diawali dengan pernikahan sirri dan baru mengesahkan perkawinan jika usianya sudah mencukupi. Maupun menikah di usia dini dengan mengajukan dispensasi perkawinan.
Kampanye yang masif sekalipun tentang pencegahan perkawinan anak, akan berakhir sia-sia jika angka kemiskinan di Indonesia tetap tinggi. Selain itu, putusan MK yang menaikkan ambang batas usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki sebenarnya langkah yang efektif untuk menekan angka perkawinan anak.
Namun sayangnya, tidak ada acuan yang menjadi rujukan oleh hakim dalam menghadapi permohonan dispensasi perkawinan, kecuali atas dasar pertimbangan agama. Sehingga meskipun aturan kita perketat, namun putusan tetap sama yaitu terkabulkan. Selain faktor kemiskinan, putusan MK tersebut justru semakin menambah angka permohonan dispensasi.
Permasalahan perkawinan anak dan dispensasi perkawinan adalah masalah bersama yang harus segera kita rumuskan solusinya. Butuh kerjasama dari berbagai pihak, seperti pihak Dinsos yang harus massif melakukan pendampingan bagi kelompok ekonomi rentan, P2TP2A kabupaten juga harus melakukan pendampingan bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah.
Selain itu, dinas Pendidikan aktif juga harus melakukan pendataan angka anak putus sekolah untuk dikurangi setiap tahunnya. Pengadilan Agama juga harus menyusun standar penetapan permohonan dispensasi perkawinan. Dan yang tidak kalah penting, tokoh agama tidak terus mendoktrin perkawinan sebagai alat menghindari zina. (bebarengan)