Hari Anak Nasional yang diperingati tiap tanggal 23 Juli yang dimulai sejak masa Orde Baru memiliki sejarah panjang. Peringatan setiap tahunnya dilaksanakan dengan beragam cara dengan tujuan yang sama yakni berpartisipasi secara aktif untuk meningkatkan kepedulian, menghormati, meghargai dan menjamin hak-hak anak tanpa adanya diskriminasi.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa) Hari Anak Nasional dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara optimal, dengan mendorong keluarga Indonesia menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak.
Namun, sudahkah keluarga sebagai madrasatul ula atau tempat belajar pertama bagi anak menerapkan pola yang dimaksud ? jawabannya tidak serta merta sudah terlaksana atau belum, bahkan sebagian besar orang tua masih menerapkan cara asuh model lama.
Sseperti yang dikemukakan oleh Hourlock, ada tiga jenis pola asuh orang tua terhadap anaknya, yaitu : Pertama, pola asuh otoriter, yaitu ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi.
Kedua, pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung pada orang tua. Ketiga, pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak yang cenderung bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki.
Ketiga model pola asuh ini tentunya berimbas pada bentukan sifat anak. Ada yang ramah, mudah bergaul, suka keteraturan atau sebaliknya bersifat keras, menunjukkan emosi dan pengkritik segala sesuatu. Sedangkan pada hakikatnya model pengasuhan merupakan sebuah usaha untuk mencapai kebahagiaan, menjaga penerus keturunan sehingga mampu menjadi manusia mandiri.
Selain itu, sebagai usaha nyata orangtua untuk menjaga totalitas potensi sehingga seorang anak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya didunia sebagai khalifah fil ardh, KH. Quraish Shihab menafsirkan kata ini sebagai perbuatan memelihara bumi, melakukan islah, mengantar segala tujuan penciptaannya.
Relasi Orang Tua dan Anak
Dalam Buku Fiqh Anti Trafikking yang ditulis oleh KH. Husein Muhammad Dkk disebutkan bahwa hubungan anak dengan orang tua adalah hubungan orang yang melahirkan dengan yang dilahirkan, orang yang merawat dengan yang dirawat, hubungan yang mendidik dengan yang dididik dan hubungan yang lebih tua dengan yang lebih muda.
Dalam hubungan ini, kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban ibarat koin mata uang, yakni hal berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Di samping mempunyai sejumlah kewajiban, orang tua juga memiliki hak misalnya hak untuk dihormati. Begitu juga dengan anak. Ia memiiliki hak untuk disayang oleh kedua orang tuanya. Jika orang tua memperoleh penghormatan dari anak, maka anak juga memperoleh kasih sayang dari orang tua.
Menurutnya salah satu bentuk penghormatan anak terhadap orang tua adalah mentaati perintah-perintah sejauh tidak bertentangan dengan ketaatan kepada Allah. Sementara kedua orang tua sebagai pihak yang lebih tua harus menunjukkan kasih sayangnya kepada anak sebagai pihak yang lebih muda. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
“Dari Anas bin Malik menuturkan, bahwa Rosululloh SAW besabda : “Tidak termasuk golongan umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan yang mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua.” (Hadits Riwayat Imam al-Turmudzi)
Jadi, hak dan kewajiban ini bersifat timbal balik atua resiprokal. Oleh karenannya kedua belah pihak seharusnya tidak saling menunggu, malah harus saling proaktif melaksanakan kewajiban agar memperoleh hak.
Hak tersebut akan diperoleh jika kewajban telah selesai dilaksanakan. Dalam hal ini, perayaan hari anak diartikan sebagai alarm pengingat sebagai sarana untuk menumbuhkan kembali relasi yang hilang tersebut. Sehingga cita-cita untuk menggapai keluarga maslahat bukanlah sekedar impian belaka, namun dapat direalisasikan melalui upaya bersama. []