• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Equal Partnership: Relasi Kesalingan Menuju Rumah Tangga Bahagia

Anifatul Jannah Anifatul Jannah
28/07/2020
in Keluarga
0
Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

149
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Patriarki sebagaimana yang kita tahu telah menjadi budaya yang dianggap wajar oleh sebagian orang. Apalagi ketika orang tersebut berkata kalau budaya patriarki merupakan ajaran dari nenek moyang, sejarah agama, dan tafsiran ayat yang sepihak. Pada akhirnya budaya patriarki akan terus ada dalam kehidupan bermasyarakat, karena memang dengan sengaja diturunkan kepada anak-anaknya.

Ajaran budaya patriarki yang diturunkan dari orang tua dan masih ditemukan di era modern ini diantaranya laki-laki harus kuat karena akan menjadi pemimpin, sedangkan perempuan harus lemah lembut, berada di bawah kuasa laki-laki, dan harus selalu patuh terhadap laki-laki. Orang tua yang mengajarkan demikian cenderung mengikuti pola asuh dari orang tua mereka zaman dulu.

Ajaran budaya patriarki yang semacam itu secara tidak disadari telah melahirkan relasi kuasa pada pihak laki-laki, baik itu ayah, anak pertama yang berjenis kelamin laki-laki atau anak kedua dan seterusnya, sedangkan anak perempuan dibiarkan menuruti apa yang diinstruksikan laki-laki.

Mungkin kita sering menemukan anak laki-laki yang lahir menjadi anak pertama terpaksa menjadi dominan untuk menjadi pemimpin keluarga dalam rangka menggantikan ayah. Padahal tidak semua beban dalam keluarga menjadi tanggung jawab anak laki-laki maupun anak pertama.

Pada realitasnya, tidak semua anak laki-laki mampu dominan dan bisa menjalankan peran pemimpin di dalam keluarganya. Ia juga tidak bisa selalu kuat sebagaimana konstruksi sosial di masyarakat. Pola pikir menjadi anak-anak laki yang dipaksa harus selalu kuat itu nantinya akan menjadi prinsip hidup yang diterapkan dalam kesehariannya.

Baca Juga:

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Misalnya ia akan selalu memandang perempuan sebagai manusia yang lemah lembut, penurut, dan harus dilindungi. Nantinya ia tidak merasa nyaman dan menganggap perempuan agresif atau mandiri bukan sebagai perempuan baik-baik.

Contoh lainnya ketika anak laki-laki itu mulai beranjak dewasa dan mendekati perempuan. Masih banyak laki-laki yang berprinsip kalau mereka harus menanggung biaya hidup perempuan itu karena merasa tertuntut dengan pola pikir yang diajarkan orang tuanya dulu serta terikat dengan konstruksi sosial.

Padahal pola pikir semacam itu disebut sebagai logical fallacy, yang mana peran laki-laki yang menanggung biaya hidup perempuannya itu didasarkan pada budaya patriarki, baik yang beredar di masyarakat maupun ajaran dari orang tuanya.

Apabila prinsip tentang anak laki-laki harus mendominasi perempuan masih diterapkan hingga ia menikah, maka budaya patriarki itu akan diturunkan kembali kepada anaknya. Anaknya pun kemungkinan besar akan memiliki pola pikir dan prinsip hidup yang sama dengan ayahnya. Budaya patriarki ini akan terus berulang jika calon orang tua tidak segera menghentikannya.

Untuk anak perempuan biasanya diajarkan tidak bersikap keras, tidak agresif, dan tidak boleh konfrontatif dalam bertindak dan berperilaku. Selama ini makna menjadi anak perempuan cenderung diartikan lebih kecil, seperti pendiam dan lebih menerima bahkan jika orang lain mengambil mainan mereka, menarik rambut, atau menyentuhnya tanpa izin.

Kasus lainnya ketika perempuan dipaksa menyadari posisi mereka yang harus menjadi anak penurut dan tunduk terhadap laki-laki. Mungkin saja kita menemukan seorang ayah yang memaksa anak perempuannya harus menuruti semua kemauannya, jika tidak akan dicap sebagai anak durhaka.

Selain itu, anak perempuan yang mendapatkan ajaran patriarki akan menjadi ketergantungan dalam berbagai aspek ketika tidak ada laki-laki dalam hidupnya. Hal ini karena anak perempuan dibiasakan harus selalu berada di bawah kuasa laki-laki dalam hal apapun.

Misalnya saat anak perempuan itu ditunjuk menjadi ketua dalam sebuah kelompok, sejauh yang saya temui masih ada yang berpikiran kalau ia tidak bisa menjadi pemimpin karena masih ada laki-laki. Padahal dari segi kemampuan anak perempuan ini lebih unggul daripada laki-laki tersebut.

Lalu apa hubungan antara dampak patriarki terhadap relasi orang tua dan anak?

Mungkin sebagian dari kita menerima pengajaran atau pendidikan dari orang tua kalau laki-laki itu memang seharusnya kuat dan perempuan lemah. Oleh sebab itu mayoritas laki-laki diberikan kesempatan melakukan apapun di dalam hidupnya, sedangkan perempuan lebih banyak terkungkung dengan larangan dan sering diam di rumah atau mungkin sebaliknya.

Laki-laki yang dituntut kuat dan dominan, tetapi ia tidak bisa menunaikannya, setidaknya akan membuat orang tua kecewa. Kasus semacam ini pernah saya temukan bahwa anak laki-laki tersebut berbalik kecewa karena tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tua.

Jika saya lihat, kehidupan antara anak laki-laki dan orang tuanya pun sudah berbeda cerita. Tidak harus semua hal yang orang tuanya lakukan semasa dulu, dilakukan juga oleh anak laki-lakinya. Alhasil relasi orang tua ke anak dan sebaliknya pun menjadi disfungsi.

Begitupun dengan anak perempuan yang dilarang mengekspresikan perasaan atau melakukan banyak hal. Orang tua yang melakukan itu biasanya memiliki alasan tidak ingin anaknya seperti ia saat dulu. Pada akhirnya orang tua tetap dengan tuntutannya, sedangkan anak perempuannya tidak bisa selalu menjadi penurut. Melalui peristiwa itu setidaknya membuat relasi orang tua dan anak menjadi disfungsi.

Sampai kapan kita akan mencetak generasi yang membiarkan budaya patriarki terus berkembang? Karena ternyata pola asuh yang sepaket dengan ajaran patriarki telah membuat anak-anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan peran dan keinginannya sendiri.

Jika sekiranya melawan budaya patriarki cukup sulit karena pelakunya sudah dewasa, maka ada baiknya kita tanamkan pendidikan dan pola asuh yang ramah dengan kesetaraan gender kepada anak dari kecil. Dengan demikian budaya patriarki yang telah menyebar di masyarakat, sedikit-sedikit akan pudar dengan kesetaaan gender yang diajarkan sedari kecil. []

Anifatul Jannah

Anifatul Jannah

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID