Pernahkah pembaca melihat atau mendengar joke seksualitas?, rasa-rasanya obrolan yang dianggap menarik dan mengundang keingintahuan orang adalah tentang kehidupan seks, serta hal lain yang terkait tentangnya. Baik bagi orang yang sudah menikah dan punya pasangan, maupun yang masih jomblo. Ada sensasi penasaran ingin mengenal lebih dalam tentang tubuh sendiri, maupun pasangan hidup kita.
Suatu kali saya pernah terlibat dalam perbincangan hangat seputar pengalaman seks yang pernah dilakoni perempuan. Ada satu kawan, yang mengaku tak pernah melepas baju ketika sedang berhubungan seks dengan suaminya. Kawan lain menanggapi, lebih suka bercinta dalam ruangan yang gelap, hingga tak usah saling melihat.
Alasan yang dikemukakan, sebab malu dan tak percaya diri dengan postur tubuh yang telah banyak berubah sejak menjadi penganten baru hingga memiliki anak. Takut dianggap tak seksi dan dipandang tak menarik lagi, membuat banyak perempuan kerap tak ingin mengeksplorasi kebutuhan tubuhnya sendiri akan seksualitas.
Namun yang lebih memprihatinkan, cerita kawan saya yang terakhir, sudah tak bergairah dengan segala hal yang berkaitan dengan hubungan seksual. Ia mengaku relasinya kian hambar dan tak sekalipun berminat untuk saling bermesraan dengan pasangan, atau melakukan bonding ikatan emosional melalui sentuhan fisik.
Hidup baginya sudah kian berat, dan ia tak mau membebani diri dengan ritual adegan ranjang yang dianggapnya tak penting dan menguras energi, serta emosinya sebagai perempuan. Alasannya, tentu saja karena faktor ekonomi, suami yang tak lagi mampu mencukupi kebutuhan nafkah keluarga. Ia memilih bertahan demi keharmonisan dan keutuhan rumah tangga di mata anak-anak atau keluarga besar.
Lalu, bagaimana sebaiknya menyikapi seks, kehidupan dan citra positif tubuh perempuan?
Penelitian dari Sexual Medicine Journal (2016), membuktikan bahwa delapan puluh perempuan yang mengaku aktif secara seksual, menyatakan adanya hubungan antara citra tubuh terhadap pengalaman seksual. Perempuan dengan persepsi negatif terkait citra tubuh semakin berpeluang tidak menikmati hubungan seksual mereka.
Meski sekarang tengah gencar kampanye body positivity, yang ditujukan supaya perempuan mencintai bentuk tubuh mereka, namun faktanya lebih banyak kelompok yang termakan konsensus tentang standar kecantikan.
Psychology Today, sebagaimana yang dilansir dari tirto.id, mengatakan bahwa sebanyak 56 persen perempuan tak puas dengan penampilan mereka. Dari jumlah tersebut ada presentase sebesar 71 persen yang menganggap bagian perut mereka kurang bagus, 66 persen tak mau berdamai dengan berat badan, 60 persen merasa pinggulnya tak sempurna, dan 58 persen terganggu akibat ototnya mulai mengendur.
Sementara itu dalam buku Qiraah Mubadalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, disebutkan pernyataan Nabi Muhammad saw yang menegaskan tentang pentingnya kesalingan dalam melakukan dan menikmati seks antara suami dan istri. (Shahih Bukhori, no. 3273).
Hadits ini menjelaskan bahwa istri harus melayani kebutuhan seks suami dan tidak menolak ajakannya jika tanpa alasan, seperti sakit, lelah atau alasan lain yang rasional. Sebab dalam Islam, hanya pernikahanlah yang membolehkan hubungan seks.
Sehingga tujuan utama sebagian besar laki-laki menikah, di samping dorongan hormon testosteron dalam tubuhnya, alasan lain adalah karena seks. Jika suami tidak memperolehnya sama sekali dari manapun secara halal, maka kehadiran istri di sampingnya dirasakan percuma dan dorongan hormonalnya tidak terpenuhi.
Hal ini bisa memicu stress, marah dan tidak menutup kemungkinan terjadi cekcok serta menyulut pertengkaran. Sesuatu yang jauh dari tujuan pernikahan untuk dapat ketenangan dan kasih sayang. Laknat, yang digambarkan dalam hadits tersebut, secara bahasa berarti dijauhkan dari kondisi kasih sayang. Pas sekali dengan keadaan ketika laki-laki ditolak secara mentah-mentah kebutuhannya untuk memperoleh seks dari istrinya.
Perempuan atau istri, dipahami dari semangat tekstual hadits ini harus mampu memahami kebutuhan seks suami, mengondisikan dirinya sehingga dapat melayani sang suami dengan baik dan menyenangkan. Karena itu, dalam berbagai teks fiqih, istri dituntut berhias diri, berdandan sebaik mungkin, dan memakai parfum untuk memuaskan dahaga seksual suami.
Tentu saja pemahamannya tidak boleh demikian. Sebab, ini masih mengindikasikan ketidakseimbangan relasi atau tidak mubadalah. Istri hanya menjadi pemuas nafsu seks semata. Sementara tidak ada peran yang harus juga dimainkan suami untuk kepuasan kebutuhan seks (atau yang lain) istri. Kondisi ini bisa menimbulkan ketimpangan, dan bahkan kekerasan.
Untuk itu perlu pendalaman makna teks tersebut dengan membawa perspektif dan metode mubadalah. Sehingga aktivitas seks itu sendiri bisa menjadi bagian yang menyenangkan kedua belah pihak dan menjadi sesuatu yang justru memperkuat ikatan pernikahan, bukan malah merusak dan mencederainya.
Pertama, teks hadits teks hadits menggunakan kata “da’a” yang sejenis dengan doa dan dakwah, yang berarti memohon dan mengajak. Artinya suami dituntut pertama kali untuk mengekspresikan permintaannya kepada istri dengan cara yang lembut dan menyenangkan. Bukan dengan perintah apalagi pemaksaan dan kekerasan.
Kedua, metode mubadalah meniscayakan pemaknaan hadits ini berlaku juga bagi perempuan sebagai subjek utama, di mana laki-laki pun dituntut memuaskan kebutuhan seks istri, dan bisa dilaknat jika menolak permintaannya. Sebab, muara dari teks ini, dalam perspektif mubadalah adalah memuaskan kebutuhan seks pasangan, istri kepada suami dan suami kepada istri.
Yang lebih luas dari itu, jika istri dituntut untuk memperhatikan dan melayani kebutuhan seks suami yang didorong oleh hormon testosteronnya, suami juga dituntut untuk empati terhadap istri yang bisa jadi lebih lelah dan tidak mood, sedang emosional menjelang menstruasi, atau sakit akibat hamil dan melahirkan, atau terbebani dengan dampak aktivitas seks terhadap organ reproduksinya.
Maka citra positif tubuh bagi perempuan juga harus didukung oleh pasangan, agar semakin percaya diri menjalani hubungan seks yang sehat, dan kehidupan rumah tangga yang lebih berkualitas. Karena saling melayani kebutuhan masing-masing dan saling memahami adalah puncak mubadalah dari teks hadits tersebut. []