Mubadalah.id – Kesaksian demi kesaksian dari banyak orang menguatkan pesan, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah seorang pengabdi setia masyarakat. Gus Dur memberikan semua untuk orang lain dan tak berharap pamrih apapun. Satu hal yang hampir mustahil bisa dilakukan manusia biasa. Tak banyak orang yang mau dan mampu melalui jalan itu. Para pecintanya lebih suka menyebutnya sebagai wali. KH Husein Muhammad atau Buya Husein menyebutnya sebagai Sang Zahid.
Gus Dur bukanlah manusia biasa. Dia begitu besar dan diingat banyak orang dari seluruh penjuru dunia, dari beragam golongan, negara, keyakinan, ras, warna kulit, pandangan politik, dan sebagainya. Semuanya punya kesan dan penilaian yang sangat baik kepadanya.
Salah seorang Buddhis asal Cirebon, Surya Pranata pada suatu acara mengenang Gus Dur bersama Alissa Wahid di Cirebon pernah mengatakan, Gus Dur tak ubahnya seorang bodhisattva.
Dengan pengetahuan yang terbatas, saya memahami bodhisattva sebagai orang yang tercerahkan. Dia yang sudah mendapatkan penerangan. Tapi kemudian dia berkomitmen untuk tidak menikmati penerangan itu seorang diri. Dia akan mengorbankan diri untuk membantu agar orang lain juga mendapat penerangan yang sama.
Karena itulah seorang bodhisatwa akan memiliki sifat welas asih dan sifat tidak mementingkan diri sendiri.
Hal yang kurang lebih sama dikatakan teman Gus Dur yang beragama Katolik, Irwan David. Dia mengatakan bahwa Gus Dur laiknya seorang Santo.”Bagi kami orang Katolik, Gus Dur itu seperti Santo yang oleh orang Islam disebut wali,” kata Irwan David sebagaimana dikutip KH Husein Muhammad.
Seperti itulah karakter Gus Dur. Sepak terjangnya tak usah diceritakan lagi. KH Husein Huhammad menceritakan lebih detil tentang aspek spiritual Gus Dur dalam bukunya “Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur.”
Dalam buku tersebut diceritakan bahwa Gus Dur adalah orang yang sudah tidak memikirkan dirinya sendiri. Gus Dur lebih mengutamakan ruh dan jiwanya dibandingkan tubuhnya. Jiwa Gus Dur selalu bergolak, tak pernah diam.
Sesuatu yang selalu menggelisahkannya adalah dia selalu memikirkan orang lain. Ya, orang lain lah yang selalu ada di pikirannya, bukan dirinya.
Gus Dur tidak pernah memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Dalam keseharian, dia hanya menggunakan kaos dan celana sebatas bawah lutut. Buya Husein juga menceritakan bagaimana Gus Dur seringkali tidak punya uang. Dia hidup sederhana dan bersahaja.
Gus Dur sangat sangat terkesan dengan kitab al-Hikam al-‘Athaaiyyah. Kitab utama referensi sufisme Sunni. Salah satu puisi Ibnu Athaillah dalam kitab tersebut seringkali dibaca Gus Dur dalam banyak kesempatan:
Sembunyikan wujudmu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah sempurna
Itulah sekelumit kisah tentang Gus Dur, Sang Zahid yang hingga hari ini menginspirasi banyak orang.[]