Mubadalah.id – Adakah ajaran agama di dunia yang memperbolehkan seseorang melakukan kekerasan seksual kepada orang lain? Tidak ada. Penghapusan kekerasan seksual harus kita dengungkan terus. Sebab pada prinsipnya, semua agama datang ke dunia mengajarkan kebaikan dan menyuruh umatnya menjauhi perbuatan tercela dan dilarang. Lebih-lebih agama Islam yang datang untuk mengangkat harkat dan martabat semua manusia dan melindungi manusia yang direndahkan dan dizalimi oleh kelompok manusia lainnya.
Korban kekerasan seksual adalah orang yang teraniaya atas perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan seksual terhadapnya. Besar kemungkinan kekerasan seksual yang dialaminya menghancurkan hidup dan masa depan korban. Berbagai dampak psikis bisa terjadi pada korban termasuk trauma, depresi berkepanjangan, penderitaan psikis yang berat, ketakutan bertemu pelaku, dan berbagai gangguan lainnya yang akan membahayakan kesehatan mentalnya.
Ada pula dampak fisik, seperti luka, memar, sesak nafas,nyeri saat buang air, pendarahan dan nanah pada alat kelamin, hingga terhinggap penyakit kelamin mematikan. Korban juga dapat mengalami dampak buruk secara seksual, seperti ketakutan untuk berhubungan seksual dengan pasangan, atau memilih menghindari ikatan perkawinan agar tidak perlu berhubungan seksual, atau bahkan berbalik menjadi pelaku yang menjadikan orang lain sebagai korbannya.
Korban yang berusia sekolah sering kali justru dikucilkan dari sekolah, dikeluarkan, atau diminta berhenti sekolah. Korban jenis ini dalam jangka panjang akan terjebak dalam kemiskinan. Belum lagi jika kekerasan seksual itu mengakibatkan kehamilan, korban akan mendapat distigma karena punya anak di luar kawin. Padahal akses untuk aborsi aman bagi korban juga tidak mudah didapatkan. Sebagian korban yang tak kuasa menahan derita memilih jalan pintas mengakhiri hidupnya lantaran tidak tahan dengan derita yang harus ditanggungnya.
Di luar diri si korban, masyarakat kita juga masih cenderung lebih menyalahkan korban dari pada pelaku. Sehingga rasa malu dan aib lebih banyak ditimpakan kepada korban daripada pelaku. Padahal, pelakulah yang kehilangan keimanannya dengan melakukan perilaku kekerasan seksual pada korban yang juga dilarang agama.
Deretan dampak yang dialami korban kekerasan seksual bukan cerita fiktif. Cerita ini berangkat dari cerita korban atau setidaknya catatan para pendamping korban dampak kekerasan seksual. Perasaan akan semakin berat apabila korban harus menanggung seorang diri dan jauh dari jangkauan para pendamping korban atau lembaga pengada layanan pendampingan korban kekerasan seksual.
Dari uraian di atas, tidaklah keliru apabila disimpulkan bahwa korban kekerasan seksual adalah orang yang teraniaya yang membutuhkan pertolongan karena ia tergolong dalam kelompok orang yang lemah dan dilemahkan (mustadháfin).
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan
Di sinilah kemudian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera dihadirkan, sebab ia mengatur norma yang mewajibkan negara menyediakan pemulihan bagi korban kekerasan seksual agar korban mampu kembali bangkit dan berdaya untuk mengambil keputusan dan melanjutkan kehidupan. Pemulihan bagi korban harus dilakukan tanpa terkecuali, baik korban perempuan atau laki-laki.
Selain itu, RUU ini juga mengatur norma yang mempidanakan sembilan jenis kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Selama ini, pendamping korban atau lembaga pengada layanan bekerja memulihkan korban secara swadaya dan dukungan yang kurang maksimal. Melalui kehadiran RUU ini, negara harus memfasilitasi penyelenggaraan pemulihan korban sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara mewujudkan hakatas rasa aman dan hak setiap orang untuk terbebas dari kekerasan dan diskriminasi. Pemulihan kepada korban laki-laki -yang selama ini kurang mendapatkan perhatian- melalui RUU ini juga akan dilakukan untuk memutus kecenderungan korban bertransformasi menjadi pelaku.
Islam hadir untuk memberikan pertolongan kepada orang yang teraniaya. Jaminan dalam Al-Qur’an (Annisa: 148) yang menjamin doa orang yang teraniaya akan didengar Allah SWT adalah isyarat kepada umat manusia untuk tidak membiarkan terjadinya kezaliman menimpa sesama manusia lainnya. Orang yang teraniaya adalah orang yang membutuhkan pertolongan, apabila Allah SWT saja sudah menjamin akan menolongnya dengan mengabulkan doa yang ia panjatkan, tentu tidak pantas apabila sesama manusia mendiamkan saja tanpa memberikan pertolongan untuk meringankan penderitaan korban.
Selengkapnya baca di sini.
*) Penulis adalah lulusan pesantren Darut Tafsir, Bogor, dan menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.