Mubadalah.id – Barang kali, sudah tidak perlu dipertanyakan lagi soal keilmuan Kiai Afifudin Muhajir. Semangat belajarnya tidak pernah padam dimakan usia. Beliau juga menyebarkan ilmunya kepada seluruh masyarakat, khususnya santri yang menetap di pondok yang beliau pimpin, Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo Situbondo.
Tidak hanya itu, beliau juga sering memberikan motivasi kepada para santrinya baik putra maupun putri. Uniknya, motivasi-motivasi tersebut seringkali disampaikan melalui humor. Salah satunya, motivasi yang disampaikan beliau saat menyampaikan pelajaran Usul Fikih Kitab Jim-Jim (Syarah Jam’u Al-Jawami’), di Ma’had Aly Situbondo.
Kami, Mahasantri Ma’had Aly putra-putri sangat antusias untuk mendengarkan dan beristifadah dari penjelasan yang disampaikan beliau. Di tengah kepenatan kami untuk memahami, kebetulan Imam Al-Subki mengutip pendapat dari Imam Haramain dan sekaligus pendapat bapaknya, yaitu Abu Muhammad Al-Juwaini. Kemudian Kiai Afif menyelipkan cerita yang sudah masyhur bahwa, orang tua Imam Haramain berbeda dengan orang tua Imam Al-Ghazali.
Orang tua Imam Haramain juga merupakan seorang ulama. berbeda dengan orang tua Imam Al-Ghazali, orang tua Al-Ghazali bukan seorang ulama, orang biasa-biasa saja bahkan bisa dibilang orang awam. Akan tetapi, meski orang awam, orang tua Al-Ghazali memiliki keinginan luhur dimana saat mengaji fikih kepada seorang ulama, ia menginginkan anaknya alim, begitu juga ilmu-ilmu di bidang lainnya.
“Maka teman-teman yang bukan anaknya kiai jangan putus asa!”, pungkas Kiai Afifuddin Muhajir.
Mendengar kalimat terakhir dari beliau, sontak kami yang berada di majlis tersebut terkikih-kikih merasa terhibur seolah merasakan oase di tengah kepenatan kami belajar yang tidak jelas nanti jadi apa. Meski kalimat yang disampaikan beliau terkesan guyon, namun memiliki pengaruh tersendiri kepada psikis pendengarnya, khususnya kami yang bukan keturunan kiai agar tetap semangat belajar dan mengkaji materi semisal usul fikih. Konon materi ini biasa dipelajari oleh orang yang hendak berijtihad, tentu harus orang-orang dari keturunan darah biru yang berpengaruh sebagaimana anggapan masyarakat.
Sekilas, penulis teringat dengan kisah Imam Al-Ghazali yang terlahir dari orang biasa yang berguru kepada Imam Haramain, anaknya ulama kemuka saat itu. Sebagaimana diceritakan dalam kitab Sayru A’lamu Al-Nubala’ [273/14], suatu ketika, Al-Ghazali mengumpulkan caatatan pelajarannya yang diterima dari gurunya itu, lalu dituangkan menjadi kitab Al-Mankhul. setelah selesai, kitab tersebut disuguhkan kepada gurunya. Melihat hal tersebut Imam Haramain berkomentar;
دفنتني وأنا حي، فهلا صبرت حتى أموت كتابك غطى على كتابي!
“Kau telah menguburku sementara aku masih hidup. Kenapa engkau tidak sabar menunggu hingga aku mati. Kini kitabmu (Al-Mankhul) menutupi kitabku (Al-Burhan)!”
Benarlah apa yang disampaikan oleh Kiai Afifudin, siapapun kita tidak seharusnya merasa inscure apa lagi putus asa dalam belajar karena hanya kita keturunan orang-orang biasa. Bukankan ilmu itu bersifat umum tidak dimunopoli oleh mereka yang memiliki martabat dan kedudukan agung di tengah bangsanya.
Begitu pun sebaliknya, tidak sepantasnya kita merasa pongah karena hanya terlahir dari keturunan orang-orang agung sehingga malas untuk belajar karena merasa cukup dengan status sosial yang dimiliki dari nenek moyangnya. Oleh sebab itu, siapapun kita hendaknya untuk senantiasa belajar tanpa merasa putus asa besok akan jadi siapa, lebih-lebih merasa puas karena keturunan semata yang tersandang.
Begitulah motivasi yang disampaikan oleh Kiai Afifudin Muhajir yang disampaikan, melalui humornya beliau tatkala kami dalam kepenatan berusaha memahami materi yang beliau sampaikan. Singkat dan padat namun memiliki pengaruh besar untuk menyulut semangat kami dalam belajar. Semoga Barakah! Amin. []