Mubadalah.id – Perempuan kerap kali dinilai sebagai makhluk yang memiliki kepribadian lemah, tidak berdaya, ataupun tidak memiliki pilihan. Stigma seperti ini, tentunya menjadikan pelemahan karakter perempuan yang sesungguhnya. Terlepas dari kepemilikan kepribadian perempuan yang beragam. Namun disamaratakan dengan adanya penilaian, seolah perempuan tidak memiliki kesempatan menunjukkan jati dirinya.
Pelemahan karakter perempuan sering diterpa dengan persoalan fisik maupun perihal yang dikenakan. Misalnya saja, perempuan yang memiliki bibir yang tipis dikatakan perempuan yang cerewet. Ataupun perempuan yang mengenakan pakaian berwarna gelap mempunyai kepribadian yang tertutup.
Bagaimana perempuan dapat mejnelaskan tentang dirinya, jika sudah terhalang dengan stigma yang telah menghakimi duluan pada karakter perempuan?
Padahal semua itu, tidak ada hubungannya dengan kepribadian dari seorang perempuan. Penilaian tentang karakter perempuan tentunya tidak bisa disimpulkan begitu saja. Perempuan juga manusia utuh atas kemanusiaannya, yang dinilai atas dasar prestasi dan dedikasi dalam memberdayakan dirinya.
Setiap perempuan memiliki karakter unik yang melekat pada diri masing-masing mereka. Hal itu, tidak terlepas dari kisah perjalanan hidup setiap individu perempuan. Baik itu perempuan yang dididik untuk bersikap kuat, beretika, pandai bersyukur, dan karakter lain di luar dari pengalaman yang dimiliki.
Teringat dengan kisah istri Rasulullah SAW, yakni Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar As Siddiq atas kepandaiannya dalam meriwayatkan hadits. Kecerdasan yang dimiliki Aisyah tentunya tidak terlepas dari kedekatannya dengan Rasulullah, yang diajarkan perihal kebaikan maupun dakwah Islam.
Kesempatan Aisyah yang mampu menunjukkan kelebihan dirinya, menunjukkan bahwa seorang perempuan pada waktu itu terdorong atas sebuah relasi yang dimilikinya. Layaknya Aisyah yang mendapatkan dukungan tersebut dari Rasulullah SAW.
Kisah perempuan lainnya berasal dari Indonesia, yaitu Raden Ajeng Kartini seorang yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pada masa pribumi nusantra. RA Kartini bentuk dari cerminan diri seorang perempuan yang mampu menunjukkan jati dirinya melalui tulisan.
Di dalam tulisannya RA Kartini menyampaikan rasa prihatinnya terhadap kondisi perempuan Jawa yang masih terikat adat dan kondisi patriarki pada masa itu. Seperti perempuan tidak boleh sekolah, dijodohkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, bersedia dimadu, dan dipingit.
Kepiawaian RA Kartini memunculkan ide emansipati dalam tuliasnnya, tidak terlepas dari peran Kakaknya Raden Sosrokartono. RA Kartini mendapatkan saluran ilmu dari Raden Sosrokartono begitu juga dorongan untuk terus menyampaikan kritik sosial, tentang kondisi dan kehidupan perempuan disekitarnya.
Dorongan lainnya juga RA Kartini dapatkan dari suaminya Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. RA Kartini mendapatkan dukungan penuh oleh suaminya dalam mendirikan sekolah wanita, yang merupakan cita-cita RA Kartini dalam memperdayakan perempuan-perempuan pribumi.
Mendapatkan dukungan dan respon positif dari lingkungan, berhak pula didapatkan perempuan lainnya. Baik dari keluarga, teman, organisasi, maupun tempat kerja.
Apabila relasi dapat terbentuk dengan baik dan hangat, hal ini membuat perempuan tidak risau lagi dalam memperlihatkan citranya pada publik tanpa takut dengan penilaian negatif atas stigma perempuan.
Maka dari itu, Rasulullah SAW mengantarkan Islam sebagai pencerah mengembalikan martabat perempuan yang tidak lagi dinilai sebagai mahkhluk yang rendah. Melainkan memanusiakan perempuan sebagai makhluk yang berkarakter.
Mengutip dalam QS. Al Anbiya’ ayat 107 yang menerangkan, bagaimana Islam hadir sebagai bentuk rahmat atau karunia yang diberikan pada semua umat, tak terkecuali dengan perempuan.
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam
Islam hadir menciptakan kedamaian melepaskan belenggu perempuan pada jaman jahiliyah yang dipandang memiliki kedudukan yang rendah.
Menjadi perempuan yang berkarakter, menunjukkan bahwa perempuan tidak cukup jika dinilai dari satu sisi saja. Bagaimana perempuan itu menyampaikan pendapatnya, terlibat dalam suatu forum, serta kontribusi dalam kehidupan sosial. Perempuan berhak mendapatkan penilaian yang positif, bukan lagi direndahkan ataupun dilemahkan karakternya.
Apapun karakter yang dimiliki perempuan, baik dari berbagai latar belakang manapun. Perempuan bukan lagi dinilai dari fisik maupun perihal yang mekekat pada dirinya. Melainkan apa yang diberikan sebagai dedikasi untuk memberdayakan dirinya sendiri. []