Kita mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan tercipta dalam struktur yang sama berasal dari jiwa yang satu. Pada realitasnya baik laki-laki maupun perempuan bersemayam dalam semesta yang sama. Dibalik itu, manusia merupakan mahkluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian.
Jika kita menarik pembahasan mengenai perempuan, maka kita harus memulai dan berangkat dari Perempuan yang sebagaimana adanya. Dan yang menjadi masalah dalam realitas yang ada kebanyakan orang tidak memahami perempuan itu sebagaimana adanya, sehingga sering dijumpai fenomena dari sudut sejarah, agama, maupun budaya, perempuan cenderung dianggap berbeda dan mengakibatkan esensi perempuan itu sendiri diciptakan sesuai dengan imajinasi setiap individu.
Dalam hal ini, seharusnya kita dapat membedakan dan menundukkan perempuan secara substansi yang tidak dapat berubah dan perempuan dari fisiknya dalam hal ini dapat berubah. Bagaimana pun juga perempuan tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah entitas fisik saja yaitu, makhluk yang memiliki vagina.
Perempuan dalam arti fisik berkaitan dengan salah satu jenis kelamin, sementara perempuan dalam arti alam dikaitkan dengan sifat pengasih dan kelembutan di alam ini. Sachiko Murata dalam karyanya The Tao of Islam juga menjelaskan bahwa perempuan dikaitkan dengan dua hal yaitu, dikaitkan dengan manusia sebagai entitas fisik dan jenis kelamin tertentu.
Sementara jika dikaitkan dengan alam, ia sebagai sebuah kualitas intrinsik yang disebut kualitas feminin. Adapun kualitas intrinsik alam ini bisa saja dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Kualitas ini berada pada jiwa manusia. Oleh karena itu, kita tidak hanya meninjau manusia dari fisiknya belaka, melainkan dari spiritualitasnya yang berkaitan dengan jiwa manusia baik laki-laki maupun perempuan.
Hal ini akan sangat menarik jika kita melihat kehidupan para sufi perempuan. Kita mengetahui bahwa para sufi lebih mementingkan sisi batin dalam pencapaian spritualitas, yang mana jenis kelamin menjadi sesuatu yang tidak lagi penting. Dalam sufisme, perempuan dan laki-laki akan melebur menjadi satu jiwa.
Bagi kaum muslimin sendiri, sudah tidak asing lagi dengan salah satu sufi perempuan yang terkenal sepanjang sejarah islam yaitu Rabi’ah Al-Adawiyah seorang sufi perempuan dari kota Bashrah. Sosok perempuan yang hatinya hanya tersedia untuk Tuhannya saja.
Dalam agama islam, cinta di kenal dalam bahasa Arab dengan kata Hubb atau mahabbah yang berasal dari hibbat yang berarti benih-benih yang jatuh ke bumi ke tengah gurun. Nama hubb di berikan kepada benih-benih gurun tersebut.
Karena cinta merupakan sumber kehidupan yang adil sebagai mana benih yang merupakan hasil tanaman. Dan konsep muhabbah ada pula yang penjelasan mengenai cara yang harus ditempuh oleh seseorang dalam mencintai Tuhannya.
Muhabbah yang dikenal dalam islam dipelopori oleh Rabi’ah Al-Adawiyah seorang sufi perempuan dari Basrah yang memiliki hasrat tinggi dalam mewujudkan penghambaannya pada Illahi sehingga untuk mencapai tingkat Ma’arifat. Rabi’ah Al-Adawiyah sendiri membuktikan bahwa tingkat spiritualitas tidak hanya di miliki kaum sufi pria saja.
Dan ada juga Sya’wanah,seorang perempuan sufi yang berasal dari persia dan tinggal di Ubullah di tepi sungai Tigris. Ia sudah terbiasa berkhutbah dan membacakan ayat al-Quran dan syair dengan alunan suara yang indah. Para zahid muttaqin dan orang-orang sufi biasa menghadiri pengajian-pengajiannya.
Salah satu seorang murid Sya’wanah yang setia menyatakan bahwa sejak dia bertemu dengan gurunya. Maka berkat berkah wali perempuan yang kharismatik itu, dia tak pernah lagi cenderung mencari kenikmatan dunia dan tak pernah lagi dia meremehkan sesama Muslim. Javad mengemukakan, bahwa Mu’azh ibn Fadhl mengatakan “Sya’wanah banyak menangis hingga kami mengira dia akan buta karenanya.”
Kekuatan dahsyat dalam diri perempuan mampu mencapai puncak spiritual yang dapat dicapai oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan menurut Ibn al-‘Arabi dapat menjadi Qutub. Bahkan kaum perempuan memiliki pencapaian-pencapaian tertentu yang tidak dapat diraih oleh kaum laki-laki, suatu tingkatan yang untuknya dibuatkan kiasan-kiasan dalam kata “perempuan” (mar’ah).
Bahkan yang lebih mengejutkan lagi Ibn al-‘Arabi memberikan pendapat bahwa sebenarnya kaum perempuan memiliki kekuatan tertentu yang tidak dimiliki oleh siapa pun dan apa pun itu di bumi ini. Ibn al-‘Arabi tampak berupaya untuk membuktikan bahwa kaum perempuan mempunyai suatu kekuatan yang tiada tandingannya di seluruh alam ini.
Ia mengukuhkan pandangan ini dengan merujuk kepada implikasi-implikasi suatu ayat Al-Qur’an yang diturunkan berkenaan dengan dua orang istri Nabi, Aisyah dan Hafshah. Ia menegaskan pendapat itu ketika membahas nama Ilahi Yang Mahakuat (al-Qawi) dan berbagai realitas dalam kosmos yang menampakkannya.
Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki tidak berdaya tanpa perempuan. Karena perempuan adalah suatu mikrokosmos, ia memusatkan pada dirinya sendiri kekuatan setiap realitas reseptif dalam eksistensi.
Perempuan sebagai makhluk yang memiliki potensi hati yang lebih dibanding dengan laki-laki mengafirmasikan bahwa perempuan memiliki potensi spiritual yang lebih, dan hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa para nabi dan para wali yang notabenenya juga memiliki tingkat spiritual tinggi, itu kebanyakan seorang laki-laki dan hal ini disinggung dari aspek spiritual?
Inilah point pentingnya ukuran kesempurnaan bukan masalah laki-laki atau perempuan tapi bertaqwa. Karena laki-laki cenderung menggunakan akalnya (Ilmu sebagai petunjuk) dan akan lebih banyak bekerja diluar untuk umat, apalagi ketika terjadi peperangan.
Justru kita akan melihat secara kosmik, Nabi lahir dari rahim seorang perempuan. Tanpa perempuan orang hebat sekalipun seperti Nabi tidak akan terlahir. Berbicara Spiritualitas landasan adil dan harus aktual dalam perbuatan. Pada kenyataannya ada yang memiliki potensi tapi aktualnya tidak mencerminkan tindakan kemanusiaan.
Hak eksistensi cinta berada pada diri perempuan, Dalam kosmologi perempuan, perempuan begitu istimewa dilihat dari lahir (fisik) dan batinnya (jiwa). Pada fisik perempuan ada rahim, di situlah sisi istimewa perempuan sebagai ibu peradaban secara lahiriah sekaligus batiniyyah.
Makanya, yang disematkan untuk perempuan dalam keluarga bukan “Ibu Rumah Tangga”, melainkan “Ibu Rumah Cinta”. Tentu rahim tidak ada pada laki-laki. Rahim ini anugerah Tuhan terbesar yang sangat istimewa bagi perempuan.
Perempuan adalah manifestasi jamaliyahnya Tuhan. Jika kita memaksakan diri untuk memahami dan mendefinisikan perempuan dengan akal kita maka akan semakin absurd kita dalam memahami jiwa perempuan itu sendiri. Maka, bukan pahami, tapi rasakan kehadirannya baru bisa kita bahasakan seperti apakah Dia, hingga kelak perempuan itu sendiri yang akan menyingkapkan realitas dirinya pada laki laki.
Yang kita ingin pahami “Realitas Perempuan” di alam.Kalau hanya sekedar ingin memaknai perempuan sudah cukup degan membangun definisi-definisi tentang perempuan, tapi ini sebatas pemahaman. Pemahaman bukan realitas itu sendiri.
Maka, bagaimana caranya agar realitas perempuan dia sendiri yang menyingkapkan dirinya? Selami lahir dan batinnya. Di balik sikap perempuan ada sisi batinnya di sana. Kalau kita sudah bisa menyingkap sisi batinnya perempuan, mendapatkan cintanya perempuan, nanti kelak realitas perempuan itu sendiri yang menyingkapkan dirinya pada laki-laki. Dan ini tidak mudah bagi perempuan untuk menyingkap realitas dirinya pada laki-laki, kecuali laki-laki itu sudah bisa mendapatkan inti dari perempuan tersebut yakni cinta. []