Setiap rasul mempunyai misi yang sama, yaitu tauhid atau hanya menuhankan Allah Swt., yang berarti tidak menuhankan apa dan siapa pun selain-Nya. Tentu saja, manfaat dari cara pandang ini tidak kembali pada Allah Swt., tetapi pada manusia sendiri. Allah Swt. berkuasa secara mandiri (Qiyāmuhū binafsihī). Ketaatan hamba untuk hanya menyembah-Nya tidak membuat-Nya semakin berkuasa, dan pembangkangan mereka pun tidak mengurangi kekuasaan-Nya.
Tauhid memberi manfaat secara langsung pada kehidupan manusia. Sebab, dengan tidak menuhankan apa dan siapa pun selain Allah Swt., manusia terhindar dari ketundukan mutlak pada selain-Nya, seperti pada hasrat atas kekuasaan, harta benda, nafsu dan seksual, serta terhindar juga dari pengabdian mutlak pada sesama makhluk, seperti pada jin, setan, manusia, dan lain-lain. Tauhid, dengan demikian, mempunyai konsekuensi logis memperlakukan manusia secara proporsional sebagai manusia atau sikap memanusiakan manusia.
Pesan memanusiakan manusia dalam tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. mempunyai arti khusus, yaitu memanusiakan perempuan. Perlakuan tidak manusiawi pada perempuan yang dilakukan masyarakat Arab dan lainnya pada masa itu sangat luar biasa.
Perempuan berada di bawah kepemilikan mutlak laki-laki seumur hidup, dan diperlakukan sewenang-wenang secara masif. Perempuan diragukan kemanusiaannya sehingga kerap diperlakukan secara tidak manusiawi. Misalnya, perempuan boleh dikuburkan secara hidup-hidup saat lahir, dijadikan hadiah, jaminan utang, diwariskan, dll. Mereka juga kerap diperkosa, dikawinkan, bahkan diceraikan sebelum mengalami menstruasi, dicerai lalu dirujuk berkali-kali tanpa batas, dipoligami dengan jumlah istri tak terbatas, dll. Perlakuan atas perempuan ini menunjukkan sistem patriarki yang sangat kuat.
Islam mengubah cara pandang dikotomis antara laki-laki dan perempuan menjadi sinergis. Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. menegaskan bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya sebagaimana laki-laki (QS. al-Hujuraat, 49: 13) sehingga mereka juga harus diperlakukan secara manusiawi. Perbedaan keduanya tidak boleh menjadi alasan untuk melemahkan, melainkan harus dipandang sebagai kekuatan bersama dalam menjalani misi hidup. Karenanya, tauhid mempunyai cara pandang yang bertentangan dengan sistem patriarki.
Dengan demikian, tauhid membawa cara pandang baru pada status, kedudukan, peran, dan nilai laki-laki dan perempuan. Di sini, perlu ditegaskan tentang lima pondasi yang diajarkan Tauhid dalam Islam terkait keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Pertama, perempuan tidak diciptakan dari laki-laki. Asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu secara “ruhani” diciptakan dari diri yang satu atau nafsin wāhidah (QS. an-Nisaa’ [4]: 1), dan secara jasmani sama-sama diciptakan dari bahan serta proses yang sama (QS. Al-Mu’minun, 23: 12-14).
Kedua, laki-laki bukanlah makhluk primer, sedangkan perempuan juga bukan makhluk sekunder. Keduanya primer, sebab mengemban amanah sebagai khalīfah fil ardl atas seluruh makhluk Allah Swt. lainnya. Keduanya juga sama-sama sekunder di hadapan Allah Swt., karena mengemban status sebagai hamba-Nya.
Ketiga, perempuan tidak mengabdikan hidup untuk kemaslahatan laki-laki. Keduanya mengabdikan hidup pada Allah Swt., demi kemaslahatan hamba-Nya.
Keempat, perempuan tidak tunduk mutlak untuk melaksanakan perintah laki-laki. Keduanya mesti kerja sama melaksanakan perintah Allah Swt. mewujudkan kemaslahatan bersama.
Kelima, kualitas laki-laki dan perempuan sebagai manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketakwaan yang ditandai oleh seberapa jauh hidup memberi manfaat pada kemanusiaan. []