Mubadalah.id – Fenomena gunung es terkait bentuk kekerasan yang kerap kali perempuan alami, kini semakin nampak ke permukaan. Banyak sekali macam bentuk kekerasan, seperti seksual, fisik, ekonomi, struktural, verbal, bahkan mental. Maka kita perlu mewaspadai relasi manipulatif sebagai salah satu pemicu kekerasan di atas.
Berbagai faktor yang melatar belakangi terjadinya kekerasan di antaranya, relasi kuasa yang timpang, budaya, perbedaan usia, ras, suku, etnis, kelas sosial, dan masih banyak lagi faktor lainnya. Kekerasan yang terjadi dapat kita rasakan baik secara fisik maupun non fisik.
Kekerasan yang pelaku lakukan terhadap korban secara fisik, pastinya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyadarinya. Seperti halnya kekerasan fisik atau seksual yang meninggalkan bekas, maka korban cenderung langsung memahami bentuk pemicu kekerasan yang menimpa.
Sebaliknya, korban sulit menyadari kekerasan yang dilakukan secara non fisik karena tidak langsung bisa ia rasakan dengan panca indera. Seperti halnya kekerasan mental, ekonomi atau struktural. Terlebih, sikap pelaku juga samar memperlihatkan seseorang yang ingin berbuat jahat. Ia justru hanya menunjukkan citra baiknya saja, sehingga dapat mengelabui korban.
Misalnya, ia memosisikan diri sebagai orang yang mengerti korban atau orang yang dapat ia andalkan, sehingga seolah-olah pelaku dianggap orang terdekat layaknya ayah, kakak, atau dianggap seperti keluarga sendiri.
Setelah korban merasa nyaman dengan pelaku, hanya soal waktu pemicu kekerasan ini terjadi. Pelaku tidak akan segan melakukan kekerasan. Contoh kasus ini termasuk manipulasi dalam relasi. Relasi yang manipulatif ini bisa terjadi dalam relasi apapun seperti keluarga, pertemanan bahkan asmara atau pacaran.
Tanda-tanda Manipulasi Relasi
Tika Ibsanni dari IMMawati Renaissance, organisasi perempuan di Universitas Muhammadiyah Malang, dalam Talkshow bertajuk “Manipulasi dalam Relasi” memaparkan bahwa, “Tanda-tanda manipulasi dalam suatu relasi itu ada pihak yang sebenarnya merasa tidak nyaman atau tidak ingin, tapi dia tidak mampu menolaknya. Entah karena dia merasa tertekan secara fisik, psikis, atau merasa tidak punya pilihan dan tidak bisa keluar dari relasi tersebut.”
Relasi yang manipulatif juga dapat berujung pada kekerasan seksual. Banyak korban relasi manipulatif yang mengalami kekerasan seksual bahkan terjadi berulang dari pacarnya sendiri, atau orang terdekat yang memanfaatkan kondisi atau posisi korban yang rentan.
Dalam hal ini, konsep consent perlu kita pahami secara sadar bahwa jika pasangan mengatakan tidak, maka harusnya tidak kita lakukan. Berani menolak atau mengatakan tidak juga penting untuk kita tumbuhkan dalam diri. Otoritas tubuh kita, hanya ada di tangan kita sendiri.
Contoh Relasi Manipulatif
Tak hanya kekerasan seksual, bentuk kekerasan lainnya seperti kekerasan mental, bahkan kekerasan ekonomi juga seringkali terjadi oleh sebab relasi manipulatif. Kekerasan mental disebabkan oleh tindakan salah satu pihak yang berusaha mengontrol atau mendominasi pihak lainnya dengan kasar atau berlebihan.
Misalnya, melarang pasangan untuk menghabiskan waktu bersama sahabat atau teman. Jika melanggar, akan ada ancaman bahwa hubungannya akan berakhir. Sekalipun sudah berpasangan, seseorang tetaplah individu yang utuh. Ia memiliki hak dan ruang bagi diri sendiri untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Bukan hanya di kehidupan nyata, bahkan misalnya akun media sosial juga diawasi dan kendalikan secara langsung oleh pasangan. Sedangkan kekerasan ekonomi contohnya seperti memeras atau membatasi akses seseorang terhadap apa yang menjadi haknya.
Contohnya, memberikan akses rekening terhadap pasangan. Jika sudah dalam ikatan pernikahan, hal tersebut bisa mendatangkan maslahat karena sudah menjadi kesepakatan bersama untuk mengelola keuangan. Namun, jika belum terikat dalam tali pernikahan, hal tersebut dapat menjadi mafsadat.
Membuat Batasan Relasi
Kita tidak akan pernah benar-benar tahu karakter pasangan jika belum hidup bersamanya, atau mengenal keluarganya. Oleh karenanya, penting membuat boundaries atau batasan dalam berelasi. Jangan hanya karena cinta, lantas dapat membutakan seseorang dalam melihat dunia. Terjerumus dalam relasi manipulatif.
Dalih cinta atau demi kebaikan seringkali ia gunakan untuk menutupi tindakan manipulasi terhadap pasangan. Padahal, bukan namanya cinta jika tidak memberikan kebebasan bagi pasangan untuk melakukan atau menjadi apa yang benar-benar ia inginkan.
Senyatanya, bentuk kekerasan yang terjadi tidak hanya yang dapat terlihat oleh panca indera penglihatan, seperti kekerasan seksual atau fisik. Kekerasan mental atau ekonomi juga nyata terjadi, meskipun tak kasat mata.
Dominasi berkaitan pula dengan ketimpangan relasi kuasa, menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya relasi manipulative. Sehingga tak dapat terelakkan lagi kekerasan terjadi. Oleh sebab itu, patut disadari, dipahami, dicegah serta dihindari agar tidak terjadi kekerasan yang pastinya merugikan salah satu pihak.
Pihak yang memiliki kuasa lebih kuat tidak seharusnya menyalahgunakan privilege yang ia miliki. Di samping itu, pihak yang rentan juga harus memiliki kesadaran penuh bahwa ia berhak terbebas dari segala bentuk kekerasan ataupun penindasan. Karena setiap individu memiliki hak untuk hidup aman dan bahagia. Maka, waspadalah waspadalah! []