Mubadalah.id -Tulisan ini terinspirasi dari perkataan dosen yang mengajar di salah satu kampus di Yogyakarta. Beberapa waktu yang lalu bersama beberapa orang kawan kami terlibat perbincangan hangat dengan beliau. Kami berbicara tentang banyak hal. Sampai perihal keadaan dan ketertiban warga negara.
Beliau melontarkan satu pernyataan, “Kualitas sebuah negara bisa kita lihat dari lampu lalu lintasnya. Bagaimana keadaan masyarakat kita di lampu lalu lintas? Susah untuk tertib. Jika di lampu lintas saja tidak tertib, apalagi penyelenggaraan negaranya.”
Analogi ini menarik untuk kita cermati. Benar juga apa yang beliau katakan. Banyak peristiwa yang tidak mengenakan dan menjengkelkan ketika berada di lampu lalu lintas. Penerobosan lampu lalu lintas, orang-orang yang tidak sabar, baru lampu oren sudah mulai gas kendaraan dan membunyikan klakson. Berhenti di atas zebra cross atau jalur sepeda.
Pemandangan-pemandangan seperti ini sangat banyak kita jumpai di lampu lalu lintas. Kuncinya adalah soal tertib aturan. Di lampu lalu lintas ada rambu-rambu yang harus dipatuhi, ada hak pengendara lain yang harus diberikan, ada porsi-porsi yang harus dipenuhi oleh pengguna jalan. Dan masih banyak yang belum menjalankan ini dengan semestinya dan porsinya masing-masing.
Kisah Inspiratif dari Pak Jonan
Salah satu kisah yang menarik dan inspiratif yang pernah saya baca adalah sewaktu Pak Jonan ditunjuk menjadi direktur KAI. Pak Jonan bercerita bahwa reformasi tubuh KAI di mulai dari toilet. Pak Jonan mengultimatum para kru-nya untuk menyelesaikan persoalan toilet dalam waktu tiga bulan. “Kalau toilet tidak bersih, maka semuanya akan saya tutup. Jika toilet saja tidak bisa dibenahi, apalagi yang lebih susah dari itu.”
Dari lampu lalu lintas saya kira kita bisa belajar banyak hal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bukan dalam artian yang sebenarnya, tapi tentu saja merupakan bagian dari penyelenggaraan negara perilaku masyarakat di lampu lintas merupakan cerminan tersendiri dari kesemrawutan negara itu sendiri. Belajar dari penyelenggaraan transportasi saya kira tidak salah, sebab merupakan dari pelayanan publik.
Pertama adalah tentang kepentingan umum. Yang namanya kepentingan umum tentu tidak ada yang bisa untuk bertindak sesuka hati. Ada peraturan-peraturan yang harus diperhatikan untuk menciptakan kenyamanan bersama. Ada kepentingan orang banyak di balik kepentingan kita sendiri.
Di lampu lintas misalnya ada zebra cross sebagai hak pejalan kaki, ada jalur pemberhentian sepeda untuk para pesepeda. Dalam kehidupan umum juga seperti itu. Di ruang-ruang publik hal-hal semacam ini patut untuk diperhatikan secara bersama. Dan saya kira ini bukan hanya permasalahan masyarakat saja tetapi permasalahan beberapa penyelenggara birokrasi.
Kedua perihal tata tertib. Ini adalah persoalan bersama yang paling akut di negara ini. Persoalan tata tertib sangat mungkin untuk dilihat secara proporsional. Baik penyelenggara birokrasi maupun masyarakat itu sendiri, kita masih belajar untuk bisa tertib. Padahal setiap saat kita bersinggungan dengan urusan yang begituan.
Belajar dari Hal Kecil
Kita bisa belajar dalam hal-hal kecil sebetulnya, seperti tidak menyerobot antrean, mendahulukan yang lebih membutuhkan dalam pelayanan. Ini adalah hal-hal mendasar tapi sangat berpengaruh dalam urusan publik.
Perihal sifat yang ingin menang sendiri. Di lampu merah adalah orang-orang yang suka menerobos lampu lalu lintas, yang sudah menyembunyikan klakson dan menggas kendaraan dalam waktu satu detik setelah lampu merah. Tentu sikap-sikap seperti ini tidak sejalan dengan prinsip efisiensi ruang publik.
“Kalau di lampu lalu lintas kita sudah bisa tertib, baru kita bisa menjadi bangsa yang maju,” katanya. Kalau di lampu lalu lintas saja tidak bisa tertib apalagi untuk persoalan sebesar negara. Mungkin penataan negara yang baik itu adalah senyaman dalam menggunakan fasilitas KAI. Dan semuanya bisa kita ubah ke dalam iklim yang sama. Jika dalam administrasi publik kita bisa menyelenggarakan dengan baik maka efisiensi akan lahir dengan sendirinya. []