Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang pernikahan yang kokoh, maka dalam pernikahan tersebut kedua calon mempelai harus benar-benar memiliki kemauan yang paripurna. Tanpa paksaan siapapun. Dalam bahasa fiqh disebut sebagai kerelaan satu sama lain (taradlin).
Untuk situasi kita saat ini, kisah-kisah pemaksaan pernikahan seperti kasus Siti Nurbaya dulu sudah jarang terdengar lagi. Karena, sudah banyak perempuan yang mandiri, berpendidikan tinggi.
Kemudian para perempuan juga memiliki penghasilan cukup, dan punya pengalaman sosial yang cukup untuk membuatnya tidak dapat dipaksa oleh keluarga dalam urusan pernikahan.
Oleh sebab itu, kemandirian perempuan dalam pernikahan itu sangat menyangkut nasib hidupnya ke depan.
Hal tersebut karena tidak sedikit yang masih menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki.
Yaitu, jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika istri pada suaminya. Anggapan ini tentu saja menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia utuh yang terekam pada teks tersebut di atas.
Sedikit banyak urusan kerelaan antara calon pasangan suami istri untuk menikah. Seringkali berbenturan dengan kewenangan yang Allah berikan kepada wali pihak perempuan.
Dalam berbagai kesempatan, yang terjadi adalah sang wali merasa berhak untuk menjodohkan anak gadis yang berada dalam perwaliannya kepada seseorang tanpa harus meminta kerelaan sang anak atau bahkan melakukan pemaksaan. Tentu hal ini bertentangan dengan teladan Nabi Saw. []